(Vibizmedia-Nasional) Ide untuk pengembangan SWF Indonesia atau yang sekarang sudah ditetapkan dengan nama Lembaga Pengelola Investasi atau Indonesia Investment Authority (INA) sudah ada sejak tahun-tahun sebelumnya. SKS BIP (Satuan Kerja Sementara Badan Investasi Pemerintah) merupakan cikal bakal bagaimana ide SWF ini. SKS BIP adalah sebuah unit dibawah Kemenkeu yang mengatur investasi di bidang infrastruktur. Kemudian SKS BIP diubah menjadi Pusat Investasi Pemerintah (PIP) pada tahun 2017 yang dituangkan dalam PMK sebagai Badan Layanan Umum (BLU). Kemudian PIP ditingkatkan bentuknya menjadi BUMN dengan nama PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI), dengan pengalihan asset sebesar Rp18 triliun. PT SMI bekerja sama dengan investor luar negeri memiliki anak perusahaan yang sepenuhnya swasta, dengan nama IIF – PT Indonesia Infrastructure Finance dimana PT SMI memiliki saham sebesar 30%.
Semua bentuk organisasi ini adalah inisiatif pemerintah yang bertujuan untuk menjadi katalis bagi investasi di sektor publik seperti infrastruktur. Dalam prosesnya masih menghadapi masalah pendanaan dan juga tidak dapat menarik investor. Kecuali IIF, organisasi-organisasi ini belum menjadi partner bagi perusahaan-perusahaan yang ingin berinvestasi. Sebab itulah dimunculkan SWF Indonesia dengan salah satu tujuan menjadi partner investasi (co investor) untuk mereka yang hendak berinvestasi di Indonesia.
Pembentukan INA dimaksudkan untuk meningkatkan dan mengoptimalkan nilai investasi yang dikelola secara jangka panjang dalam rangka mendukung pembangunan secara berkelanjutan. Indonesia memerlukan terobosan dalam mengundang investasi asing atau FDI (Foreign Direct Investment). Alasan pertama adalah kebutuhan pembiayaan ke depan yang masih tinggi sekali. Dengan visi Indonesia Maju 2045, menjadi 5 besar kekuatan ekonomi dunia, diperlukan investasi yang besar. Terutama dalam lima tahun terakhir pemerintahan Jokowi fokus ke infrastruktur dan juga lima tahun ke depan masih akan fokus ke infrastruktur, sehingga terjadi kesenjangan antara kapasitas pembiayaan dan kebutuhan pembangunan yang besar. Namun tingkat FDI Indonesia, sejak tahun 2016 mengalami stagnasi hingga sekarang, secara incremental tidak terjadi pertumbuhan FDI. Di sisi lain yang mungkin banyak dipilih adalah pembiayaan dengan berhutang, namun rasio hutang terhadap PDB Indonesia sudah di atas 30%. Pembiayaan pembangunan bila mau dilakukan melalui BUMN, sudah tidak dapat dilakukan, karena debt equity ratio kebanyakan BUMN sudah melebihi batas wajar. Misalnya BUMN seperti Adhi Karya memiliki debt equity ratio mencapai 5,76 kali. Waskita mendekati 4 kali. Padahal batas maksimum debt equity ratio adalah 3-4 kali.
Untuk merealisasikan fungsi dan tujuan tersebut, INA memiliki karakteristik khusus yang dapat menjadikan lembaga ini memiliki fleksibilitas dan profesionalitas dalam peningkatan nilai investasi, serta sebagai mitra strategis bagi investor asing.
Dari empat organisasi tadi, yang memiliki bentuk atau kemiripan dengan INA adalah IIF. IIF memiliki kerjasama dengan Asian Development Bank: ADB, International Finance Corporation: IFC, KFW DEG – sebuah perusahaan investasi milik Jerman dan Sumitomo Mitsui Banking Corporation: SMBC. PT. Indonesia Infrastructure Finance:IIF sudah terlibat pada 50 proyek infrastruktur lebih, dimana proyek paling akhirnya adalah Gresik SPAM. IIF mendanai 70 persen proyek ini atau senilai Rp420 miliar. IIF dibentuk sebagai Badan Hukum Swasta, berbeda dengan LPI atau INA akan dibentuk sebagai milik pemerintah namun bisa membentuk korporasi.
Lima besar SWF dunia semuanya memiliki sumber dana dari surplus negara, baik surplus karena migas, atau seperti Hongkong dari exchange funds. Memang Indonesia belum memiliki kelebihan dana, namun dibentuk sebagai co investor, bentuk seperti ini ada di India dengan NIIF, juga ada di Rusia dengan nama RDIF. Inilah perbedaan LPI dengan SWF umumnya adalah terletak pada tidak memiliki surplus sebagai sumber dana, namun tugas LPI adalah sebagai co investor atau ada penyertaan dana. Dan sudah disampaikan oleh Presiden Jokowi bahwa akan disetorkan dana sebesar Rp15 triliun. Peran sebagai co investor adalah sebagai pihak yang memberikan kepastian hukum untuk masuknya investor ke Indonesia. Dengan LPI dengan credential nya diharapkan dapat meyakinkan investor untuk masuk ke Indonesia dan membuka masuknya Foreign Direct Investment (FDI). Dalam peraturan pemerintah No 74 tahun 2020 Lembaga Pengelola Investasi adalah lembaga yang diberi kewenangan khusus (sui geneis) dalam rangka pengelolaan Investasi Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Hal ini tidak berarti bahwa investor memiliki partner pemerintah. Namun investor memiliki partner LPI merupakan Badan Hukum Indonesia yang sepenuhnya dimiliki oleh Pemerintah Indonesia. LPI memiliki peran juga untuk bertindak sebagai debitur. Dalam melaksanakan fungsi dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, PP No 74 tahun 2020 LPI berwenang untuk: melakukan penempatan dana dalam instrumen keuangan; menjalankan kegiatan pengelolaan aset;melakukan kerja sama dengan pihak lain termasuk entitas dana perwalian (trust fund); menentukan calon mitra Investasi;memberikan dan menerima pinjaman; dan/atau menatausahakan aset.

Struktur investasi di LPI memiliki empat kemungkinan, pertama adanya joint venture (JVCO) dengan mitra investasi bisa dalam project financing atau debt financing yang membuat project company, perusahaan ini bisa dalam bentu badan hukum Indonesia atau atau badan hukum asing. Kedua dalam bentuk funds yang akan memiliki investasi seperti reksadana, dan lainnya dalam bentuk equity atau financing lainnya yang akan masuk ke project company. Ketiga LPI secara langsung atau melalui pengurus Dana Kelolaan Investasi (Fund) dapat menunjuk Manajer Investasi untuk mengelola investasinya sesuai dengan kebijakan investasi Dana Kelolaan Investasi (Fund). LPI dimungkinkan melakukan pengelolaan asset BUMN/negara. Penyertaan modal negara dalam LPI dapat berasal dari: dana tunai;barang milik negara; piutang negara pada BUMN atau perseroan terbatas; dan/atau saham milik negara pada BUMN atau perseroan terbatas.
Tantangan Indonesia Investment Authority (INA)
Dalam hal pendanaan dan kapitalisasi INA harus menjadi pemilik modal mayoritas. Apakah hal ini selalu berhasil? Adalah merupakan tantangan tersendiri, bila LPI harus menyerahkan setoran tunai adalah merupakan tantangan tersendiri. Presiden Jokowi menyatakan bahwa INA akan segera kemasukan dana sebesar menghimpun dana sebanyak 20 miliar dolar Amerika atau sekitar Rp280 triliun (Kurs Rp14.000). Tentu mekanisme ini merupakan tantangan tersendiri.
Tantangan selanjutnya adalah bagaimana skema co investment perlu dipastikan apakah sebagai ekuitas atau sebagai hutang. Presiden Jokowi menyatakan bahwa kehadiran SWF ini akan menjadi sumber pembiayaan baru untuk pembangunan Indonesia ke depan, jadi tidak hanya berbasis pinjaman, tapi bisa dalam bentuk penyertaan modal atau saham. Dengan harapan, akan menyehatkan perekonomian Indonesia, perusahaan BUMN-BUMN terutama sektor infrastruktur dan energi.
Sebagai mitra dari investor tentu ada tantangan INA menghadapi tuntutan dari mitra investasi. Pertimbangan dalam pemilihan investor harus dilakukan dengan kehati-hatian, bukan saja persoalan kebutuhan keuangan yang dihadapi oleh Indonesia yang harus diperhatikan, namun juga kepentingan nasional lainnya. Mitra Investasi memiliki kepentingan yang beraneka ragam, apalagi bila sudah masuk dalam ranah bilateral. Disana akan unsur tata nilai Indonesia yang perlu dijaga. Itulah sebabnya dalam berdampingan dengan mitra investasi perlu memperhatikan juga pemilihan seluruh manajemen INA dengan seksama. Transparansi adalah sebuah cara bagaimana menguji mitra investasi masuk ke Indonesia bersama INA.