3 Kali Berturut-Turut, Pemerintah Mendapatkan Predikat WTP dari BPK

0
623

(Vibizmedia-Jakarta) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyerahkan laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat (LHP LKPP) tahun 2018, ikhtisar hasil pemeriksaan semester (IHPS) II tahun 2018. Laporan tersebut diserahkan langsung oleh Ketua BPK Moermahadi Soeja Djanegara kepada Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta pada Rabu (29/5).

Saat penyerahan LHP LKPP dan IHPS II tahun 2018 tersebut, disaksikan langsung oleh para Menteri dan Kepala Lembaga, dimana sebelumnya BPK juga telah menyerahkan kepada Dewan Perwakilan Daerah (DPR).

Berdasarkan LHP LKPP tahun 2018, BPK menyatakan bahwa pemerintah mendapat opini wajar tanpa pengecualian (WTP). Predikat opini tersebut telah di terima selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo tiga kali berturut turut sejak tahun 2016.

LKPP yang diperiksa oleh BPK terdiri atas 86 laporan keuangan kementerian lembaga (LKKL) dan 1 laporan keuangan bendahara umum negara (LKBUN), dengan total 87 laporan.

Dalam LKKP 2018, yang sesuai standar BPK terdapat 82 laporan, sehingga 95% LKKP mendapat predikat WTP, sedangkan sisanya sebanyak 4 laporan mendapat predikat Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dalam arti masih perlu ada perbaikan.

Empat laporan yang masih memerlukan perbaikan tersebut adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahaan Rakyat (PUPR), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sementara terdapat satu lembaga yang mendapatkan predikat tidak menyatakan pendapat (TMP) atau disclaimer. Adapun lembaga tersebut adalah Badan Keamanan Laut (Bakamla), predikat ini telah disandang oleh Bakamla sejak 2016.

Berdasarkan audit BPK dalam LHP LKPP dan IHPS II Tahun 2018 tersebut, terdapat enam temuannya, hal ini langsung disampaikan kepada Presiden Jokowi yaitu pelaporan atas kebijakan baru pemerintah di antaranya, penetapan harga jual BBM dan listrik serta kerja sama pemerintah dengan badan usaha yang menimbulkan dampak terhadap realisasi anggaran, aset dan kewajiban belum ditetapkan standar akutansinya.

Kedua, yakni dasar hukum, metode perhitungan, dan mekanisme penyelesaian kompensasi atas dampak kebijakan penetapan tarif tenaga listrik non subsidi yang belum ditetapkan.

Ketiga pencatatan, rekonsiliasi dan monitoring evaluasi aset kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dan perjanjian kerja sama atau Karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) belum memadai, ungkap Moermahadi.

Selain itu, Moermahadi sampaikan skema pengalokasian anggaran dan realisasi pendanaan pengadaan tanah proyek strategis nasional (PSN) pada pos pembiayaan, serta realisasi pembangunan aset konstruksi jalan tol yang belum didukung standar dan kebijakan akuntansi yang lengkap.

Kelima data sumber perhitungan alokasi afirmasi dan alokasi formula pada pengalokasikan dana desa tahun anggaran 2018 belum andal, dan tentang pengalokasikan DAK fisik tahun anggaran 2018 sebesar Rp 15,51 triliun belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan tidak didukung dengan dokumen sumber yang memadai.

Menurutnya disebabkan karena adanya kelemahan pengendalian intern ketidakpatuhan dalam penatausahaan dan pencatatan kas dan setara kas, PNBP, belanja piutang PNBP, persediaan, aset tetap, dan utang, terutama pada kementerian negara/lembaga.

Ia pun menyampaikan rekomendasinya kepada pemerintah untuk melakukan perbaikan pengelolaan dan pertaanggungjawaban APBN di tahun mendatang agar dapat ditindaklanjuti.

Moermahadi menyampaikan pihaknya mengapresiasi upaya pemerintah dalam melakukan penilaian kembali atau re-evaluasi barang milik negara mulai dari tahun 2017 dalam rangka memperoleh nilai aset yang mutakhir.

Namun demikian, hasil revaluasi tersebut belum dapat dilaporkan dalam laporan LKPP pemerintah pusat tahun 2018 karena masih perlu perbaikan metodologi pengendalian mekanisme dan laporan revaluasi sesuai hasil pemeriksaan BPK, jelasnya.

Revaluasi tersebut dapat segera ditindaklanjuti sesuai rekomendasi BPK sehingga kemudian dapat disajikan dalam laporan keuangan pemerintah pusat tahun berikutnya.

Terkait Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang pemeriksaan dan pengelolaan tanggung jawab keuangan negara, penjelasan dan keterangan tentang tindaklanjut rekomendasi, Ia pun menyampaikan bahwa pemerintah memiliki waktu paling lambat 60 hari sejak diterimanya laporan hasil pemeriksaan BPK untuk ditindaklanjuti.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here