Emas Kongo Mengalir Diam-Diam ke Pasar Dunia

Dalam jangka panjang, keberhasilan Kongo dalam mengubah emas dari kutukan menjadi aset pembangunan bergantung pada kemampuannya membangun sistem regulasi yang adaptif, insentif ekonomi yang adil, dan infrastruktur perdagangan yang inklusif.

0
689
Kongo

(Vibizmedia-Kolom) Di balik kekayaan mineral yang luar biasa, Republik Demokratik Kongo menghadapi tantangan besar dalam mengelola dan mengamankan sumber daya alamnya. Di wilayah timur negara tersebut, kegiatan ekonomi ilegal dalam bentuk penyelundupan emas dan mineral strategis lainnya telah berkembang menjadi industri gelap yang bernilai miliaran dolar. Fenomena ini bukan hanya merugikan penerimaan negara, tetapi juga memengaruhi struktur pasar global dan menekan industri pertambangan formal dalam negeri.

Berdasarkan laporan terbaru dari United Nations Group of Experts on the DRC, pada 2023 lebih dari 22 ton emas yang ditambang di Kongo tidak tercatat dalam jalur ekspor resmi. Nilai emas tersebut, berdasarkan harga pasar, diperkirakan mencapai lebih dari $1,1 miliar. Sebagian besar emas ini diyakini berpindah ke negara-negara tetangga seperti Uganda dan Rwanda sebelum akhirnya memasuki pasar internasional, sering kali melalui pusat perdagangan logam seperti Dubai.

Masalah utamanya bukan hanya kehilangan volume ekspor, tetapi kehilangan potensi penerimaan pajak dan royalti. Pemerintah Kongo secara rutin mencatat ekspor emas dalam jumlah kecil—kurang dari 1 ton per tahun secara resmi—meskipun produksi aktual diperkirakan jauh lebih tinggi. Dalam wawancara dengan Reuters, seorang pejabat dari Direktorat Jenderal Pajak di Kongo menyebut bahwa pendapatan dari sektor emas “tidak pernah mencerminkan potensi sumber daya yang dimiliki negara.”

Penyelundupan emas memiliki karakteristik tersendiri dibanding penyelundupan komoditas lainnya. Logam mulia ini memiliki nilai tinggi dalam volume kecil, mudah disembunyikan, dan likuid secara global. Berbeda dengan kobalt atau tembaga yang memerlukan fasilitas pengolahan besar dan pelacakan logistik kompleks, emas dapat dengan mudah dipindahkan melalui jalur darat, bahkan dalam jumlah kecil oleh individu, dan dijual kembali di pasar regional dengan sedikit atau tanpa dokumentasi.

Di lapangan, aktivitas pertambangan emas di Kongo banyak dijalankan oleh penambang skala kecil dan tradisional (artisanal mining). Menurut laporan dari International Peace Information Service, sektor pertambangan skala kecil menyumbang lebih dari 80% produksi emas di provinsi seperti Ituri dan Kivu Utara. Penambang rakyat ini sering kali bekerja dalam kondisi minim peralatan, tanpa kontrak formal, dan berada dalam ekosistem distribusi yang tidak tercatat dalam sistem pajak nasional.

Sistem perdagangan emas informal ini dikuasai oleh pedagang lokal yang membeli emas dari penambang dengan harga miring, lalu menjualnya ke pembeli yang memiliki koneksi lintas batas. Di titik ini, emas dari berbagai wilayah dikumpulkan dan disatukan (pooling), membuat pelacakan asal usul logam menjadi hampir mustahil. Proses ini dikenal sebagai “laundering” emas—bukan dalam arti pembersihan fisik, tetapi pencampuran asal geografis agar tidak dapat dibedakan dari logam legal lainnya.

Negara-negara tetangga seperti Uganda dan Rwanda menjadi simpul penting dalam rantai pasok ini. Meski produksi emas domestik kedua negara tersebut relatif kecil, data ekspor menunjukkan lonjakan signifikan. Misalnya, Rwanda mengekspor emas senilai $772 juta pada 2023, menurut data UN Comtrade, padahal negara itu tidak memiliki tambang emas besar yang aktif. Uganda, melalui kilang-kilang seperti African Gold Refinery, juga menerima pasokan besar yang diduga kuat berasal dari Kongo.

Masuknya emas ke pusat penyulingan ini memberikan dua efek ekonomi besar. Pertama, emas ilegal yang telah dimurnikan menjadi legal di atas kertas dan siap masuk ke rantai pasok internasional. Kedua, negara asal emas—dalam hal ini Kongo—kehilangan kendali atas penetapan nilai, pajak, dan keuntungan lanjutan. Padahal, menurut estimasi OECD, setiap ton emas yang diperdagangkan secara resmi berkontribusi rata-rata 20% ke kas negara penghasil dalam bentuk royalti, bea ekspor, dan pajak perusahaan.

Bagi Kongo, penyelundupan emas berarti kehilangan sumber devisa dan penghambat pembangunan industri pertambangan yang terorganisasi. Investasi di sektor tambang formal menjadi lebih berisiko karena emas bisa saja keluar tanpa melalui prosedur resmi, membuat perhitungan pengembalian investasi menjadi sulit. Dalam pernyataan yang dikutip Bloomberg, seorang eksekutif perusahaan tambang yang beroperasi di Ituri menyebut bahwa “tidak ada insentif untuk bermain sesuai aturan jika emas tetap bisa keluar secara ilegal.”

Tak hanya itu, ekonomi lokal di sekitar tambang juga terdampak oleh sistem informal ini. Karena tidak ada regulasi harga yang terstandardisasi, para penambang kecil kerap menjual dengan harga 30%–40% di bawah pasar. Artinya, keuntungan riil dinikmati oleh para pedagang dan penyelundup di hilir, bukan oleh pekerja di lapangan. Dalam sebuah studi oleh IMF Working Paper Series, disebutkan bahwa ketimpangan distribusi nilai dalam rantai emas Afrika Tengah menjadi salah satu penghambat pertumbuhan inklusif di kawasan tersebut.

Di sisi lain, pasar emas internasional menuntut asal-usul logam yang dapat ditelusuri (traceability) seiring dengan meningkatnya tekanan dari konsumen dan lembaga etika bisnis. Sejumlah perusahaan teknologi dan perhiasan global telah menyatakan komitmennya untuk hanya menggunakan logam dari sumber yang tidak terkait konflik atau eksploitasi. Namun, standar pelacakan ini masih belum seragam, dan celah dalam sistem sertifikasi membuat emas ilegal tetap dapat masuk ke jalur distribusi formal. Dalam laporan The Sentry, dijelaskan bahwa emas Kongo sering kali diklasifikasikan ulang setelah melalui negara ketiga, menjadikannya seolah-olah berasal dari sumber sah.

Selain emas, Kongo juga dikenal sebagai penghasil logam penting seperti kobalt, tembaga, dan tantalum. Meskipun sektor ini relatif lebih termonitor, masalah perdagangan ilegal tetap menjadi tantangan. Dalam konteks transisi energi global dan pertumbuhan kendaraan listrik, permintaan terhadap logam-logam ini melonjak. Namun, jika infrastruktur tata kelola dan pengawasan di tingkat lokal tidak diperkuat, maka keuntungan ekonomi dari lonjakan permintaan ini akan lebih banyak dinikmati oleh aktor-aktor di luar Kongo.

Upaya reformasi memang sedang berjalan. Pemerintah Kongo telah menerapkan inisiatif sertifikasi lokal di sektor tambang skala kecil, termasuk pelabelan logam asal tambang tertentu dan kerja sama dengan lembaga internasional seperti International Conference on the Great Lakes Region (ICGLR). Namun, implementasinya masih terbatas pada tambang yang dikelola secara formal, dan belum menyentuh ekosistem perdagangan informal yang lebih luas.

Salah satu pendekatan yang mulai dipertimbangkan adalah insentivisasi perdagangan formal melalui skema pembelian emas langsung oleh pemerintah atau koperasi yang diawasi. Dalam skema ini, penambang kecil diberi harga lebih tinggi jika menjual emas mereka ke pembeli resmi yang akan mendistribusikannya melalui jalur ekspor legal. Skema serupa telah dicoba di Ghana dan Tanzania dengan hasil bervariasi, namun dinilai lebih baik daripada pendekatan represif yang berfokus pada penindakan semata.

Tantangan lainnya adalah logistik dan infrastruktur. Banyak wilayah penghasil emas di timur Kongo sulit dijangkau karena kondisi jalan dan keamanan. Hal ini mendorong perdagangan lokal untuk lebih memilih pembeli yang dapat datang langsung ke lokasi, meskipun tidak memiliki izin resmi. Menurut studi dari World Bank, peningkatan akses transportasi dan penguatan pasar lokal dapat mengurangi ketergantungan pada jaringan penyelundupan.

Bagi konsumen global, tantangan ini merupakan bagian dari persoalan rantai pasok yang kompleks. Emas yang digunakan dalam cincin, gawai, atau kendaraan bisa saja memiliki jejak perjalanan dari tambang informal di hutan Kongo hingga pusat penyulingan di Teluk, dan akhirnya ke toko ritel di kota-kota besar dunia. Tanpa transparansi menyeluruh, konsumen tidak pernah tahu apakah produk yang mereka beli berkontribusi pada ekonomi formal atau justru memperparah kerentanan sosial dan fiskal negara penghasil.

Dalam jangka panjang, keberhasilan Kongo dalam mengubah emas dari kutukan menjadi aset pembangunan bergantung pada kemampuannya membangun sistem regulasi yang adaptif, insentif ekonomi yang adil, dan infrastruktur perdagangan yang inklusif. Penyelundupan bukan hanya soal hukum, tapi juga soal pilihan rasional dalam sistem ekonomi yang tidak memberi nilai tambah pada kepatuhan.

Selama negara tidak mampu memberi harga lebih baik, perlindungan hukum, dan akses ke pasar resmi, maka jalur gelap akan tetap menjadi pilihan utama. Maka dari itu, reformasi yang berorientasi pasar dan peningkatan tata kelola menjadi kunci untuk memastikan bahwa kekayaan emas Kongo benar-benar membawa manfaat, bukan hanya angka statistik atau laporan diplomatik.