Ketahanan Indonesia Menghadapi Perang Dagang China dan USA

0
2462
Ilustrasi Perang Dagang AS-China (Foto: Wikipedia)

Dampak perang dagang China dan AS sudah semakin terlihat pada kedua perekenomian negara tersebut maupun juga suasana geopolitik sebagai imbasnya.

Dampak secara pasti dari perang dagang ini memang tidak mudah diprediksi karena reaksi dari setiap keadaan akan bisa berubah dan sangat variatif sehingga dampak secara tepat juga tidak mudah diprediksi.

Namun perlu dicermati perkembangan dari perang dagang ini karena goncangan yang ditimbulkan sangat significant bagi perekenomian Indonesia.

 

Perang Dua Raksasa

AS memiliki GDP sebesar USD 19 triliun (ekuivalen Rp 285.000 triliun), sedang China sebesar USD 12 triliun (Rp 180.000 triliun) dibanding Indonesia USD 1 triliun (Rp 15.000 triliun) memang dua negara raksasa tersebut mempunyai pengaruh kuat pada ekonomi global.

Nilai hubungan dagang baik barang dan jasa antara dua raksasa ekonomi ini sebesar USD 636 milyar (Rp 9.540 triliun) pada tahun 2017, ini adalah nilai perdagangan bilateral terbesar di dunia. Sekalipun China bukan satu-satunya target pengenaan tarif yang dilakukan oleh pemerintahan Trump (juga ke Kanada, Mexico dan Uni Eropa), tetapi gejolak akibat perang tarif antara China dan AS ini paling berpengaruh pada ekonomi negara-negara berkembang.

Perang dagang secara sederhana adalah saling berbalas serangan antar negara dengan senjata pengenaan tarif, kuota dan berbagai hambatan perdagangan. Ketika negara yang satu mengenakan tarif atau kuota pada partner dagangnya, maka dibalas dengan pengenaan yang sama atau eskalasi lebih tinggi lagi. Akibat dari saling berbalas ini bisa merusak ekonomi kedua negara dan bahkan merusak hubungan politiknya. Apalagi kalau yang berperang adalah dua raksasa ekonomi dunia, maka dampaknya akan sangat meluas.

 

Faktor Perang Dagang

Pemerintah Trump melakukan perang dagang dengan China yang ditujukan untuk faktor ekonomi dan sekaligus keamanan nasional AS. Tekanan yang dilakukan adalah untuk mengurangi defisit perdagangan antara AS terhadap China dan juga keberatan AS yang menduga bahwa China sering melakukan pencurian hak intelektual atas produk dengan kandungan tehnologi tinggi dari AS.

Pada tahun 2017, defisit perdagangan AS terhadap China sudah mencapai lebih dari USD 375 milyar (Rp 5.625 triliun), berarti masyarakat AS lebih banyak membeli produk China dibanding masyarakat China membeli produk AS. Dengan upaya pengenaan tarif yang lebih tinggi pada produk China yang masuk AS maka berarti produk China akan semakin mahal harganya di pasar AS sehingga secara teori diharapkan masyarakat AS akan mengurangi pembelian produk China dan mengganti dengan produk buatan lokal AS.

Selain masalah defisit perdagangan, China mempunyai ambisi bahwa pada tahun 2025 produk-produknya tidak lagi dikenal karena ongkos yang murah tetapi produk yang inovative dan bertehnologi tinggi. Untuk mengejar strategi ini maka China banyak membeli perusahaan-perusahaan AS dengan kandungan tehnologi tinggi khususnya di bidang semi konduktor dan robot, hal ini yang menjadi kecurigaan pemerintah Trump bahwa ada upaya terselubung dari China untuk melakukan pencurian tehnologi dan hak intelektual dari AS.

Oleh sebab itu dalam beberapa kesempatan delegasi AS menuduh bahwa ambisi “Made in China 2025” adalah praktik curang yang dilakukan oleh China untuk menguasai tehnologi dan menggeser kepemimpinan AS di bidang produk bertehnologi tinggi.

Pemerintah Trump berupaya menghalangi praktik ini dengan pengenaan tarif tetapi juga melebar sampai pada rencana pembatasan kepemilikan saham pada perusahaan-perusahaan AS yang memiliki kandungan tehnologi tinggi.

 

Komplikasi

Sebenarnya defisit perdagangan tidaklah selalu buruk, tetapi memang penanganannya cukup komplikatif.

Pembahasan defisit perdagangan biasa difokuskan pada perdagangan barang saja, dimana China mengirimkan barang ke AS senilai USD 505,6 milyar (Rp 7.584 triliun) tahun lalu, sedang AS mengirim barang ke China senilai USD 130,4 milyar (Rp 1.956 triliun), berarti terjadi defisit di posisi AS sekitar USD 375 milyar (Rp 5.625 triliun).

Apabila AS mengenakan tarif maka berpengaruh pada nilai ekspor China yang bernilai USD 506 milyar, sedang bila China membalas akan mempengaruhi nilai ekspor AS hanya sebesar USD 130 milyar. Sehingga dampak pengenaan tarif ini memang lebih menguntungkan AS dibanding China. Namun komplikasinya adalah perang dagang tersebut bisa melebar bukan sekedar pada perdagangan barang saja.

Pemerintah China bisa melakukan pembalasan pada sektor jasa yang dijual AS ke China seperti bidang wisata dan jasa perbankan.

Bahkan lebih jauh lagi pihak China bisa melakukan pembalasan pada barang dan jasa yang dijual ke masyarakat China oleh perusahaan-perusahaan multinasional AS yang berlokasi di negara China seperti Apple, Nike, GM, Starbucks, Boeing, Ford dan lainnya. Sekalipun kadang perdagangan seperti ini di luar pembahasan defisit perdagangan, tetapi China bisa melakukan pembatasan-pembatasan yang melebar sampai pada sektor ini.

Kalau kita amati, efektifitas perang dagang melalui pengenaan tarif juga sangat tergantung pada beberapa faktor, antara lain : Seberapa sensitif-nya permintaan masyarakat terhadap perubahan harga ? Apakah produk subtitusi tersedia untuk menggantikan ? Bagaimana kapasitas produksi dari negara lain yang bisa menggantikan ? Sehingga pengenaan tariff bisa jadi memberikan hasil tidak seperti yang diharapkan oleh pemerintah Trump.

Bahkan pengenaan tarif itu sendiri juga bisa merugikan perusahaan-perusahaan AS yang bahan bakunya masih import, sehingga biaya produksi meningkat akibat meningkatnya harga bahan baku yang diimport, tentunya akan menurunkan daya saing dari sisi persaingan harga.

Tarif juga menciptakan ketidak-seimbangan persediaan (supply dan permintaan (demand) yang mendorong kenaikan harga barang-barang konsumsi, juga meningkatkan ongkos produksi perusahaan manufaktur.

Menurut Tax Foundation, bila pemerintah Trump mengenakan tarif seperti yang direncanakan, maka bisa mempengaruhi pertumbuhan GDP AS jangka panjang menjadi turun 0,12% (USD 30 milyar) dan menurunkan penurunan upah 0,08% serta kehilangan 94.303 lapangan kerja.

Dampak Pada Negara Berkembang 

Tentunya kita perlu terus memperhatikan perkembangan perang dagang ini, karena baik China dan AS tidak menunjukkan ada kesepakatan dan menurunkan ketegangan perang dagang ini.

Meningkatnya tekanan perang dagang antara AS dan China ini meningkatkan ketidakpastian bagi negara-negara Asia.

Bersamaan dengan ketidakpastian ini, negara-negara berkembang juga terimbas dengan fenomena moneter AS. Dimana para investor berpindah dari negara-negara berkembang beralih ke AS karena suku bunga AS yang relatif lebih baik. Sekalipun goncangan yang terjadi pada tahun 2018 ini tidak seperti yang terjadi pada tahun 2013, dimana pada waktu itu terjadi pelarian modal yang merontokkan ekonomi Indonesia karena kebijakan normalisasi moneter AS yang kemudian dikenal dengan ‘A Taper Tantrum‘. Ketika itu sistem perbankan Indonesia sangat rentan hingga banyak bank terpaksa dilikuidasi dan merger

Tekanan pelarian modal di Indonesia sudah terasa sejak April 2018 karena AS mulai melakukan pengetatan dengan ekspektasi bahwa kebijakan ini akan terus dilakukan secara bertahap untuk mengendalikan inflasi AS.

Pengetatan moneter ini menjadi pukulan tambahan bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia, disamping permasalahan perang dagang antara AS dan China. Akibat kedua hal ini maka selera para investor untuk melakukan investasi di negara-negara sedang berkembang telah jatuh.

 

Kebijakan Indonesia

Akibat tekanan ini maka para investor melakukan aksi jual di Indonesia, sehingga indeks saham jatuh sebesar 8,56% pada periode Des 2017 – Sep 2018, Ytd per hari ini (12 Des 2018) tinggal -3.86%, Indonesia seperti halnya Philipina sempat menjadi negara dengan kinerja buruk pada pasar modalnya.

Kendati rupiah terdepresiasi sekitar 7,3 persen, namun jumlah itu masih lebih rendah dibanding mata uang negara lain seperti rupee India (9,7 persen), rand Afrika Selatan (minus 15,98 persen), real Brazil (minus 20,26 persen), lira Turki (40 persen) dan peso Argentina (37 persen).

Sebenarnya defisit transaksi berjalan Indonesia terus membaik hingga mendekati 2% dari GDP, dari 3,6% pada tahun 2013, dan cadangan devisa bisa untuk 7,4 bulan impor. Namun ketika The Fed menaikkan suku bunganya maka goncangan moneter di Indonesia terdampak sangat kuat karena ekonomi Indonesia mengandalkan pendanaan asing. Indonesia menjadi negara yang sangat sensitif terhadap arus modal luar, sehingga Indonesia dikelompokkan dalam “Fragile Five club”.

 

Sekalipun sangat tergoncang, namun pada tahun 2018 ini kondisi Indonesia lebih baik dari saat menghadapi goncangan 2013 karena beberapa faktor :

  1. Inflasi yang terkendali, dimana saat ini di kisaran 3,5% YoY, dibandingkan 2013 yang mencapai 8,25 YoY
  2. Perbedaan suku bunga riil yang jauh lebih tinggi dibandingkan 2013, sehingga Indonesia tidak serta merta harus mengikuti kenaikan suku bunga dan imbal hasil obligasi AS.
  3. Posisi cadangan devisa yang lebh tinggi.

Dalam upaya mengurangi goncangan moneter, Bank Indonesia telah menaikkan suku bunganya, BI 7 Day Repo Rate, di tahun 2018 ini tidak kurang dari enam kali, dari 4,25% menjadi 6,00%. Baru setelah itu pula, maka depresiasi tajam rupiah terhadap dollar dapat diredam. Bahkan rupiah kemudian sempat beberapa kali disebut sebagai mata uang terkuat di kawasan Asia, khususnya sepanjang minggu-minggu di pertengahan November sampai awal Desember ini, bangkit total dari julukan sebagai yang terlemah di Asia.

BI kemungkinan masih akan melaju dalam kenaikan suku bunganya di tahun 2019, apalagi melihat agresifnya di tahun 2018 serta tren kenaikan bunga kelompok bank sentral global nantinya. Kemungkinan di tahun depan BI 7 Day Repo Rate akan menyentuh setidaknya level 6,50% atau lebih. Meskipun, tantangan datang juga sebagian dari dunia usaha yang mulai keberatan menghadapi naiknya tingkat suku bunga kredit oleh pengetatan kebijakan moneter ini.

Pilihan kebijakan moneter Indonesia adalah mengelola rupiah berfluktuasi mengikuti pasar dan mengkombinasi dengan meningkatkan suku bunga. Sebenarnya kombinasi kedua kebijakan ini juga ada resikonya, sebab peningkatan suku bunga juga mempunyai potensi pada peningkatan kredi macet, yang efek selanjutnya mendorong pelarian modal juga.

Hal lain yang sangat perlu diwaspadai adalah aspek psikologis dari nilai tukar, bila pelaku usaha tidak lagi optimis pada ekonomi Indonesia maka bisa menimbulkan kepanikan pada pasar uang yang mengakibatkan goncangan semakin buruk.

 

Sentimen Positif

Ada sentimen positif yang bisa menopang rupiah :

Bank Indonesia (BI) mengumumkan cadangan devisa Oktober 2018 sebesar US$ 115,16 miliar (Rp 1.727 triliun). Naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu US$ 114,85 miliar (Rp 1.722 triliun).

Artinya, tekanan terhadap rupiah sepertinya mulai berkurang sehingga BI tidak perlu lagi menggunakan cadangan devisa secara agresif. Rupiah yang mulai stabil memberi kepercayaan diri bagi investor untuk mengoleksi mata uang ini.

Sentimen positif lainnya adalah masih berlanjutnya koreksi harga minyak dunia. Koreksi harga minyak bisa menjadi sentimen positif bagi rupiah, karena bisa mengurangi beban di neraca migas. Defisit neraca migas kerap kali menjadi biang kerok di neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account).

Perkembangan pada akhir tahun 2018 sepertinya terjadi perubahan sikap dari the Fed. Semula sikap the Fed “hawkish” artinya pasti akan menaikkan tingkat suku bunga secara bertahap dan kepastian ini terus dikumandangkan di dalam pernyataan-pernyataan dalam risalah pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC). Dimana rencana semula the Fed akan menaikkan tingkat bunga tiga kali lagi pada tahun 2019, setelah kenaikan satu kali lagi pada tanggal 19 Desember 2018. Sejak bulan September 2018, sikap the Fed sudah berbalik menjadi “dovish” artinya sudah kurang pasti akan menaikkan tingkat suku bunga secara bertahap lagi. Kemungkinan the Fed hanya akan menaikkan tingkat bunganya dua kali atau bahkan satu kali pada tahun 2019. Dengan demikian tekanan moneter terhadap Rupiah kemungkinan akan berkurang pada tahun 2019.

 

Sentimen Negatif

Beberapa aspek dari perekonomian global selain perang dagang yang menjadi sentimen negatif bagi rupiah adalah ketidak-jelasan perundingan Brexit yang cenderung “no deal Brexit” membuat kepercayaan pada pemerintahan PM Theresa May tergerus, sekalipun memenangkan mosi kepercayaan di Partai Konservatif pada Rabu malam (12/12), namun harus menghadapi perundingan dengan parlemen yang diantaranya banyak tidak menyepakati hasil perundingan dengan Uni Eropa. Theresa May terpaksa membatalkan pemungutan suara tentang kesepakatan Brexit setebal hampir 600 halaman itu di parlemen, karena khawatir mayoritas anggota parlemen akan menolaknya. Pemungutan suara ditunda sampai selambat-lambatnya 21 Januari 2019. Jika perkembangan Brexit mengarah pada ketidakpastian ini maka akan menjadi tekanan bagi ekonomi Inggris.

Sekalipun tidak secara langsung berpengaruh ke Indonesia, namun ketidak pastian ini berpengaruh pada ketidakpastian di pasar keuangan global.

 

Perkembangan Lebih Lanjut

Sebagai implementasi kesepakatan yang dicapai pada KTT G20 pada awal Desember 2018, dimana hasil pembicaraan termasuk China berjanji untuk membeli produk pertanian AS seperti kedelai, juga mengurangi tarif mobil dan merubah praktik ekonomi negara tersebut.

Juga sudah lebih dari satu minggu setelah Trump mengumumkan gencatan senjata selama 90 hari untuk menunda peningkatan tarif AS terhadap produk-produk China senilai USD 20 miliar, dari kedua belah pihak terlihat tanda-tanda kemajuan untuk mengakhiri perang dagang.

Namun penangkapan CFO raksasa tehnologi China Huawei, Meng Wanzhou oleh Kanada atas perintah dari AS telah memperumit perundingan ini. Sementara ekstradisi Meng tertunda, investor dan analis khawatir bahwa penangkapan itu dan tindakan pemerintahan Trump untuk mengkonfrontasi China di bidang lain juga mempunyai potensi menganggu kelancaran perundingan ini.

Pasar saham dunia kebanyakan naik lebih tinggi semalam 13 Des 2018, dengan para investor dan trader global memilih untuk fokus pada membaiknya prospek kesepakatan dagang AS dengan Cina, daripada ketidakpastian kepemimpinan di Inggris. Indeks saham AS mengarah lebih tinggi ketika pembukaan sesi New York dimulai.

Negosiasi perdagangan AS dengan Cina saat ini sebegitu jauh telah memberikan hasil yang “tangible”, para pejabat dari kedua belah pihak nampaknya puas dengan kemajuan yang ada. Pasar menilai bahwa jika kedua negara dengan ekonomi terbesar sampai kepada kesepakatan di dalam perdagangan, dampak lanjutannya akan menjadi positip bagi kebanyakan ekonomi dunia.

Berdasarkan perkembangan ini, maka sepantasnya kita terus mencermati perkembangan dari kondisi ekonomi global ini, apakah perang dagang cenderung mereda atau memanas, apakah The Fed terus melakukan pengetatan moneter ?

Kami akan menyajikan analisis lanjutan dari perkembangan pembahasan kesepakatan perang dagang antara AS dan China dan pergerakan faktor-faktor ekonomi global yang mempengaruhi ekonomi Indonesia.

Sepertinya cuaca ekonomi global masih tidak menentu dan terpaan topan bisa menerpa setiap saat, maka pelaku bisnis hendaklah terus mencermati setiap factor-faktor seperti kita bahas di atas. Namun melihat fundamental ekonomi Indonesia dan sentimen yang terjadi, cukup beralasan juga kalau kita tetap optimis.

 

Penulis:

Bernhard Sumbayak–Kristanto Nugroho–Alfred Pakasi–Ricky Ferlianto

 

 

Editor: Jul Allens

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here