Pola Distribusi Perdagangan Gula Pasir di Indonesia

0
2917

(Vibizmedia-Kolom) Gula merupakan salah satu komoditas strategis nasional. Menurut data yang diperoleh dari Asosiasi Gula Indonesia (AGI) dan Ikatan Ahli Gula Indonesia (IKAGI), produksi gula kristal putih nasional turun dari 2.227.045 ton pada tahun 2019 menjadi hanya 2.130.719 ton pada tahun 2020. Artinya, terdapat penurunan produksi gula pasir sebesar 4,52% atau sebanyak 96.326 ton gula dalam setahun tersebut. Yang menarik adalah, total produksi gula kristal putih dari Pabrik Gula (PG) swasta mengungguli total produksi dari pabrik gula milik BUMN, yaitu 1.165.000 terhadap 966.000 ton. Padahal dari segi jumlah, pabrik gula milik BUMN berjumlah hampir tiga kali lipat lebih banyak (70%) daripada pabrik gula milik swasta.  Terdapat ketimpangan antara produksi dan konsumsi gula pasir di Indonesia pada tahun 2020. Produksi gula nasional masih belum mampu memenuhi kebutuhan gula dalam negeri. Berdasarkan data dari Databoks Pusat Data Ekonomi dan Bisnis Indonesia, proyeksi konsumsi langsung gula nasional untuk tahun 2020 adalah sebesar 2.662.540 ton. Konsumsi langsung gula tersebut terbagi menjadi tiga, yaitu konsumsi langsung untuk rumah tangga, konsumsi untuk industri rumah makan dan jasa, seperti jasa perhotelan (diluar industri makanan, minuman, dan farmasi), dan konsumsi langsung lainnya. Dari perbandingan antara data produksi dan konsumsi gula tersebut, dapat diketahui bahwa neraca gula pasir Indonesia mengalami defisit sekitar 500 ribu ton. Hal tersebut membuka peluang adanya impor gula. Menurut Statista, Indonesia adalah negara importir gula terbesar di dunia berdasarkan jumlah volumenya pada tahun 2020/2021. Badan Pusat Statistik mencatat impor gula Indonesia tahun 2020 adalah sekitar 5,54 juta ton. Dari jumlah tersebut, sebagian besar berupa gula mentah (raw sugar) yang harus diolah kembali untuk dapat dikonsumsi dan sebagian kecilnya lainnya berupa gula kristal putih untuk konsumsi langsung. Pada tahun 2020, impor gula terbesar Indonesia berasal dari Thailand, yaitu sebesar 2,03 juta ton. Impor gula Indonesia dari Brazil dan Australia juga cukup besar, yaitu berturut-turut sebesar 1,55 juta ton dan 1,21 juta ton. Sementara sebagian kecil gula diimpor oleh Indonesia dari India, Korea Selatan, Malaysia, dan beberapa negara lainnya.

Jumlah Pabrik Gula (PG) yang mengolah tebu menjadi gula pasir untuk memenuhi konsumsi langsung masyarakat pada tahun 2020 adalah sebanyak 60 buah pabrik dengan total kapasitas giling sebesar 334.980 ton tebu per hari (TCD). Dari jumlah tersebut, sebanyak 42 pabrik merupakan milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan 18 pabrik lainnya merupakan milik swasta. Dilihat dari sebaran pabrik gula yang tersaji dalam infografis pada halaman 27 juga terlihat bahwa pabrik gula nasional dikuasai oleh PTP Nusantara, yaitu perusahaan perkebunan plat merah milik pemerintah (BUMN). Hal itu terbukti dari 60 pabrik gula yang beroperasi pada tahun 2020, lebih dari separuhnya merupakan milik PTP Nusantara.

Dalam kurun waktu tahun 2016-2020, terdapat beberapa pabrik gula baru yang mulai beroperasi. Namun demikian, kehadiran pabrik gula baru tersebut ternyata tidak menambah jumlah produksi gula pasir nasional. Produksi gula pasir justru menujukkan adanya penurunan, yaitu dari 2,23 juta ton pada tahun 2019 menjadi hanya 2,13 juta ton pada tahun 2020. Menurut penelitian, setidaknya terdapat tiga kendala utama dalam upaya peningkatan produksi gula pasir nasional. Kendala pertama adalah produksi gula pasir nasional sebagian besar dihasilkan oleh pabrik gula yang berkapasitas giling kecil. Berdasarkan data dari AGI dan IKAGI, sebanyak 31 pabrik gula yang masih beroperasi pada tahun 2020 berkapasitas kecil, yaitu berkapasitas giling 4.000 TCD (Ton Cane Day) atau lebih kecil. Kendala kedua adalah umur pabrik gula yang pada umumnya sudah tua. Dalam Laporan Analisis Kebijakan yang dikeluarkan oleh Pusat Sosial Ekonomi Dan Kebijakan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian disebutkan bahwa 63,5% pabrik gula yang ada di Indonesia memiliki rentang umur antara 100-184 tahun. Efisiensi pabrik gula umumnya rendah dikarenakan umur mesin pabrik yang sudah tua menyebabkan mesin sering mogok sehingga harus berhenti giling5. Kendala ketiga adalah sebagian besar pabrik gula teruatama di Jawa sangat tergantung pada bahan baku tebu yang berasal dari sawah. Pendirian pabrik gula baru memang merupakan salah satu solusi untuk meningkatkan produksi gula nasional. Namun demikian, pendirian pabrik gula baru seringkali tidak memperhatikan ketersediaan lahan tanam tebu sebagai bahan baku utama industri gula pasir sehingga terjadi persaingan antara pabrik gula lama dan pabrik gula baru untuk memperoleh bahan baku6. Akibatnya, pabrik gula lama justru harus tutup atau berhenti beroperasi akibat kekurangan bahan baku.

Seluruh pelaku usaha distribusi perdagangan gula baik yang termasuk pada level pedagang besar (seperti: importir, distributor, subdistributor, agen, dan pedagang grosir) maupun yang termasuk pada level pedagang eceran (seperti: supermarket/swalayan dan pedagang eceran) menjalankan perannya masing-masing dalam rantai distribusi perdagangan gula pasir. Pedagang-pedagang pada level pedagang besar menjalankan perannya sebagai pedagang perantara di bagian hulu, sedangkan pedagang-pedagang pada level pedagang eceran menjalankan perannya sebagai pedagang perantara di bagian hilir dalam rantai pendistribusian gula pasir hingga sampai ke tangan konsumen akhir. Di level pedagang besar sendiri terdapat hierarki pada status fungsi kelembagaan usaha yang didasarkan pada kriteria-kriteria tertentu, misalnya berdasarkan status badan usaha dan besarnya volume penjualan. Sebagai contoh, distributor memiliki tingkatan yang lebih tinggi jika dibandingkan subdistributor atau pedagang grosir. Pada umumnya, pedagang yang berada pada tingkat yang lebih tinggi akan menjual barang dagangannya ke pedagang lain yang berada pada tingkat yang lebih rendah. Namun demikian, hasil Survei Pola Distribusi Perdagangan yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2021 memberikan informasi bahwa pedagang yang berada pada tingkatan yang lebih rendah pun dapat menjual barang dagangannya ke pedagang lain yang berada pada tingkatan yang lebih tinggi, meskipun dalam volume yang relatif kecil.

Hal tersebut bukanlah sesuatu yang tidak mungkin terjadi dalam perdagangan. Karena sebagai agen ekonomi, selama hal tersebut mendatangkan keuntungan maksimal, maka pedagang akan memilih untuk melakukannya, termasuk menjual barang dagangan ke pedagang lain yang status fungsi kelembagaannya lebih tinggi. Pola distribusi perdagangan gula pasir di Indonesia secara lengkap seperti yang tergambar pada Gambar 2 memang terlihat cukup rumit, namun demikian, dari pola distribusi perdagangan tersebut dapat ditarik suatu pola utama yang diasumsikan dapat merepresentasikan pola distribusi perdagangan komoditas di suatu wilayah.

Pola Distribusi Perdagangan Gula Pasir di IndonesiaSumber : BPS 2021

Pola utama distribusi perdagangan merupakan jalur distribusi berdasarkan persentase volume penjualan terbesar dari produsen ke konsumen akhir yang melibatkan pedagang perantara. Pada Gambar di atas, pola utama distribusi perdagangan gula pasir di Indonesia digambarkan dengan garis tebal yang menghubungkan antara produsen (pabrik gula pasir) dengan pedagang, antara pedagang satu dengan pedagang lain, dan antara pedagang dengan konsumen akhir. Pola utama tersebut menggambarkan alur distribusi perdagangan gula pasir secara umum di Indonesia yang dimulai dari produsen gula pasir yang mendistribusikan hasil produksinya ke pedagang besar, yaitu distributor. Distributor kemudian mendistribusikan kembali pasokan gula pasir tersebut ke pedagang grosir. Selanjutnya, pedagang grosir mendistribusikan kembali pasokan gula pasir yang diterimanya ke pedagang eceran hingga sampai ke tangan konsumen akhir, yaitu rumah tangga.

Apabila dibandingkan dengan perdagangan gula pasir di Indonesia tahun 2018, distribusi perdagangan gula pasir dari produsen sampai ke konsumen akhir pada tahun 2020 tetap melalui tiga pelaku usaha distribusi perdagangan, yaitu distributor, pedagang grosir, dan pedagang eceran. Ketiga pelaku usaha distribusi perdagangan tersebut mengambil margin perdagangan dan pengangkutan masing-masing sebesar 2,85 persen, 7,21 persen, dan 14,14 persen. Sedangkan pada tahun 2018, ketiga pelaku usaha distribusi perdagangan tersebut mengambil margin perdagangan dan pengangkutan masing-masing sebesar 6,12 persen, 10,97 persen, dan 13,09 persen. Penurunan margin perdagangan dan pengangkutan yang diterima oleh kedua pedagang besar pada jalur distribusi perdagangan tersebut berdampak pada penurunan total margin perdagangan dan pengangkutan di Indonesia sebesar 7,32 persen.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here