New York ke Paris Kurang Dari Empat Jam

Dalam satu dekade mendatang, jika visi Blake Scholl terealisasi, kita mungkin akan melihat kembalinya pesawat supersonik melintasi Atlantik. Namun kali ini, bukan hanya dengan kecepatan, tetapi juga dengan kesadaran terhadap emisi karbon, kenyamanan penumpang, dan profitabilitas maskapai. Dunia penerbangan sedang bergerak cepat, dan siapa yang berhasil menjinakkan kecepatan dan efisiensi sekaligus akan menjadi pemenang.

0
352
Boom Supersonic

(Vibizmedia-Kolom) Suatu hari di masa depan, waktu tempuh dari New York ke Paris bisa hanya membutuhkan kurang dari empat jam, memangkas lebih dari separuh durasi penerbangan komersial saat ini. Di balik ambisi ini adalah Boom Supersonic, sebuah perusahaan rintisan asal Colorado yang dipimpin oleh CEO Blake Scholl, yang bertekad menghidupkan kembali era pesawat supersonik seperti Concorde. Namun, realisasinya tidak sekadar soal teknologi, tetapi juga melibatkan persetujuan regulator, minat pasar, dan dinamika geopolitik.

Menurut laporan dari The Wall Street Journal, pesawat prototipe Boom yang disebut XB-1 telah berhasil melakukan uji coba penerbangan di Gurun Mojave, California, pada awal tahun 2024. Uji coba ini menandai langkah awal menuju pengembangan pesawat komersial Overture, yang ditargetkan dapat membawa 64–80 penumpang dengan kecepatan Mach 1.7—lebih dari dua kali kecepatan pesawat komersial biasa. Blake Scholl mengatakan bahwa “kami ingin menjadikan perjalanan global lebih cepat, lebih efisien, dan berkelanjutan.”

Namun, untuk memahami ambisi Boom, kita perlu melihat ke belakang—ke masa ketika Concorde pertama kali terbang. Diluncurkan pada 1969, Concorde merupakan kerja sama monumental antara Inggris dan Prancis, yang bertahan hingga 2003 sebelum pensiun karena tekanan biaya, kebisingan, dan tragedi kecelakaan pada 2000. Sejak itu, dunia penerbangan komersial telah bergerak ke arah efisiensi bahan bakar dan biaya rendah. Upaya untuk menghidupkan kembali supersonik telah menemui jalan berliku.

Kini, dengan kemajuan teknologi aerodinamika dan material komposit ringan, peluang itu terbuka lagi. Boom Supersonic, yang telah mendapat dukungan dari American Express Ventures, Japan Airlines, dan United Airlines, mengklaim bahwa pesawat Overture akan terbang dengan 100% bahan bakar berkelanjutan (SAF). Menurut Bloomberg, Boom telah mengamankan lebih dari 130 pesanan potensial dari maskapai, dengan nilai proyek yang dapat menembus angka miliaran dolar.

Namun, Reuters melaporkan bahwa tantangan utama bukanlah hanya pada teknologi. Terdapat hambatan regulasi yang cukup signifikan. FAA di AS dan EASA di Eropa belum memberikan izin penuh bagi pesawat supersonik baru untuk beroperasi di jalur komersial. Isu kebisingan sonik dan konsumsi bahan bakar menjadi perhatian utama. Untuk itu, Boom harus membuktikan bahwa Overture mampu mematuhi standar emisi dan kebisingan yang ketat.

Tidak hanya Boom yang mengejar pasar supersonik ini. Perusahaan Hermeus, didukung oleh investasi dari U.S. Air Force, sedang mengembangkan pesawat hipersonik yang mampu melaju hingga Mach 5. NASA dan Lockheed Martin juga bekerja sama dalam proyek X-59 QueSST, yang dirancang untuk menciptakan “sonic thump” alih-alih sonic boom. Persaingan ini menandakan bahwa supersonik bukan sekadar mimpi futuristik, melainkan lahan strategis dalam teknologi penerbangan.

Dalam wawancara dengan Financial Times, Blake Scholl menegaskan bahwa “kunci keberhasilan bukan hanya kecepatan, tetapi juga keberlanjutan ekonomi. Jika harga tiketnya mencapai US$20.000, hanya sedikit orang yang akan membeli.” Boom mengklaim bahwa dengan desain efisien dan pengoperasian pada jalur yang sudah ada, harga tiket Overture bisa bersaing dengan kelas bisnis saat ini.

Meskipun begitu, menurut analis dari CNBC, terdapat kekhawatiran bahwa maskapai-maskapai akan ragu untuk mengalokasikan investasi besar tanpa jaminan kepastian operasional. Biaya pengembangan Overture diperkirakan bisa melebihi US$8 miliar. Di sisi lain, investor menilai bahwa adanya celah pasar baru—penumpang kelas atas yang ingin memangkas waktu—dapat memberikan margin profit yang menarik.

Di luar aspek teknis dan finansial, pertanyaan tentang geopolitik dan diplomasi udara juga muncul. Jalur penerbangan supersonik memerlukan izin dari berbagai negara. Jika Boom ingin mengoperasikan Overture dari AS ke Eropa atau Asia, maka harus ada kesepakatan lintas batas soal kebisingan sonik dan emisi. Negara-negara seperti Prancis, Jerman, dan Jepang memiliki regulasi ketat terkait penerbangan supersonik.

Menurut laporan dari Air & Space Magazine, Boom sedang menjajaki kerja sama dengan bandara-bandara di Timur Tengah dan Asia Tenggara yang mungkin lebih terbuka untuk menerima operasi supersonik. Bandara Dubai, Doha, dan Singapura disebut sebagai kandidat utama untuk menjadi hub Overture di masa depan.

Dalam satu dekade mendatang, jika visi Blake Scholl terealisasi, kita mungkin akan melihat kembalinya pesawat supersonik melintasi Atlantik. Namun kali ini, bukan hanya dengan kecepatan, tetapi juga dengan kesadaran terhadap emisi karbon, kenyamanan penumpang, dan profitabilitas maskapai. Dunia penerbangan sedang bergerak cepat, dan siapa yang berhasil menjinakkan kecepatan dan efisiensi sekaligus akan menjadi pemenang.

Boom Supersonic masih jauh dari titik lepas landas secara komersial, tetapi mereka telah membangkitkan harapan bahwa era baru penerbangan cepat sedang dalam perjalanan. Apakah pasar dan regulasi akan cukup siap? Itu pertanyaan yang akan terjawab dalam waktu dekat.

Kendati gagasan penerbangan supersonik bukan hal baru, realisasi teknologi ini pada era modern menuntut kompromi antara kecepatan, efisiensi bahan bakar, dan jejak karbon yang ramah lingkungan. CEO Boom Supersonic, Blake Scholl, dalam wawancaranya yang dikutip oleh The Wall Street Journal, menegaskan bahwa ambisi mereka bukan hanya menciptakan pesawat cepat, tetapi juga pesawat yang layak secara ekonomi dan berkelanjutan secara lingkungan. “Kami tidak hanya menghidupkan kembali Concorde, kami merancang ulang masa depan penerbangan global,” ujar Scholl.

Salah satu tantangan utama dalam pengembangan jet supersonik saat ini adalah regulasi penerbangan yang ketat terkait sonic boom—ledakan suara yang terjadi saat pesawat melampaui kecepatan suara. Di Amerika Serikat, penerbangan supersonik di atas daratan sipil masih dilarang karena kekhawatiran terhadap polusi suara. Oleh sebab itu, proyek Boom difokuskan pada rute transatlantik seperti New York–London atau New York–Paris yang mengizinkan penerbangan di atas laut. Namun, Reuters menyebut bahwa FAA kini sedang mengevaluasi kembali peraturan ini, membuka kemungkinan bagi jet masa depan untuk terbang lebih luas.

Dikutip dari CNBC, Boom Supersonic telah menjalin kemitraan strategis dengan beberapa pihak, termasuk United Airlines yang memesan 15 unit pesawat Overture, dengan opsi tambahan 35 unit lainnya. Maskapai tersebut optimistis bahwa pesawat ini akan memenuhi kebutuhan pasar premium yang selama ini didominasi oleh penerbangan kelas bisnis dan first class. United menganggap bahwa kecepatan adalah faktor yang semakin berharga di era modern, di mana perjalanan bisnis internasional menuntut efisiensi waktu maksimal.

Namun, analis industri mengingatkan bahwa masih banyak pertanyaan yang belum terjawab. Menurut laporan Financial Times, hingga saat ini Boom belum memiliki mesin jet siap pakai yang sudah lolos uji regulasi. Meskipun mereka bekerja sama dengan perusahaan besar seperti Rolls-Royce, program pengembangan mesin khusus untuk Overture masih dalam tahap konseptual. Ini menjadi perhatian investor dan mitra potensial karena komponen mesin merupakan elemen paling kompleks dan mahal dalam proyek pesawat supersonik.

Dari sisi infrastruktur, peluncuran kembali penerbangan supersonik menuntut adaptasi pada bandara global. Pihak Boom menyatakan bahwa mereka telah berdiskusi dengan beberapa operator bandara internasional mengenai kebutuhan landasan pacu, terminal khusus, serta fasilitas pemeliharaan pesawat. Seperti disampaikan oleh Bloomberg, bandara seperti Heathrow dan JFK kemungkinan besar menjadi kandidat awal untuk melayani rute Overture jika pesawat berhasil mengudara pada awal 2030-an.

Selain tantangan teknis, aspek biaya juga menjadi pertanyaan besar. Harga tiket pesawat supersonik diperkirakan jauh lebih mahal dibandingkan penerbangan komersial biasa. Namun, New York Times menyebut bahwa Boom menargetkan harga tiket tidak setinggi Concorde di masa lalu, yang bisa mencapai lebih dari $10.000 untuk satu arah. Dengan teknologi baru yang lebih hemat bahan bakar dan kapasitas penumpang sekitar 64–80 orang, Boom berharap dapat menawarkan harga yang lebih kompetitif, mungkin setara dengan tiket kelas bisnis.

Kekhawatiran lingkungan juga menjadi sorotan. Industri penerbangan menyumbang sekitar 2–3 persen dari emisi karbon global, dan pesawat supersonik dikenal lebih boros bahan bakar. Namun, Boom mengklaim bahwa Overture akan menjadi jet komersial pertama yang dirancang untuk beroperasi 100% dengan SAF (Sustainable Aviation Fuel). Menurut The Guardian, jika berhasil, langkah ini bisa menjadi tonggak penting dalam menyeimbangkan inovasi kecepatan dengan komitmen terhadap keberlanjutan.

Sementara itu, beberapa kompetitor mulai menunjukkan ketertarikan terhadap pasar ini. NASA dan Lockheed Martin mengembangkan pesawat konsep X-59 yang diklaim mampu meminimalkan sonic boom hingga level suara pintu mobil ditutup. Di sisi lain, perusahaan seperti Hermeus dan Exosonic, didukung oleh kontrak militer dan swasta, juga tengah mengembangkan varian jet cepat untuk keperluan sipil dan pertahanan.

Dalam konteks ini, Boom Supersonic perlu lebih dari sekadar teknologi. Mereka harus membangun kepercayaan pasar, menjalin dukungan regulasi, meyakinkan mitra industri, serta menunjukkan roadmap finansial yang realistis. Investor menyoroti perlunya transparansi dalam jadwal peluncuran, rincian biaya pengembangan, dan kepastian akan kepatuhan terhadap standar keselamatan penerbangan sipil global.

Kementerian Transportasi AS, seperti diberitakan oleh Politico, menyatakan bahwa jika pesawat seperti Overture memenuhi persyaratan teknis dan lingkungan, mereka tidak akan menghalangi terobosan teknologi ini. Bahkan, dukungan terhadap inovasi menjadi bagian dari strategi nasional untuk mempertahankan dominasi AS dalam industri dirgantara global.

Dari sisi pasar, peluang tampak menjanjikan. Menurut proyeksi dari IATA, jumlah penumpang global akan mencapai lebih dari 8 miliar pada tahun 2040, didorong oleh pertumbuhan ekonomi Asia, mobilitas global, dan kebutuhan perjalanan bisnis lintas benua. Jika Overture berhasil menjawab kebutuhan tersebut, maka Boom bisa menjadi pionir dalam era baru penerbangan yang cepat, eksklusif, dan berkelanjutan.

Scholl tetap optimis, dan dalam banyak wawancara publik, ia menyatakan bahwa “setiap generasi seharusnya memiliki Concorde-nya sendiri.” Jika visinya terwujud, bukan tidak mungkin dalam waktu satu dekade ke depan, perjalanan dari New York ke Paris hanya memakan waktu kurang dari empat jam—menjadi standar baru dalam mobilitas global berkecepatan tinggi.