Pengaruh Revitalisasi Pasar Rakyat Bagi Perekonomian Masyarakat

0
485
Ilustrasi Pasar. FOTO: VIBIZMEDIA.COM|FANYA

(Vibizmedia-Kolom) Pasar rakyat merupakan sarana perdagangan yang memiliki peran vital dalam menggerakkan perekonomian khususnya pada negara berkembang seperti Indonesia. Selain sebagai titik temu pendistribusian barang, pasar rakyat adalah ladang penghidupan bagi jutaan masyarakat di Indonesia. Sekitar 12,60 juta pedagang mengais penghasilan setiap harinya dengan bertransaksi di pasar rakyat. Sayangnya, fungsi pasar rakyat sebagai sendi perekonomian masyarakat Indonesia tampak semakin tergerus.

Beberapa faktor yang menyebabkan fenomena tersebut antara lain kondisi fisik pasar yang kurang terawat dengan baik, ketersediaan sarana dan prasarana pendukung yang tidak lengkap, dan lingkungan pasar rakyat yang kurang bersih. Selain itu, menjamurnya pasar modern karena peningkatan pendapatan dan perubahan gaya hidup masyarakat yang menginginkan kenyamanan dalam berbelanja juga menjadikan tradisi berbelanja di pasar rakyat makin menurun.

Pemerintah Indonesia melalui UU No. 14 Tahun 2014 berupaya untuk mengembalikan daya saing pasar rakyat dengan melakukan program revitalisasi pasar rakyat. Program ini diselenggarakan pada tahun 2015 hingga 2019 dengan menggunakan anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK) dan anggaran Tugas Pembantuan (TP). Program revitalisasi pasar yang dimaksud adalah tidak hanya meliputi perbaikan fisik, tapi juga aspek pengelolaan pasar sehingga pasar rakyat menjadi sarana perdagangan yang mampu menawarkan kenyamanan berbelanja seperti halnya pasar modern. Harapannya, pasar rakyat dapat menjadi wadah bagi sektor UMKM untuk terus tumbuh dan berkembang sehingga pada akhirnya dapat memberikan manfaat seperti memperluas penyerapan tenaga kerja secara berkelanjutan.

Mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2019 Tentang Pedoman Pembangunan Dan Pengelolaan Sarana Perdagangan pasal 19 ayat 1, komposisi indeks revitalisasi pasar pada publikasi ini disusun berdasarkan empat dimensi yakni: dimensi fisik; manajemen; ekonomi; dan sosial budaya.

Dimensi fisik diukur berdasarkan perbaikan dan peningkatan kualitas kondisi fisik bangunan pasar dan fasilitas pasar serta infrastruktur pendukungnya. Dimensi manajemen diukur berdasarkan tata laksana pengelolaan pasar seperti standar operasional prosedur pengelolaan pasar, pencatatan data administrasi, penerapan zonasi, pengembangan dan pemberdayaan pedagang dan lainnya. Dimensi sosial budaya diukur dari interaksi sosial yang terjadi di pasar, pengalaman merasakan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal dalam bertransaksi di pasar, rasa kepercayaan konsumen, dan juga kenyamanan serta keamanan berbelanja di pasar. Ketiga dimensi ini diukur baik untuk kondisi sebelum maupun sesudah kegiatan revitalisasi pasar dilakukan.

Sementara itu, untuk dimensi ekonomi diukur dari perubahan-perubahan ekonomi yang terjadi seperti perubahan terhadap omzet pedagang, biaya retribusi yang diterima, jumlah pengunjung, fasilitas akses permodalan, stabil atau tidaknya pasokan barang, dan digitalisasi pasar rakyat (keberadaan fasilitas belanja online dan pembiayaan non tunai). Dimensi ekonomi ini tidak diukur secara terpisah pada kondisi sebelum dan sesudah seperti 3 dimensi lainnya. Namun, skor pada dimensi ini sudah merepresentasikan perubahan ekonomi pasar sebelum dan sesudah revitalisasi dilakukan.

Berdasarkan pengukuran bobot yang dilakukan dengan Analytical Hierarchy Process (AHP) dengan ekspertis yang merupakan perwakilan dari Badan Pembangunan Nasional, Kementerian Perdagangan, Badan Standarisasi Nasional, Asosiasi Pasar Rakyat Indonesia (ASPARINDO), dan juga dari BPS sendiri, diperoleh bobot untuk dimensi fisik sebesar 38,77 persen, diikuti dengan bobot manajemen dan ekonomi masing-masing sebesar 26,21 persen dan 26,24 persen. Terakhir, bobot yang paling kecil sebesar 8,78 persen pada dimensi sosial budaya.

Berdasarkan penghitungan yang telah dilakukan, indeks komposit pada pasar-pasar rakyat yang telah direvitalisasi di Jabalnusra mengalami peningkatan. Secara umum, dari skala 0 hingga 100, indeks komposit untuk kondisi pasar sebelum direvitalisasi di Jabalnusra adalah 55,94 poin dan mengalami perbaikan menjadi 61,13 poin untuk kondisi setelah direvitalisasi. Jika dilihat dari sisi pendanaan, pasar-pasar dengan pendanaan TP relatif memiliki skor indeks komposit sedikit lebih tinggi dibandingkan pasarpasar dengan pendanaan DAK. Indeks revitalisasi pasar setelah direvitalisasi untuk pasar-pasar dengan pendanaan TP adalah 62,62 poin (dari 57,11 poin) sedangkan untuk pasar-pasar dengan pendanaan DAK adalah 61,02 (dari 55,63 poin).

Jika dilihat secara regional, provinsi Banten merupakan provinsi dengan skor indeks komposit paling tinggi setelah direvitalisasi dibandingkan provinsi-provinsi lain yaitu dengan skor indeks sebesar 66,53 poin. Hal ini dikarenakan skor indeks pada dimensi fisik, manajemen, dan ekonomi di Provinsi Banten secara umum juga paling tinggi dibandingkan provinsi lainnya.

Setelah Banten, Provinsi Bali menjadi provinsi dengan skor indeks revitalisasi pasar tertinggi kedua, dimana skor indeks setelah direvitalisasi sebesar 63,97 poin. Provinsi Bali juga merupakan Provinsi dengan skor pada dimensi sosial tertinggi yakni 79,09 poin. Hal ini merupakan ciri khas masyarakat Bali dan akan menjadi modal penting bagi perkembangan pasar rakyat di Bali, karena karakter budaya yang positif dalam jangka panjang akan mampu menciptakan trust dalam bertransaksi, sehingga berdampak pada suasana berbelanja yang kondusif dan mampu menjadi magnet bagi lebih banyak konsumen.

Sebaliknya, provinsi yang saat ini memiliki skor indeks masih dibawah rata-rata skor indeks di Jabalnusra adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Indeks revitalisasi pasar untuk kedua provinsi ini masing-masing sebesar 58,03 poin dari 51,83 poin (NTB) dan 52,22 dari 48,46 poin (NTT). Dengan demikian, provinsi NTT merupakan provinsi dengan skor indeks revitalisasi pasar paling rendah di kawasan Jabalnusra sehingga perlu perhatian khusus bagi pemerintah untuk meningkatkan upaya perbaikan pada empat dimensi pasar khususnya menyangkut dimensi fisik di Provinsi NTT.

Revitalisasi fisik masih menjadi elemen penting dan kebutuhan dasar bagi kehidupan suatu pasar. Namun, perbaikan dan peremajaan fisik pasar tidak akan berdampak optimal tanpa disertai dengan pengelolaan yang mumpuni. Oleh karena itu, dibutuhkan kualitas manajerial yang kompeten sehingga setiap perbaikan fisik yang dilakukan dapat berfungsi dan termanfaatkan dengan optimal. Tata kelola pasar yang profesional merupakan booster bagi pemberdayaan pasar rakyat karena di dalamnya menyangkut interaksi antara pengelola, pedagang, dan juga konsumen. Pada akhirnya, perpaduan yang harmonis antara penguatan aspek fisik dan manajerial diharapkan mampu mengembalikan fungsi pasar rakyat sebagai tulang punggung perekonomian lokal dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Harapan utama dari pengelola, pedagang, dan konsumen perlu menjadi perhatian bagi pemerintah seperti peningkatan infrastruktur ekosistem pasar rakyat, penguatan regulasi pemberdayaan pasar rakyat, akses permodalan yang lebih luas serta penjaminan terhadap kualitas produk yang diperdagangkan sehingga pasar rakyat dapat menjadi pusat pemberdayaan ekonomi local yang berkelanjutan.