Kajian BRIN: Bahasa Indonesia Jadi Sarana Komunikasi Dominan di Perbatasan Indonesia Timor Leste

0
206
Perbatasan Indonesia dengan Timor Leste di NTT, yakni PLBN Motaain di Kabupaten Belu (Foto: Wikipedia)

(Vibizmedia – Nasional) Hasil riset yang dilakukan Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menunjukkan bahwa bahasa Indonesia menjadi sarana komunikasi yang dominan di perbatasan Indonesia dan Timor Leste, memperkuat hubungan kekerabatan dan warisan budaya antara kedua masyarakat.

Inilah kesimpulan yang dihasilkan dari kajian linguistik lanskap dari tim penelitian Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas BRIN yang dipimpin oleh Budi Agung Sudarmanto.

Dikutip dari berita Humas BRIN pada Rabu (27/3/2024), Budi menyampaikan bahwa kajian itu diteliti di daerah perbatasan Indonesia – Timor Leste , dan telah diterbitkan  di Jurnal Cogent Arts & Humanities (2023), 10: 2273145 dengan judul The languages on the border of Indonesia and Timor Leste: A linguistic landscape study.

Kajian tesebut dilakukan bersama peneliti dari Universitas Udayana dan Artha Wacana Universitas Kristen Kupang, menyoroti kontestasi bahasa dan bentuk-bentuk komunikasi yang terjadi di wilayah perbatasan kedua negara, hal itu dapat memengaruhi identitas, politik, kebijakan pada masyarakat tersebut.

Budi menjelaskan, penelitian linguistik lanskap di wilayah perbatasan ini menjadi penting untuk dikaji karena tidak hanya berkaitan dengan bahasa tetapi juga politik, kebijakan, masyarakat, dan identitas.

Budi menjelaskan, hasil kajian menunjukkan bahasa daerah ditemukan di lokasi penelitian namun jumlah penggunaanya sangat sedikit. Penelitian itu merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang mendeskripsikan dan menganalisis data dengan rinci dan mendalam. Penelitian itu menggunakan metode pengumpulan data adalah observasi dan dokumentasi.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat delapan bahasa di ruang publik yaitu bahasa Indonesia, Inggris, Tetun, Dawan, Melayu Kupang, Kemak, Arab, dan Portugis. Bahasa yang ditampilkan di ruang publik berbentuk monolingual, bilingual, dan multilingual.

Rudi menegaskan, kesamaan latar belakang bahasa, budaya, dan hubungan kekerabatan dengan masyarakat di wilayah perbatasan Timor Leste menjadi alasan utama mengapa bahasa Indonesia masih mendominasi dibandingkan bahasa resmi Timor Leste.

Ia juga menjelaskan, bahwa pihaknya bersama tim sudah melakukan observasi di kota Kefamenanu dan Atambua. sebagai ibu kota Kabupaten Timor Tengah Utara dan Kabupaten Belu di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia, hal itu didasari pertimbangan letak strategis kedua kota tersebut sebagai kota terdekat di kawasan perbatasan Indonesia – Timor Leste.

Kedua kota tersebut merepresentasikan keragaman sosial, etnis, agama, ekonomi, dan juga bahasa di kedua negara.

Observasi yang dilakukan juga menyasar di wilayah Pos Lintas Batas Napan, Wini, dan Motaain serta di kantor imigrasi induk. Wilayah perbatasan Indonesia di Kabupaten Timor Tengah Utara dilengkapi dengan dua Pos Lintas Batas Negara yaitu Napan dan Wini, sedangkan di Kabupaten Belu terdapat Pos Lintas Batas Motaain.

Budi mengatakan, hasil obeservasi itu dapat diketahui tentang lanskap linguistik di wilayah perkotaan Atambua, Kefamenanu, wilayah pedesaan, dan pos lintas batas di kedua kabupaten tersebut tidak menunjukkan adanya indikasi akomodasi terhadap bahasa resmi Timor Leste. Konteks sosiolinguistik menunjukkan bahwa proses perubahan akan sangat bergantung pada pengaruh aspek sosial, politik, dan ekonomi, namun peluangnya sangat kecil.

Pengamatan di kawasan perbatasan menunjukkan bahwa pelayanan pada dua kantor imigrasi tersebut menggunakan bahasa Indonesia. Dari sini dapat dipahami bahwa bahasa nasional Timor Leste tidak memberikan pengaruh yang signifikan untuk digunakan di ruang publik Indonesia karena masyarakat Timor Leste fasih berbahasa Indonesia.

“Bahasa Indonesia dipandang sebagai lingua franca yang mampu mengakomodasi semua kepentingan. Bahasa asing yang muncul adalah bahasa Inggris dan juga Arab (dalam jumlah yang tidak banyak), selain bahasa-bahasa daerah yang ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit. Penggunaan bahasa-bahasa daerah sangat sedikit penggunaannya, biasanya hanya dalam percakapan keluarga saja atau dalam ritual lisan adat,” kata Budi.

Pada sisi yang lain, kehadiran bahasa Tetun yang merupakan bahasa resmi di Timor Leste, tidak dianggap sebagai bahasa asing di wilayah perbatasan karena merupakan bahasa daerah bagi sebagian masyarakat etnis Tetun di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kontak bahasa antara kedua negara tidak mengancam identitas budaya masing-masing.

Penelitian yang sudah dikaji ini, masih menyisakan beberapa pertanyaan penting terkait persepsi masyarakat perbatasan terhadap penggunaan bahasa di ruang publik. Lebih lanjut, penelitian mendesak diperlukan untuk memahami sikap, preferensi, dan ideologi kebahasaan di kedua kota perbatasan, serta melengkapi penelitian dengan melibatkan kedua sisi perbatasan, baik di Indonesia maupun Timor Leste.