
(Vibizmedia – Internasional) Mahasiswa Indonesia di berbagai perguruan tinggi di seluruh Amerika mengikuti acara yang ditunggu-tunggu ini sebagai kulminasi dari kerja keras yang seringkali disertai dengan kejutan budaya dan berbagai tantangan lain sebagai mahasiswa internasional.
Leonard Triyono mewawancarai tiga di antara sekian banyak lulusan Indonesia peraih gelar Master tentang perasaan dan kesan mereka.
Menurut hasil survei yang dilakukan oleh sebuah surat kabar terkemuka di Indonesia – seperti dikutip oleh Badan Perdagangan Internasional AS (International Trade Administration/ITA) – Amerika Serikat masih merupakan negara yang populer sebagai tujuan pendidikan tinggi di luar negeri. Dikatakan bahwa sebagian besar mahasiswa Indonesia menganggap lembaga akademik di AS menawarkan pendidikan dengan kualitas terbaik dibandingkan dengan lembaga akademik di negara-negara lain.
Karena kepopuleran itulah, setiap tahun banyak mahasiswa Indonesia yang mendaftar untuk kuliah di berbagai perguruan tinggi di Amerika, dan setiap tahun pula banyak di antara mereka yang berhasil lulus.
Perasaan Bangga, Bahagia, Bersyukur
Ketiga warga Indonesia ini menyatakan rasa “bangga, bahagia, bersyukur” setelah berhasil menggondol gelar Master (S2) dan diwisuda pada bulan Mei yang baru lalu di berbagai universitas Amerika. Perasaan serupa tentu juga dialami oleh semua lulusan sederajat di mana pun, termasuk di Indonesia, setelah berhasil melewati hari-hari yang panjang untuk belajar dan menyelesaikan berbagai tugas akademik. Namun, yang berbeda adalah fakta bahwa mereka harus berjuang di mancanegara dengan berbagai perbedaan, mulai dari adat istiadat, budaya, bahasa, hingga makanan, dan jarak yang jauh dari kerabat.
Mereka merasa lega telah berhasil melewati berbagai tantangan dan rintangan serta bisa bertahan dengan kerja keras sebagaimana dituntut oleh perguruan tinggi di Amerika pada umumnya. Mereka juga mengaku bergairah untuk bisa menerapkan pengetahuan dan pengalaman dari pembelajaran di AS dalam pengabdian di bidang mereka masing-masing di Indonesia.
Inilah wawancara VOA dengan salah satu dari ketiga mahasiswa tersebut, yaitu Abraham (“Bram”) Soyem dari Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku.

Bram bekerja sebagai konsultan di salah satu perusahaan sebelum mendapat kesempatan melanjutkan studi dengan beasiswa LPDP di George Washington University di Washington, DC. Mengenai keberhasilannya menggondol gelar MBA, pemuda yang pernah aktif menjadi instruktur bahasa Inggris di beberapa institusi pengajaran bahasa Inggris di bawah TNI AD di Jawa dan Maluku ini mengatakan bangga mengingat latar belakangnya.
“Perasaan bangga ya terhadap diri saya karena saya bisa mengenyam pendidikan di Amerika yang merupakan negara superpower, yang juga kiblat pendidikan dunia. Kemudian, saya bisa lulus dengan durasi 1,5 tahun dalam program Master degree normal dua tahun itu kan tidak mudah. Ada kebanggaan dan suka cita tersendiri bahwa saya anak kampung yang lahir di desa yang terpencil dari Indonesia bagian timur, tetapi saya bisa berhasil menyelesaikan studi di Amerika dalam durasi yang sangat singkat,” ungkap Bram.
Bram mengakui banyak orang punya impian untuk mengenyam pendidikan jenjang Magister atau Doktoral di luar negeri, tetapi menurutnya, sebagai anak seorang “petani yang tidak punya sawah,” “ketika saya diberi kesempatan oleh negara untuk bisa mengenyam pendidikan di Amerika itu merupakan satu kebanggaan tersendiri.”
Kejutan Budaya
Bram menyatakan, selama kuliah di Amerika “ada banyak perasaan campur aduk.”
“Jadi, kuliah di Amerika itu banyak sekali perasaan campur aduk. Ada perasaan sedih, ada perasaan bahagia. Yang sedih mungkin karena masalah culture shock (kejutan budaya). Jadi, budaya belajar itu yang membuat saya sedih karena selama kita di Indonesia budaya belajar kita tentunya 180 derajat berbeda dengan budaya belajar orang Amerika. Orang Amerika itu kayaknya lebih menginvestasikan waktunya untuk banyak membaca, banyak berada di library (perpustakaan), banyak untuk researching (penelitian). Nah kalau kita di Indonesia, saya tidak terlalu tahu di daerah-daerah Pulau Jawa ya, tetapi kalau saya, ini kiblatnya dari saya di (Indonesia) timur ya. Jadi kami benar-benar terlambat dalam segala hal.”
Bram mencontohkan pada satu mata kuliah pertamanya dia dituntut untuk membaca 10 artikel dari berbagai jurnal ilmiah, sedangkan dalam satu hari ada dua mata kuliah yang harus diikutinya.
“Sepuluh artikel yang harus saya baca dalam satu mata kuliah, berarti kalau dua mata kuliah ada 20 reading (bacaan) yang harus saya selesaikan. Nah, itu yang membuat saya jadi sedih dan saya sempat depresi juga untuk masalah budaya belajar.”
Namun, Bram mengaku mulai terbiasa dengan budaya belajar demikian setelah satu semester berlalu. “Saya mulai terbiasa untuk keluar dari zona yang dulu-dulu enak-enak aja,” katanya, seraya menambahkan bahwa kelas-kelas yang hanya menerima antara 15-20 mahasiswa membuat persaingan semakin ketat dan mahasiswa yang kurang membaca akan terlihat lemah dalam diskusi. Padahal, nilai dan peringkat seorang mahasiswa di kelas ikut ditentukan oleh partisipasinya.
“Saya benar-benar harus bisa berkompetisi dengan yang lain karena prinsip saya adalah kita ke sini, kita berhasil masuk dari jalur tes secara mandiri, dan kalau sudah lolos untuk admission (penerimaan), berarti itu mahasiswa-mahasiswa bagus. Saya pegang itu, bahwa saya di sini seperti mereka juga sehingga itu tidak akan bisa membedakan saya dengan student A dan student B.”
Selain memperoleh pengetahuan dan pengalaman selama proses pembelajaran untuk meraih gelar MBA, Bram mengatakan akan membawa pulang jejaring yang luas, baik dari sesama mahasiswa yang datang dari berbagai penjuru dunia maupun para dosen tamu dari berbagai perusahaan dan organisasi kelas dunia. “Jejaring saya itu global sekarang. Jadi, kalau saya butuh job yang level-nya internasional atau scale-nya internasional, saya bisa gunakan sumber-sumber yang sudah saya miliki.”
Bram menekankan kepercayaannya pada the power of networking karena dengan itu pula dia diterima untuk magang di International Monetary Fund (IMF) dan bekerja musiman di World Bank di Washington, DC.
Sumber: www.voaindonesia.com