Melindungi, Bukan Membatasi: PP Tunas Bimbing Anak di Era Digital

0
182
Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, menyampaikan bahwa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Pelindungan Anak (PP Tunas) tidak dimaksudkan untuk melarang anak-anak mengakses internet, melainkan untuk membimbing mereka agar dapat mengenal dan menggunakan teknologi secara aman dan bertanggung jawab. Pernyataan tersebut disampaikannya dalam acara Sosialisasi dan Kampanye PP Tunas yang berlangsung di Universitas Udayana (Unud), Bali, pada Minggu, 13 April 2025. (Foto: Kemkomdigi)

(Vibizmedia – Jakarta) Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Pelindungan Anak (PP Tunas) dengan tujuan bukan untuk membatasi akses anak-anak terhadap internet, melainkan untuk membimbing mereka agar dapat mengenal teknologi secara aman dan bertanggung jawab. Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, menyampaikan bahwa pendekatan bertahap yang digunakan dalam PP ini dianalogikan seperti proses belajar naik sepeda yang dimulai dengan roda bantu.

Meutya Hafid juga menjelaskan bahwa anak-anak turut dilibatkan secara aktif dalam penyusunan PP Tunas, dengan mendengarkan pendapat dari sekitar 350 anak. Ia menekankan bahwa pelibatan anak merupakan bentuk komitmen pemerintah agar kebijakan yang berkaitan dengan anak juga melibatkan mereka dalam prosesnya. Pernyataan ini ia sampaikan dalam acara Sosialisasi dan Kampanye PP Tunas yang diselenggarakan di Universitas Udayana, Bali, pada Minggu, 13 April 2025.

Dalam kesempatan itu, ia menyoroti pentingnya pelindungan anak di ruang digital. Ia mengungkapkan data dari National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC) yang menunjukkan bahwa dalam empat tahun terakhir, terdapat lebih dari lima juta kasus pornografi anak di Indonesia, menjadikan Indonesia sebagai negara keempat tertinggi di dunia dan kedua di kawasan ASEAN dalam kasus tersebut. Selain itu, disebutkan pula bahwa 48 persen anak-anak Indonesia mengalami perundungan daring, dan sekitar 80.000 anak di bawah usia 10 tahun telah terpapar judi online. Meutya menekankan bahwa data ini bukan sekadar angka, melainkan isu besar yang dapat membahayakan masa depan anak-anak Indonesia, sehingga perlu ditanggapi secara serius.

Ia menambahkan bahwa PP Tunas merupakan bentuk nyata dari komitmen negara dalam melindungi generasi muda. Peraturan ini mengatur kewajiban bagi Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE)—termasuk platform media sosial, game online, situs web, dan layanan keuangan digital—untuk melakukan literasi digital serta melarang praktik pemprofilan anak untuk kepentingan komersial.

Meutya juga mengajak berbagai pihak, terutama dari sektor pendidikan, untuk bekerja sama dalam mengimplementasikan peraturan tersebut. Ia mengungkapkan bahwa Universitas Udayana menjadi universitas pertama yang dikunjungi dalam rangka sosialisasi PP Tunas karena pemerintah ingin berdialog langsung dengan komunitas akademik guna mendapatkan masukan terkait strategi komunikasi dan sosialisasi kebijakan tersebut. Bali dipilih sebagai lokasi awal karena dianggap memiliki budaya kekeluargaan yang kuat dan dapat dijadikan contoh bagi daerah lain di Indonesia.

Rektor Universitas Udayana, Prof. Ir. I Ketut Sudarsana, menyambut baik kunjungan Menkomdigi dan menyatakan bahwa pihaknya siap mendukung upaya pemerintah dalam membentuk sumber daya manusia Indonesia yang unggul. Ia menilai bahwa PP Tunas merupakan bentuk nyata kehadiran negara dalam upaya pelindungan anak dari bahaya di dunia digital. Ia juga menekankan pentingnya kerja sama antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat dalam menciptakan ekosistem digital yang sehat, aman, dan etis.

Dalam sesi diskusi, Dosen Fakultas Hukum Unud, Edward Thomas Lamury Hadjon, mengapresiasi keberadaan PP Tunas, namun menyarankan agar Pasal 15 dalam peraturan tersebut diperjelas, terutama mengenai siapa yang harus bertanggung jawab atas pemrosesan data pribadi anak. Ia menyarankan agar kewajiban tersebut secara langsung dibebankan kepada PSE untuk menghindari celah penyalahgunaan.

Senada dengan itu, Dr. Tedi Erviantono dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unud menilai bahwa meskipun PP Tunas masih memerlukan penyempurnaan, upaya pemerintah dalam melindungi generasi muda dari akses konten yang tidak sesuai usia sudah merupakan langkah positif.

Sementara itu, Dr. Ni Made Swasti Wulanyani dari Fakultas Kedokteran Unud berharap agar ke depannya ada pasal yang secara khusus mengatur kesiapan mental individu dalam penggunaan teknologi digital.

Dengan demikian, PP Tunas diharapkan dapat menjadi fondasi yang kuat untuk melindungi anak-anak Indonesia di era digital, serta memberikan mereka ruang untuk tumbuh dan berkembang secara aman dan bertanggung jawab.