(Business Lounge – Global News) Industri otomotif global tengah menghadapi dilema strategis yang makin mendesak bagaimana memastikan kelangsungan produksi mobil listrik dan kendaraan hybrid di tengah ketergantungan ekstrem terhadap Rare-earth magnets asal China. Ketika peta geopolitik semakin bergeser, dan Beijing memperketat kendali atas ekspor bahan-bahan penting, pabrikan besar seperti Toyota, General Motors, BMW, dan Tesla terjebak dalam situasi genting yang mengancam stabilitas rantai pasok mereka.
Rare-earth magnets, merupakan komponen tak tergantikan dalam sistem motor listrik modern. Hampir semua mobil listrik di dunia saat ini menggunakan jenis magnet neodymium-iron-boron (NdFeB), yang memungkinkan motor bekerja efisien dan kuat dalam ukuran kompak. Sayangnya, lebih dari 90% pasokan global magnet ini masih diproduksi atau diselesaikan di China, menurut data yang dikutip oleh The Wall Street Journal.
Dalam laporannya, The Wall Street Journal mengungkap bahwa perusahaan-perusahaan otomotif besar kini berada dalam perlombaan untuk mencari solusi agar tidak terjebak dalam ketergantungan satu negara yang bisa mematikan lini produksi global hanya dengan satu keputusan ekspor. Kekhawatiran ini makin nyata setelah Beijing memberlakukan aturan baru pada akhir 2023 yang membatasi ekspor beberapa logam tanah jarang, dengan alasan keamanan nasional. Akibatnya, harga magnet NdFeB melonjak dan para produsen suku cadang mendapati kesulitan mengamankan pasokan jangka panjang.
Dalam situasi ini, beberapa perusahaan otomotif mempertimbangkan langkah ironis—memindahkan sebagian produksi komponen kembali ke China. Tujuannya adalah untuk menghindari larangan ekspor dan memastikan akses langsung ke pabrik-pabrik pemrosesan lokal. Menurut analisis Financial Times, langkah ini diambil bukan karena strategi jangka panjang, melainkan karena tidak ada pilihan lain untuk menjaga agar lini perakitan tidak berhenti total.
Ford Motor Co. misalnya, disebut sedang menjajaki kesepakatan dengan pemasok magnet di provinsi Jiangxi agar beberapa komponen kritis bisa dibuat di dalam China lalu dirakit lokal sebelum dikirim sebagai modul ke pabrik mereka di Meksiko dan Amerika Serikat. Dalam skenario ini, kendaraan buatan Ford akan tetap mengandung komponen buatan China, namun tidak terganjal aturan ekspor karena perakitannya berlangsung di dalam wilayah China itu sendiri.
BMW dan Mercedes-Benz juga dilaporkan oleh Bloomberg sedang meningkatkan investasi pada kemitraan teknologi magnet di Asia Tenggara dan Eropa Timur, namun menghadapi tantangan dalam hal skala dan efisiensi. Magnet yang tidak dibuat dengan teknologi China cenderung lebih mahal, kurang stabil dalam performa tinggi, dan sulit diperoleh dalam volume besar.
Sementara itu, Toyota telah lama mencoba mengembangkan alternatif magnet yang mengurangi kandungan neodymium atau menggantinya dengan elemen lain seperti cerium atau lanthanum. Namun menurut laporan riset dari Nikkei Asia, magnet alternatif ini masih belum siap digunakan dalam skala massal untuk kendaraan konsumen karena keterbatasan suhu kerja dan efisiensi daya.
Upaya diversifikasi memang telah dimulai, tetapi masih jauh dari tuntas. Australia, Kanada, dan Amerika Serikat mencoba membangun rantai pasok tanah jarang mandiri. Lynas Rare Earths dari Australia dan MP Materials di Nevada menjadi pionir dalam pengolahan awal logam-logam ini. Namun seperti diungkap oleh Reuters, langkah mereka tersendat oleh biaya tinggi, perizinan lingkungan yang ketat, dan kurangnya fasilitas pemrosesan lanjutan di luar China. Akibatnya, banyak logam yang ditambang di luar negeri tetap dikirim ke China untuk diproses menjadi magnet.
Salah satu contoh nyata dari ketergantungan ini adalah perusahaan MP Materials yang menambang logam tanah jarang di California, tetapi harus mengirimnya ke China agar bisa diproses menjadi magnet siap pakai, seperti diungkap dalam investigasi oleh CNBC. Ketika China menerapkan pembatasan ekspor atau larangan transfer teknologi, maka seluruh operasi tersebut akan lumpuh.
Ketidakpastian ini mengguncang strategi rantai pasok global. Produsen mobil kini berlomba menandatangani kontrak jangka panjang, menyimpan stok magnet dalam jumlah besar, bahkan mengembangkan teknologi motor listrik baru yang tidak memerlukan magnet permanen. General Motors misalnya, mulai mengembangkan motor induksi (induction motor) untuk kendaraan tertentu, seperti dilakukan Tesla pada awal era Model S. Namun, motor induksi memiliki efisiensi lebih rendah dan bobot lebih berat dibandingkan motor berbasis magnet permanen.
Menurut analisis The Economist, ini bukan sekadar masalah teknis atau manufaktur. Ini adalah persoalan geopolitik yang menuntut koordinasi antara dunia usaha dan pemerintah. Uni Eropa misalnya, telah menetapkan magnet tanah jarang sebagai “raw material of strategic importance” dan meluncurkan Critical Raw Materials Act untuk mempercepat investasi di bidang ini. Amerika Serikat melalui Inflation Reduction Act juga menyuntikkan dana miliaran dolar untuk memperkuat industri dalam negerinya, namun hasilnya masih perlu waktu bertahun-tahun.
Beberapa perusahaan teknologi energi juga turut terpengaruh. Turbin angin skala besar dan peralatan militer seperti sistem radar dan kendali rudal juga bergantung pada magnet NdFeB. Dengan kata lain, kekhawatiran industri otomotif hanya sebagian dari masalah yang lebih luas: dominasi China atas material strategis global.
Langkah Beijing dalam memperketat ekspor bukan terjadi dalam kekosongan. Menurut laporan South China Morning Post, pemerintah China melihat bahwa Rare-earth magnets kini setara nilainya dengan chip semikonduktor atau minyak, dan dapat digunakan sebagai alat negosiasi global. Kebijakan ekspor mereka kini menyertakan proses perizinan yang lebih ketat dan pengawasan lebih tajam terhadap transfer teknologi terkait magnet, bahkan untuk penggunaan sipil.
Dalam kondisi seperti ini, perusahaan-perusahaan di luar China seolah terperangkap dalam paradoks. Jika mereka memilih mendirikan pabrik di China agar mendapat akses pasokan, maka mereka mempertaruhkan ketergantungan lebih lanjut terhadap kebijakan politik negara tersebut. Namun jika mereka memilih keluar dan membangun rantai pasok alternatif, mereka menghadapi tantangan teknologi, biaya tinggi, dan kekurangan tenaga kerja terampil.
Sementara itu, waktu terus berjalan. Permintaan global terhadap kendaraan listrik diperkirakan akan meningkat pesat dalam lima tahun ke depan. International Energy Agency memperkirakan bahwa produksi kendaraan listrik dunia akan mencapai lebih dari 40 juta unit per tahun pada 2030. Hampir seluruh kendaraan itu membutuhkan magnet tanah jarang untuk motor, sensor, dan sistem kontrol elektroniknya.
Kondisi ini menimbulkan ketegangan di ruang rapat dewan direksi perusahaan otomotif besar. Menurut sumber internal yang dikutip oleh The Wall Street Journal, beberapa eksekutif mempertimbangkan strategi hybrid menjaga jalur pasok dari China tetap berjalan sambil secara paralel membangun opsi alternatif. Strategi ini penuh risiko, tetapi dianggap realistis dalam jangka pendek.
Secara keseluruhan, kisah krisis magnet tanah jarang ini mencerminkan tantangan besar bagi globalisasi industri. Ketika efisiensi logistik dan keunggulan biaya menjadi prioritas utama selama tiga dekade terakhir, kini ketahanan rantai pasok, kemandirian teknologi, dan stabilitas geopolitik mulai mendikte arah keputusan industri.
Di tengah situasi ini, satu hal menjadi jelas: kemampuan perusahaan untuk terus memproduksi mobil—yang tampak sederhana seperti SUV di jalan tol—bergantung pada butiran kecil magnet yang tak terlihat, berasal dari tambang terpencil di Asia, dan dikuasai oleh kekuatan ekonomi dan politik yang semakin tak terelakkan.