
(Vibizmedia – Kolom) Indonesia memiliki mimpi besar, menjadi negara dengan pendapatan tinggi sebelum tahun 2045. Mimpi ini bukan hanya sekadar ambisi, tetapi juga target konkret dari pemerintah. Tapi untuk mencapainya, Indonesia harus bekerja keras—sangat keras. Kuncinya adalah satu yaitu produktivitas.
Sejak awal 2000-an, Indonesia telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup baik, dengan rata-rata pertumbuhan GDP sekitar 4,9 persen per tahun. Ini lebih cepat dari rata-rata dunia dan dari mayoritas negara lain yang berada di kelompok pendapatan menengah. Bahkan, kemiskinan ekstrem berhasil ditekan dari 70 persen di tahun 1984 menjadi kurang dari 2 persen pada tahun 2023.
Namun, tantangan mulai tampak. Produktivitas—atau kemampuan menghasilkan lebih banyak dengan sumber daya yang ada—justru melambat sejak 2016. Dan inilah masalah besar, karena ke depannya, pertumbuhan jumlah penduduk tidak akan sebanyak dulu, sehingga tidak bisa lagi menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, produktivitaslah yang harus mengambil alih.
Kalau ingin mencapai pendapatan tinggi di tahun 2045, Indonesia harus menaikkan produktivitas sebesar 1,6 kali lipat dari yang sekarang. Artinya, setiap pekerja harus bisa menghasilkan lebih banyak. Bagaimana caranya? Dengan meningkatkan jumlah perusahaan besar dan menengah, serta investasi yang lebih dalam, atau yang disebut “pendalaman modal.”
Saat ini, ekonomi Indonesia masih sangat didominasi oleh usaha mikro dan informal—warung, tukang, petani kecil, pedagang kaki lima. Mereka memang memberi nafkah bagi jutaan orang, tapi sayangnya produktivitas mereka rendah. Sekitar 97 persen bisnis di Indonesia adalah usaha mikro, dan mereka menyerap hampir 60 persen tenaga kerja. Tapi kontribusi mereka terhadap PDB hanya sepertiga.
Bandingkan dengan negara-negara seperti Brasil, Meksiko, Polandia, dan Portugal yang hampir masuk atau sudah masuk ke kelompok negara kaya. Di sana, perusahaan besar bisa menyerap 24 sampai 37 persen tenaga kerja. Sementara di Indonesia, hanya 15 persen.
Artinya, Indonesia perlu perubahan besar. Jika ingin menjadi negara dengan pendapatan tinggi, harus ada lebih banyak perusahaan besar dan menengah yang produktif. Targetnya, jumlah perusahaan menengah harus ditingkatkan menjadi 200.000 dan perusahaan besar menjadi 40.000. Selain itu, produktivitas mereka pun harus dua kali lipat dari sekarang. Dalam skenario ini, Indonesia akan mengalami pergeseran besar yang lebih banyak orang bekerja di sektor formal yang produktif dan bergaji tinggi.
Lalu bagaimana caranya?
Pertama, Indonesia harus membangun lebih banyak perusahaan besar. Perusahaan besar punya akses terhadap teknologi, modal, dan pelatihan. Mereka juga menjadi pusat dari ekosistem bisnis yang membantu usaha kecil dan menengah tumbuh. Sayangnya, saat ini Indonesia hanya punya sekitar 400 perusahaan sangat besar—perusahaan dengan pendapatan di atas $200 juta. Negara seperti Chile, dengan ekonomi lebih kecil, punya jumlah yang lebih banyak.
Kedua, modal per pekerja harus meningkat. Saat ini, modal non-pertanian per pekerja sekitar $31.000. Untuk mencapai status negara kaya, angka ini harus naik lebih dari tiga kali lipat menjadi sekitar $100.000. Peningkatan modal ini tidak hanya harus dilakukan oleh perusahaan, tapi juga melalui investasi publik—misalnya untuk membangun infrastruktur kota.
Ketiga, Indonesia harus mulai memindahkan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor jasa dan manufaktur. Saat ini, lebih dari setengah tenaga kerja ada di sektor jasa, tapi banyak di antaranya di sektor informal seperti perdagangan kecil dan transportasi informal. Jika dikelola dengan baik—misalnya lewat pariwisata berkelanjutan, digitalisasi usaha kecil, dan peningkatan keterampilan—sektor jasa bisa menjadi penyumbang utama pertumbuhan ekonomi.
Pariwisata, misalnya, punya potensi besar. Tapi saat ini produktivitas sektor ini masih rendah—hanya sekitar $6.700 per pekerja per tahun, jauh di bawah Thailand yang mencapai $26.300. Padahal Indonesia punya pantai, gunung, budaya, dan kekayaan alam yang luar biasa. Jika infrastruktur dan kualitas layanan ditingkatkan, pariwisata bisa menjadi andalan baru.
Begitu juga sektor jasa lainnya seperti keuangan, asuransi, real estat, teknologi informasi—yang saat ini baru menyerap 9 persen tenaga kerja. Di negara seperti Polandia dan Malaysia, angkanya hampir dua kali lipat. Untuk itu, pendidikan dan pelatihan kerja perlu ditingkatkan.
Sektor manufaktur juga perlu direvitalisasi. Dulu, sektor ini menyumbang 32 persen dari PDB, tapi kini turun menjadi hanya 19 persen. Banyak produk Indonesia masih berupa bahan mentah seperti batu bara dan kelapa sawit. Padahal kalau diolah lebih lanjut, nilainya akan jauh lebih tinggi. Contohnya, daripada mengekspor bijih nikel, Indonesia bisa memproduksi baterai EV yang bernilai tinggi.
Terakhir, sektor pertanian juga harus ditingkatkan produktivitasnya. Meskipun sebagian besar petani hanya punya lahan kecil, mereka bisa dibantu melalui mekanisasi, penggunaan benih unggul, dan teknologi digital. Perubahan ini penting agar ketika petani muda pindah ke kota, mereka bisa bekerja di sektor formal, bukan malah menambah pengangguran atau pekerja informal.
Perjalanan ini tidak mudah, apalagi Indonesia menghadapi tantangan geografis yang unik, negara kepulauan dengan 6.000 pulau berpenghuni, biaya logistik tinggi, dan kesenjangan pembangunan antar daerah. Tapi tantangan ini juga bisa menjadi kekuatan jika dikelola dengan baik.
Indonesia punya potensi besar, tapi untuk mencapainya, harus ada transformasi besar dalam struktur ekonomi dan bisnisnya. Perusahaan harus bertumbuh, modal harus ditingkatkan, sektor informal harus berkurang, dan semua sektor—dari jasa, manufaktur, hingga pertanian—harus berkontribusi terhadap produktivitas. Bila semua itu berhasil, maka mimpi Indonesia menjadi negara berpendapatan tinggi di tahun 2045 bukan lagi sekadar wacana, tapi kenyataan.
Indonesia sedang berdiri di persimpangan sejarah. Kita telah membuktikan mampu keluar dari kemiskinan ekstrem dan menjadi negara dengan pendapatan menengah, tetapi untuk melangkah ke tingkat berikutnya, kita perlu keberanian untuk berubah. Salah satu tantangan terbesar adalah ketergantungan pada sektor informal dan usaha mikro yang meskipun memberi nafkah, tidak mampu menciptakan lompatan produktivitas. Indonesia perlu memfasilitasi kelahiran dan pertumbuhan perusahaan skala menengah dan besar, terutama di luar sektor komoditas. Namun perubahan ini tidak cukup hanya dari sisi ekonomi—dibutuhkan kebijakan pendidikan, keuangan, dan infrastruktur yang konsisten dan terintegrasi.
Selain itu, kita percaya bahwa kunci lain yang tak boleh diabaikan adalah kepercayaan publik dan semangat kewirausahaan. Banyak rakyat Indonesia sebenarnya punya ide dan energi untuk membangun bisnis, tapi sering kali terkendala birokrasi, akses modal, atau minimnya dukungan ekosistem. Jika pemerintah mampu menciptakan iklim yang mendorong inovasi dan memberikan ruang aman bagi eksperimen bisnis, kita bisa melihat ledakan kreativitas dan produktivitas yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dengan kata lain, produktivitas bukan hanya soal mesin dan modal, tapi soal kepercayaan pada masa depan yang bisa kita bangun bersama.