Industri Otomotif Global Diterpa Nasib Berbeda

Dalam konteks global yang semakin tidak pasti ini, keberhasilan Rolls-Royce dalam mempertahankan panduan keuangan dan menarik kepercayaan investor memberikan pelajaran penting diversifikasi pasar, kendali biaya yang ketat, dan investasi dalam teknologi tinggi adalah kunci kelangsungan perusahaan di industri berat. Di sisi lain, kasus GM memperlihatkan bagaimana perusahaan yang terlalu terikat pada satu wilayah atau struktur pasokan yang rentan dapat dengan cepat kehilangan arah ketika menghadapi guncangan kebijakan.

0
638
otomotif global
Ilustrasi: General Motor (Sumber: Wikipedia)

(Vibizmedia-Kolom) Kinerja dua raksasa industri otomotif dan mesin global menunjukkan kontras tajam pada awal tahun 2025. Rolls-Royce Holdings Plc, produsen mesin pesawat asal Inggris, mempertahankan panduan keuangannya untuk tahun penuh setelah mencatatkan performa yang solid di seluruh divisi bisnisnya. Sebaliknya, General Motors Co., produsen mobil asal Amerika Serikat, terpaksa menarik kembali panduan laba tahunan akibat dampak signifikan dari kebijakan tarif Presiden Donald Trump terhadap kendaraan dan suku cadang impor. Kontras ini memperlihatkan bagaimana dinamika geopolitik dan struktur pasar global berperan besar dalam membentuk nasib perusahaan manufaktur besar, bahkan di saat yang hampir bersamaan.

Rolls-Royce memulai tahun 2025 dengan kekuatan menyeluruh di seluruh lini bisnisnya. Dalam pernyataan terbarunya, perusahaan menyatakan telah mencatat peningkatan dua digit dalam pendapatan layanan purna jual (aftermarket revenue) pada unit aerospace sipil mereka. Kenaikan ini mencerminkan tingginya permintaan terhadap layanan perawatan dan suku cadang mesin pesawat, menyusul lonjakan lalu lintas penerbangan global yang terus pulih sejak pandemi berakhir. Selain itu, divisi pertahanan dan sistem tenaga Rolls-Royce juga menerima peningkatan pesanan secara signifikan, menunjukkan permintaan yang stabil dari negara-negara Barat yang memperkuat sektor pertahanan mereka di tengah ketegangan geopolitik yang belum reda.

CEO Rolls-Royce, Tufan Erginbilgic, menyatakan bahwa perusahaan berada di jalur yang tepat untuk memenuhi target keuangan tahun 2025, termasuk arus kas bebas sebesar 1,7 miliar hingga 2,0 miliar pound dan laba operasi dasar sebesar 1,7 miliar hingga 2,0 miliar pound. Target ini merupakan bagian dari ambisi Erginbilgic untuk mengubah Rolls-Royce menjadi perusahaan teknik kelas dunia setelah bertahun-tahun berkutat dalam kesulitan keuangan dan operasional. Langkah restrukturisasi yang dimulai tahun lalu telah membawa hasil nyata. Margin operasional meningkat menjadi 10%, naik dari hanya 2,5% saat ia mulai menjabat, menunjukkan efisiensi biaya dan kontrol manajemen yang jauh lebih ketat.

Analis dari Bloomberg Intelligence, Pierre Ferragu, mencatat bahwa lonjakan aktivitas layanan dan pesanan baru menunjukkan bahwa Rolls-Royce telah berhasil memanfaatkan kebangkitan industri penerbangan dan kepercayaan militer global terhadap teknologinya. Saham Rolls-Royce telah melonjak hampir 200% sejak awal 2023, menjadikannya salah satu saham dengan performa terbaik di indeks FTSE 100. Keberhasilan ini juga berkontribusi pada optimisme investor terhadap sektor manufaktur berat di Inggris, yang selama ini dibayangi ketidakpastian pasca-Brexit.

Sementara itu, di seberang Atlantik, General Motors menghadapi tantangan berat. Perusahaan otomotif raksasa ini menarik kembali panduan laba tahunan mereka untuk 2025 karena dampak “signifikan” dari tarif impor kendaraan yang diumumkan oleh pemerintahan Presiden Trump pada April lalu. Tarif sebesar 25% terhadap kendaraan dan suku cadang dari negara-negara seperti Kanada, Meksiko, dan Tiongkok telah menambah tekanan biaya yang signifikan pada GM, terutama karena perusahaan sangat bergantung pada rantai pasokan lintas batas.

Pada kuartal pertama 2025, GM mencatatkan penurunan laba bersih sebesar 6,6%, turun menjadi 2,8 miliar dolar AS, meskipun pendapatan meningkat sebesar 2,3% menjadi 44 miliar dolar AS. Penurunan laba ini disebabkan oleh melemahnya penjualan truk dan SUV — dua segmen yang selama ini menjadi mesin keuntungan utama GM — serta peningkatan biaya garansi dan kompensasi tenaga kerja. CFO Paul Jacobson menyebut bahwa ketidakpastian yang disebabkan oleh tarif ini membuat perusahaan tidak dapat lagi mengandalkan panduan keuangan sebelumnya yang diumumkan pada Januari.

Sebagai langkah antisipatif, GM menghentikan program pembelian kembali saham senilai 6 miliar dolar AS, setelah hanya menghabiskan 2 miliar dolar. Perusahaan menyatakan akan menunggu kejelasan lebih lanjut mengenai kebijakan perdagangan sebelum melanjutkan strategi pengembalian modal kepada pemegang saham. Selain itu, panggilan konferensi dengan para analis yang dijadwalkan bersamaan dengan laporan keuangan juga ditunda hingga Kamis, sebagai upaya manajemen untuk memberikan analisis yang lebih komprehensif atas dampak kebijakan perdagangan baru.

Tarif ini mulai memberikan dampak terhadap permintaan konsumen. Penjualan kendaraan sempat melonjak pada Maret karena kekhawatiran bahwa harga akan segera naik, namun analis industri otomotif memperkirakan lonjakan ini bersifat sementara. Kenaikan harga yang dipicu oleh bea impor kemungkinan akan menekan daya beli konsumen, terutama di segmen kendaraan besar yang selama ini menjadi andalan margin keuntungan GM.

Dalam wawancara dengan The Wall Street Journal, sejumlah analis menyatakan bahwa GM belum menunjukkan strategi mitigasi yang jelas terhadap ancaman tarif ini. Meski perusahaan berencana meningkatkan produksi domestik, seperti di Indiana, namun langkah tersebut belum cukup untuk menggantikan efisiensi biaya dari produksi lintas batas yang telah dibangun selama dua dekade terakhir. Selain itu, rantai pasokan GM untuk suku cadang elektronik, transmisi, dan panel bodi masih sangat bergantung pada Tiongkok dan Meksiko.

Saham GM pun langsung merespons negatif. Pada perdagangan terakhir, saham GM tercatat turun 1,73% menjadi 45,24 dolar AS. Volume perdagangan mencapai hampir 18 juta lembar, mencerminkan kekhawatiran investor terhadap prospek jangka pendek perusahaan. Beberapa manajer aset juga menyebutkan bahwa mereka akan meninjau ulang eksposur terhadap saham-saham otomotif AS jika situasi tarif ini tidak kunjung membaik.

Tarif otomotif bukan hanya menekan GM. Para analis memperkirakan bahwa Ford Motor Co. dan Stellantis NV juga akan menghadapi tekanan serupa. Setengah dari total penjualan kendaraan di pasar AS bergantung pada suku cadang yang diimpor, dan hampir 40% dari seluruh kendaraan yang dirakit di Amerika Serikat menggunakan komponen utama dari luar negeri. Kondisi ini membuat seluruh industri berada dalam posisi rentan terhadap kebijakan proteksionisme.

Perbedaan mencolok antara Rolls-Royce dan GM tidak hanya terletak pada segmen pasar yang mereka layani, namun juga pada struktur biaya dan diversifikasi geografis. Rolls-Royce, yang menjual mesin jet dan sistem tenaga ke maskapai dan pemerintahan di berbagai benua, tampaknya lebih mampu mengelola ketegangan geopolitik dan fluktuasi biaya input. Sementara GM, dengan ketergantungan besar pada rantai pasok lintas batas dan pasar domestik, menunjukkan kerentanan terhadap gangguan kebijakan satu negara.

Namun demikian, tantangan tetap ada bagi Rolls-Royce. Meski pendapatan aftermarket meningkat, perusahaan masih menghadapi tekanan dari biaya bahan mentah dan upah yang meningkat di Inggris serta Eropa. Selain itu, permintaan jangka panjang untuk pesawat berbadan lebar, tempat mesin Rolls-Royce digunakan secara dominan, masih belum pulih sepenuhnya ke tingkat sebelum pandemi. Ketegangan geopolitik seperti perang Rusia-Ukraina dan konflik di Timur Tengah juga dapat memengaruhi keputusan pembelian pemerintah untuk kontrak pertahanan di masa depan.

Dalam konteks global yang semakin tidak pasti ini, keberhasilan Rolls-Royce dalam mempertahankan panduan keuangan dan menarik kepercayaan investor memberikan pelajaran penting diversifikasi pasar, kendali biaya yang ketat, dan investasi dalam teknologi tinggi adalah kunci kelangsungan perusahaan di industri berat. Di sisi lain, kasus GM memperlihatkan bagaimana perusahaan yang terlalu terikat pada satu wilayah atau struktur pasokan yang rentan dapat dengan cepat kehilangan arah ketika menghadapi guncangan kebijakan.

Dengan semakin jelasnya garis perbedaan antara perusahaan yang tangguh secara struktural dan yang terlalu bergantung pada kondisi eksternal, investor dan pembuat kebijakan di seluruh dunia akan lebih memperhatikan bagaimana perusahaan merancang model bisnis dan strategi jangka panjang mereka. Tahun 2025 tampaknya akan menjadi ujian nyata bagi kemampuan bertahan industri otomotif global di bawah tekanan ekonomi dan politik yang semakin kompleks.