Outlook Ekonomi 2020 : Kekhawatiran Resesi Dunia

0
1791
Presiden Joko Widodo bersama Ibu Negara Iriana Jokowi meninjau Jembatan Youtefa di Kota Jayapura, Papua. FOTO: BIRO PERS SETPRES

(Vibizmedia – Kolom) Dalam ekonomi makro, resesi atau kemerosotan adalah kondisi ketika produk domestik bruto (GDP) menurun atau ketika pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal atau lebih dalam satu tahun. Resesi dapat mengakibatkan penurunan secara simultan pada seluruh aktivitas ekonomi seperti lapangan kerja, investasi, dan keuntungan perusahaan. Resesi sering diasosiasikan dengan turunnya harga-harga (deflasi), atau, kebalikannya, meningkatnya harga-harga secara tajam (inflasi) dalam proses yang dikenal sebagai stagflasi. Prof. Ari Kuncoro, Dr.Chatib Basri, Prof Suahasil Nazara dalam sebuah diskusi yang membahas Outlook Economy 2020, memberikan beberapa analisa mengapa kekhawatiran akan resesi dunia sedang melanda.

Penurunan suku bunga bank sentral AS pada saat ini masih terjadi, masih terdapat ketidaksepakatan tentang waktu tibanya resesi. Resesi kali ini adalah buatan manusia akibat perang dagang antara dua lokomotif penggerak perekonomian dunia, AS dan China.

Apalagi, data tingkat pengangguran masih menunjukan ekspansi kesempatan kerja di AS. Data-data sektor keuangan sudah tidak menunjukan inverted yield curve setelah the FEDS menurunkan suku bunga untuk ke tiga kalinya. Penurunan suku bunga bank sentral AS untuk mendorong perekonomian malahan membuat pemodal tambah khawatir bahwa resesi semakin dekat sehingga mereka memindahka dananya ke negara-negara Asia yang prospektif.

Sektor riil AS, pertumbuhan ekonomi di triwulan II melambat secara signifikan ke 2,1 persen (y.o.y) dari 3,1 persen di triwulan I 2019. Definisi resesi di adalah penurunan pertumbuhan untuk dua triwulan berturut-turut secara signifikan. Sementara itu tidak hanya pertumbuhan tetapi beberapa indikatior yang lain seperti PMI (purchasing manager index), muatan truk lintas negara bagian dan keyakinan bisnis mulai menurun

Sektor riil China, tanda-tanda perlambatan sudah mulai terlihat. Pertumbuhan ekonomi menurun dari 6,4 persen di triwulan I 2019 menjadi 6,2 persen di triwulan II 2019, 6,0 persen di tri wulan III 2019 yang terendah dalam 3 dekade. Ekspor sudah turun 1,3 persen y.o.y pada pertengahan tahun ini. Beberapa studi memperkirakan bahwa China akan memasuki zona pertumbuhan di bawah 6 persen yaitu sekitar 5,6 persen y.o.y pada triwulan mendatang.

Dampak Bagi Indonesia

Dampak bagi Indonesia, perlambatan ekonomi dunia paling kentara adalah dari neraca dagang. Di tahun-tahun paska bonanza komoditi, neraca dagang biasanya masih surplus walaupun transaksi berjalan tetap defisit karena kelemahan di neraca jasa. Sepanjang 2018 neraca dagang secara kumulatif mencatat defisit sebesar 438 juta dolar AS dibandingkan surplus akumulatif pada tahun 2017 sebesar 18,814 milyar dolar AS. Sebagai akibat perlambatan perdagangan dunia, sempitnya basis ekspor, turunnya harga komoditi dan tingginya ketergantungan industri Indonesia pada impor input industri.

Setelah modal internasional berbalik ke AS karena efek kejut dari perang dagang, modal portfolio jangka pendek kembali membanjiri negara- negara prospektif di Asia termasuk Indonesia. Untuk Indonesia, hal ini merupakan kompensasi dari perlambatan ekspor. Kendati demikian, nilai tukar Rupiah tidak dapat serta merta menguat terlalu jauh di bawah Rp 14.000 per dolar AS karena Indonesia sedang dibayang-bayangi oleh defisit neraca dagang dan transaksi berjalan.

Sentimen masyarakat dan perilaku konsumsi

Terdapat perbedaan antara ekspektasi dan realisasi data ekonomi. Indeks keyakinan konsumen (IKK) untuk bulan September mengalami pelemahan dari 123,1 di bulan sebelumnya menjadi 121,8, melanjutkan trend penurunan sejak Juli 2019. Walaupun demikian data riel munjukan hal yang sebaliknya pertumbuhan konsumsi masyarakat pada triwulan II 2019 adalah 5,17 persen y.o.y naik cukup signifikan dibandingkan dengan 5,05 persen y.oy. pada triwulan I 2019.Kesehatan dan pendidikan menjadi kelompok pengeluaran yang tumbuh paling cepat di atas pertumbuhan konsumsi masyarakat dengan 6,63 persen y.o.y, yang naik signifikan dari 5,71 persen pada periode sebelumnya. Di tempat ke-2 adalah pengeluaran hotel dan restoran sebesar 5,82 persen y.o.y yang naik dari 5,37 persen, yang dikorbankan adalah pengeluaran transportasi yang dua triwulan berturut-turut turun dari 6,14 persen dan 5,93 persen dari triwulan IV 2018 dan triwulan I 2019 menjadi 4,67 persen pada triwulan II 2019.

Sementara itu dari sisi pebisnis, setelah mencapai titik terlemah pada bulan Maret 2019 sejak tahun 2017. Saat ini Indeks Tendensi Bisnis (ITB) terus membaik. Pada bulan Agustus 2019 ITB mencapai skor 108,1 dibandingkan dengan 102,1 pada triwulan I 2019.

Investasi Dan Pertumbuhan Ekonomi

Angka terakhir pada triwulan II 2019 mencatat pertumbuhan investasi sebesar 5,01 persen. Dengan asumsi persentase konsumsi 59 persen dari PDB dan tumbuh dengan rata-rata 5 persen pertahun serta porsi investasi sebesar 32 persen dari PDB dan jeda (lag) antara investasi dan produksi selama 2 tahun, diperlukan pertumbuhan investasi paling tidak 10 persen untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 6 persen per tahun. Angka ini kelihatan masuk akal, namun hal ini merupakan tugas berat mengingat pertumbuhan tertinggi investasi riil sejak 2013 adalah 7,94 y.o.y yang terjadi pada triwulan III 2018. Jika diambil target pertumbuhan ekonomi yang lebih realistis misalnya 5,5 persen per tahun maka pertumbuhan investasi yang diperlukan adalah antara 8 sampai 9 persen per tahun. Yang berarti mencapai pertumbuhan investasi 8 persen saja dengan cara-cara konvensional sudah cukup berat. Untuk itu diperlukan reorganisasi mesin pertumbuhan secara out of the box.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here