(Vibizmedia-Kolom) Akhir-akhir ini, Program Pemulihan Ekonomi Nasional atau dikenal dengan PEN banyak diperbincangkan, yang harapannya mampu menyelamatkan ekonomi Indonesia di tengah pandemi Covid-19 yang sudah berdampak hampir di semua sektor.
Sebenarnya apa fungsinya, kenapa langkah ini diambil pemerintah pada situasi yang sulit seperti ini? PEN adalah aksi pemerintah untuk melindungi masyarakat miskin dan mendukung dunia usaha (kecil, menengah, korporasi), BUMN dan perbankan untuk bertahan dan bangkit dari tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Yang berfokus pada masyarakat miskin dan rentan yang butuh bantuan (demand side) melalui program PKH, Kartu Sembako, bantuan sosial (bansos) Jabodetabek, bansos non-Jabodetabek, diskon listrik, BLT Dana Desa, kartu prakerja, logistik/pangan/sembako, dan subsidi perumahan.
Sedangkan, pada dunia usaha (supply side) melalui program subsidi bunga untuk ultra mikro (UMi) & usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), penempatan dana untuk mendukung restrukturisasi UMi & UMKM, penjaminan kredit modal kerja untuk UMKM & non-UMKM, insentif pajak, dukungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dukungan pemerintah daerah, dan dukungan sektoral.
Pemerintah telah menyiapkan anggaran sebesar Rp677,20 triliun untuk penanganan Covid-19 khusus pada bidang kesehatan, perlindungan sosial dan program pemulihan ekonomi nasional untuk seluruh lapisan masyarakat dan segala sektor. Jumlah tersebut meningkat dari rencana awal sebesar Rp641,17 triliun dan merubah postur APBN 2020.
Sebab ekonomi digerakkan oleh 2 kekuatan, demand dan supply. Konsumsi dan produksi. Pandemi cukup memukul keras ekonomi Indonesia pada kedua sisi tersebut.
Sampai dengan saat ini, konsumsi rumah tangga adalah penopang terbesar pertumbuhan ekonomi Indonesia. Badan Pusat Statistik mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia Kuartal I-2020 sebesar 2,97 persen, didominasi konsumsi rumah tangga sebesar 1,56% dan sektor investasi 0,56%. Menjaga konsumsi berarti menjaga daya beli masyarakat, khususnya kebutuhan sehari-hari.
Untuk itu, perlu adanya upaya bersama baik dari Pemerintah, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Perbankan dan pelaku usaha melalui konsep berbagi beban (burden sharing) atau gotong royong memikul beban dan menanggung risiko sesuai bagian masing-masing.
Belajar dari Covid-19, kita tidak pernah tahu kapan musibah atau bencana akan datang, makanya mengelola keuangan dengan baik menjadi penting. Salah satunya dengan melakukan investasi.
Karenanya, Indonesia perlu mengembangkan Sovereign Wealth Fund (SWF), pengelolaan investasi yang berasal dari kelebihan kekayaan negara. Dengan kata lain, SWF adalah tabungan negara. Jadi kelebihan yang dimiliki negara, diinvestasikan dengan tujuan untuk return (imbal hasil) yang lebih besar lagi.
Sebagai contoh, Kuwait Investment Authority, SWF yang pertama berdiri di Kuwait pada tahun 1953, pada tahun 2019 tercatat dana kelolaan mencapai USD560 miliar dengan berbasis komoditas minyak. Sedangkan, Emirat Arab (UAE) menyusul tahun 1976 dengan mendirikan Abu Dhabi Investment Authority, yang kini menjadi tiga besar SWF terkaya dunia versi statista tahun 2019, dengan dana kelolaan mencapai USD 696,66 miliar.
Tentu kita juga masih ingat bagaimana Temasek Holdings, perusahaan investasi Singapura tersebut, pada tahun 2002 lalu, pernah membeli 2 perusahaan Indonesia yakni PT. Indosat Tbk (2002) sebesar USD630 juta dan PT Bank Danamon Tbk (2003) sebesar USD321 juta.
Alfred Pakasi, Managing Partner Vibiz Consulting mengatakan rencana pembentukan Sovereign Wealth Fund (SWF) Indonesia atau Badan Usaha Pengelola Investasi Negara telah diutarakan Presiden Jokowi dari sejak Januari 2020 ini. Pada waktu itu, Presiden meyakini pembentukan SWF dapat menyedot dana awal minimal USD20 miliar atau sekitar Rp280 triliun untuk masuk ke pasar keuangan Indonesia. Kemudian, rencananya juga dasar hukum pembentukan SWF akan dimasukan di dalam paket undang-undang Omnibus Law.
Pembentukan SWF ini mempunyai potensi juga untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional kita paska Covid-19 atau dari sejak diberlakukannya ekonomi new normal mendekat ini. Ini dimungkinkan dengan akan masuknya mega dana-dana asing ke SWF yang dapat dipakai untuk membiayai pemulihan ekonomi. Dana besar akan masuk sepanjang ada kepastian dasar hukumnya dan tidak berubah-ubah. Karenanya, upaya Pemerintah memasukkan hal ini dalam Omnibus Law sangat tepat.
Selanjutnya diharapkan SWF ini akan dikelola oleh tenaga-tenaga professional yang mumpuni untuk melihat peluang investasi yang strategis. Pandemi ini kita ketahui menimbulkan risiko resesi global yang bisa jadi terburuk sejak Perang Dunia II, atau bahkan mungkin untuk beberapa negara bisa saja terhitung sejak era Great Depression di tahun 1930’an. Tetapi, di balik ancaman biasanya ada peluang. Di antaranya, di masa resesi akan banyak aset strategis yang jatuh nilainya. Ini merupakan peluang untuk investasi yang barangkali termasuk langka kesempatannya.
Bila kita punya lembaga pendanaan seperti SWF, ini memberi kemampuan bagi kita untuk berinvestasi strategis ke berbagai negara. Kita harapkan, ke depannya kita dapat bersaing dan unggul terhadap Temasek Singapura. Ada kalanya situasi krisis memungkinkan terjadinya perubahan peta bisnis global secara drastis. Tinggal siapa yang pandai memanfaatkan momentum yang ada. Siapanya itu, kita harapkan adalah Indonesia. Semoga.
Investasi Pemerintah
Pemerintah telah mengatur tata cara investasi dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.53/2020, dimana pemerintah berinvestasi bukan sekadar memperluas portofolio saja, tapi juga untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia dan dapat digunakan untuk keadaan yang mendesak. Dari perspektif makro jangka panjang, maka langkah ini tepat untuk guna memperkuat fondasi investasi dalam peta investasi dan moneter global.
Sumber kekayaan negara sejatinya, tidak terbatas hanya dari dalam negeri saja, tapi bisa juga investasi dari negara-negara lain masuk ke lembaga SWF Indonesia. Dalam hal ini, Kementerian Keuangan telah menetapkan Operator Investasi Pemerintah (OIP) untuk menjalankannya. OIP tersebut terdiri dari Badan Layanan Umum (BLU) seperti Pusat Investasi Pemerintah (PIP) di bawah Kementerian Keuangan, BUMN dan Badan Hukum lainnya.
Kalau dari kekayaan negara sumbernya ada dua, yakni sumber daya alam yang tidak bisa diperbaharui seperti nikel, emas, tembaga, perak, minyak, gas, dan mineral. Dan dari aset keuangan yang diinvestasikan, seperti saham, surat utang atau obligasi, logam mulia, dan instrumen lain.
Metode ini menjadi metode yang revolusioner karena negara dapat menghapus seluruh peta lama yang berhubungan dengan kolateral, lalu menciptakan peta baru, kalau di Indonesia berbasis pada mineral.
Sesuai dengan roadmap strategi investasi pemerintah yang dalam waktu jangka pendek, meningkatkan investasi dengan mengoptimalisasi sumber daya alam sebagai katalisator yang dapat menciptakan momentum yang diperlukan untuk melaksanakan program-program menuju pembangunan ekonomi yang lebih besar.
Peta baru tersebut dapat diserahkan kepada Bank Indonesia untuk mencetak uang yang kemudian diserahkan ke Menteri Keuangan sebagai modal APBN. Pada dasarnya SWF berbasis pada program padat karya, yang merekrut tenaga kerja sebanyak-banyaknya, sehingga tidak ada orang menganggur dan uang tidak diam dalam rekening, tapi berputar, sehingga kemiskinan akan turun dan kemakmuran akan terjadi.
Ada lima jenis atau kategori SWF, yakni dana stabilisasi (stabilization funds), dana tabungan untuk generasi di masa depan (savings or future generations fund), dana pensiun (pension reserve funds), dana cadangan investasi (reserve investment funds), dana pengelolaan kekayaan negara untuk pembangunan strategis (strategic development sovereign wealth funds).
Pemerintah menunjuk BLU PIP sebagai coordinated fund pembiayaan UMi atau Pembiayaan Ultra Mikro (UMi), program tahap lanjutan dari program bantuan sosial menjadi kemandirian usaha yang menyasar usaha mikro yang berada di lapisan terbawah, yang belum bisa difasilitasi perbankan melalui program Kredit Usaha Rakyat (KUR). UMi memberikan fasilitas pembiayaan maksimal Rp10 juta per nasabah dan disalurkan oleh Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB).

Saat ini, lembaga yang menyalurkan pembiayaan UMi seperti PT Pegadaian (Persero), PT Bahana Artha Ventura, serta PT Permodalan Nasional Madani (Persero). Sumber pendanaan berasal dari APBN, kontribusi pemerintah daerah dan lembaga-lembaga keuangan, baik domestik maupun global.
Kita bersama tahu, terjadinya krisis ekonomi tahun 1998 membuat banyak perusahaan besar tutup, bank bangkrut, pabrik gulung tikar. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merebak di mana-mana membuat ekonomi melemah. Berdasarkan data Kadin (Kamar Dagang dan Industri Indonesia) PHK sudah tembus 6,4 juta orang, defisit anggaran mencapai Rp1.028,5 triliun menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani. Serupa, tapi tak sama dengan tahun 1998 karena krisis terjadi dari sebab yang berbeda.
Siapa pelaku ekonomi yang tersisa dan bertahan di Indonesia saat itu? Jawabannya adalah UMKM, mulai dari pedagang kaki lima, warteg, warung kelontong, penjual sayur keliling, pedagang bubur ayam dan sektor usaha mikro dan kecil lainnya. Mereka yang setia menjaga agar roda ekonomi negara tetap berputar.
Situasi ekonomi serupa sedang terjadi pada tahun ini, pabrik, kantor, bank, mall, bioskop, tempat hiburan semua tutup. Untuk kesekian kalinya UMKM kembali membuktikan ketangguhannya. UMKM membuat roda ekonomi terus berputar di bawah, transaksi jual beli tetap terjadi, perputaran uang terus tidak berhenti, dimana di jalanan dengan sepeda atau motor pelaku UMKM tetap mengirim tahu, tempe, kue rumahan, jamu, sayur, telur, dan bahan kebutuhan pokok tetap beredar dari tangan ke tangan, dari warung di rumah kontrakan, dari kampung ke kampung. Dari data menunjukan bahwa UMKM mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 116,63 juta tenaga kerja (data Kementerian Koperasi dan UKM RI tahun 2017).
Peranan Kongkrit BUMN Dalam Dampak Covid-19
Sebagai salah satu tulang punggung perekonomian negara, BUMN harus menyadari tantangan dan ancaman krisis yang terjadi saat ini yang semakin keras. Perekonomian dan industri ke depan tidak hanya mampu menghasilkan produk dan jasa yang murah dan berkualitas, tetapi dituntut menciptakan barang yang lebih murah lagi dan berkualitas, sehingga mampu dijangkau masyarakat dan pasar yang kemampuan daya belinya mengalami penurunan sangat tajam saat ini.
Seluruh dunia usaha saat ini berupaya ‘take off’ menggerakkan mesin dan sumber daya manusia, agar terhindar dari kebangkrutan dan pengangguran besar. Hanya perekonomian atau industri yang efisien, kreatif dan mampu menghilangkan distorsi bisnis yang bakal mampu keluar dari kesulitan krisis besar ini.
Sebagai perusahaan negara, kinerja BUMN adalah kongkrit dan terukur. Selain ukuran-ukuran finansial BUMN, juga seberapa besar peranan BUMN sebagai ‘agent of development’ bagi masyarakat dan industri, serta kontribusinya terhadap Produk domestik Bruto (PDB) yang selama ini masih sangat kecil, jika dibandingkan dengan kontribusi ‘State owner enterprise (SOE)’ atau BUMN di negara lain seperti SOE di Singapura, Uni Emirat Arab dan lain-lain.
Karena itu, dukungan pemerintah kepada BUMN lewat subsidi, kompensasi, Penyertaan Modal Negara, serta dana talangan agar BUMN bisa melanjutkan operasi untuk memenuhi kehidupan hajat hidup orang banyak.