(Vibizmedia-Kolom) Seiring bertambahnya jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi, kebutuhan energi masyarakat Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Bersamaan dengan itu, energi fosil berupa batu bara, minyak bumi dan gas alam didalam negeri terus menuju pada kelangkaan.
Sedangkan sumber energi terbarukan di Indonesia seperti matahari, angin, air, panas bumi, biomasa dan bionergi dari tumbuhan sangat melimpah dan tersedia sepanjang tahun.
Alasan inilah yang membuat Indonesia ingin memiliki pabrik katalis sendiri, ingin mandiri di bidang teknologi, mampu menciptakan ketahanan energi melalui pengembangan energi terbarukan melalui kelapa sawit.
Defisit Neraca Perdagangan 2019
Melihat kebutuhan didalam negeri, dari data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan Indonesia 2019 masih mengalami defisit sebesar USD3,2 miliar atau Rp43,8 triliun, dikarenakan impor lebih tinggi dibanding ekspor.
Dari laporan tersebut, ekspor 2019 tercatat sebesar USD167,53 miliar dan impor sebesar USD170,72 miliar, yang menjadi biang keroknya defisit neraca perdagangan Indonesia adalah tingginya impor migas mencapai USD9,3 miliar atau setara dengan Rp127,4 triliun.
Bank Indonesia menilai implementasi biodiesel mampu mengerem pelebaran defisit transaksi berjalan. Setidaknya ada dua keuntungan yang diperoleh pertama menekan bahan bakar solar impor dan mempersempit defisit transaksi berjalan dari sisi neraca perdagangan.
Peluang untuk mengembangkan potensi pengembangan biodiesel di Indonesia cukup besar, mengingat saat ini penggunaan minyak solar mencapai sekitar 40% penggunaan bahan bakar minyak (BBM) untuk transportasi dan penggunaan solar pada industri serta PLTD mencapai 74% dari total penggunaan BBM pada kedua sektor tersebut.
Bagi industri, katalis impor dinilai lebih murah dan praktis. Katalis impor dalam hitung-hitungan diatas kertas lebih menguntungkan, tetapi dalam jangka waktu tertentu, tidak, harus merintis pembuatan katalis sendiri.
Bayangkan saja di Indonesia, ada sekitar 13 juta hektare lahan sawit yang mampu menghasilkan minyak 60 juta ton per tahun. Sementara, Brasil yang sama-sama negara berkembang, sejak tahun 1970 lalu, sudah menggunakan energi bioetanol dan biodiesel 100 atau B100.
Kendalanya, Indonesia sedang menghadapi penolakan sawit dari Uni Eropa, deforestasi menjadi alasan utamanya. Ini upaya Uni Eropa untuk melindungi kepentingan dan pasar domestiknya dari serbuan minyak nabati berharga murah.
Terbukti UE tidak berani meng-embargo minyak nabati yang berasal dari Amerika Serikat. Sementara kelapa sawit lebih efisien 9x menanamnya dibandingkan dengan jenis tanaman minyak nabati lainnya seperti bunga matahari dan kacang kedelai.
Kondisi inilah yang kemudian memaksa Indonesia memutar otak mengatasi over supply sawit dalam negeri sebesar 43 juta ton sisanya dan ketemu caranya dengan mengolah sawit menjadi campuran bahan bakar Biodiesel atau Biosolar. Itulah yang kita kenal dengan istilah B10, B20, B30, B40 tahun depan dan ditargetkan hingga B100.
Sebagai gambaran, produksi sawit Indonesia mencapai 46 juta ton per tahun, tetapi baru tiga juta ton per tahun yang dapat diolah menjadi PKO (Palm Kernel Oil).
Selain itu, pengembangan katalis juga mampu memecah minyak kelapa sawit agar bisa menjadi avtur, diolah menjadi minyak kernel.
Di dalam negeri, sejak dua tahun lalu, maskapai tanah air Lion Air bekerja sama dengan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) untuk mengembangkan dan melakukan uji coba pemanfaatan bioavtur.
Namun, semuanya masih sekedar uji coba. Pemerintah sendiri berencana melakukan ujicoba penggunaan avtur untuk pesawat komersil, tahun 2020 ini. Produksinya berasal dari dua kilang Pertamina yaitu Plaju dan Cilacap. Bila sukses, seluruh penerbangan di tahun 2021 akan menggunakan bioavtur.
Selain biodiesel dan bioavtur, dari uji coba dan pengembangan sawit bisa digunakan untuk campuran Pertalite, Pertamax dan Gas, yang masih diteliti di kilang Pertamina di Plaju, Sumatera Selatan.
Kilang-kilang inilah, yang bila sukses dibangun, akan membawa Indonesia menjadi negara yang mandiri secara energi. Bukan cuma mandiri, tapi berlimpah. Sisanya bisa diekspor ke negara lain untuk mendapatkan devisa.
Untuk mempercepat produksinya, Pertamina perlu sekitar 50 katalis. Tetapi baru tiga yang mampu diproduksi di dalam negeri, sisanya di peroleh dari impor.
Sementara melalui implementasi program B30 yang resmi berlaku mulai Senin, 23 Desember 2019 lalu mampu menghemat devisa negara hingga mencapai USD4,8 miliar atau Rp63 triliun.
Inovasi teknologi katalis buatan Institut Teknologi Bandung (ITB) diklaim mampu menghemat biaya produksi bahan bakar minyak jenis diesel sekitar Rp25 triliun per tahun.
Pemerintah tak lagi harus mendatangkan katalis dari luar negeri agar bisa mensubstitusi minyak mentah dengan minyak sawit untuk membuat BBM, sebab 10% kebutuhan minyak mentah bahan baku BBM bisa disubtitusi oleh minyak sawit.
Mengurangi impor minyak penyumbang terbesar susutkan defisit transaksi berjalan dan defisit neraca perdagangan. Perlu dukungan penuh dari pemerintah dan BUMN agar 47 katalis buatan negeri terealisasi dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat diperkotaan hingga 3 T (tertinggal, terdepan, terluar) serta petani kelapa sawit.