‘Vibe Coding’ Menjadi Andalan Baru Perusahaan Besar

0
597
vibe coding

(Vibizmedia – Kolom) Fenomena baru dalam dunia pemrograman tengah merevolusi cara kerja para pengembang perangkat lunak di berbagai industri, vibe coding. Istilah yang awalnya muncul dalam komunitas teknologi sebagai bentuk ekspresi ringan terhadap pemrograman intuitif ini, kini telah menjelma menjadi metodologi serius di berbagai perusahaan besar. Dengan pendekatan yang bertumpu pada penggunaan natural language prompt—perintah berbasis bahasa sehari-hari yang ditangani oleh model kecerdasan buatan seperti GPT dan Claude—vibe coding menjanjikan kecepatan, fleksibilitas, dan inklusivitas dalam proses pengembangan aplikasi. Apa yang dulunya merupakan mimpi komunitas low-code dan no-code, kini memasuki ranah enterprise dengan kecepatan yang luar biasa.

Menurut laporan The Wall Street Journal, perusahaan-perusahaan seperti Vanguard, Choice Hotels, dan berbagai institusi keuangan mulai mengintegrasikan vibe coding ke dalam proses teknis mereka. Bukan lagi sekadar alat eksperimen para hobiis, vibe coding telah menjadi alat produktivitas yang sangat nyata di lingkungan profesional. Vanguard, misalnya, melaporkan bahwa dengan bantuan vibe coding, tim mereka berhasil membuat prototipe halaman web yang biasanya memakan waktu dua minggu hanya dalam 20 menit. Transformasi ini tak hanya mempercepat proses, tetapi juga mengubah peran insinyur perangkat lunak menjadi lebih strategis—fokus pada desain sistem, pengawasan kualitas, dan keamanan, bukan lagi sekadar mengetik baris demi baris kode.

Konsep dasar dari vibe coding adalah mendorong AI untuk menulis kode berdasarkan konteks yang dijelaskan oleh pengguna secara naratif. Artinya, alih-alih menulis fungsi dengan sintaks Python atau JavaScript, seorang insinyur cukup mengatakan, “Buatkan halaman login dengan autentikasi dua faktor dan integrasi dengan OAuth,” lalu model AI akan menghasilkan kode yang sesuai dalam hitungan detik. Vibe coding bukan hanya memungkinkan percepatan, tetapi juga menjangkau tim non-teknis yang kini bisa berkontribusi dalam pembuatan prototipe, pengujian ide, atau penyesuaian fungsionalitas aplikasi secara langsung. Inklusivitas ini menjadi nilai tambah besar bagi perusahaan yang ingin memaksimalkan kolaborasi antar departemen.

Namun, tidak semua pihak menerima perubahan ini dengan euforia. Di kalangan insinyur perangkat lunak senior, vibe coding memunculkan perasaan ambivalen. Greg Brockman, salah satu pendiri OpenAI, dalam wawancaranya dengan Business Insider, menyebut bahwa vibe coding memang menghilangkan sebagian besar bagian menyenangkan dari pengkodean—yakni eksplorasi, penulisan algoritma, dan improvisasi teknis. Sebaliknya, yang tersisa adalah pekerjaan berat: pengujian, debugging, deployment, dan verifikasi keamanan. Dengan kata lain, AI mengambil “bagian menyenangkan,” dan manusia mengurus sisanya. Bagi banyak insinyur, pergeseran ini terasa seperti kehilangan identitas, sementara bagi manajemen, itu adalah efisiensi maksimal.

Masalah lain yang muncul adalah terkait keamanan dan tata kelola sistem. AI yang digunakan untuk vibe coding cenderung menghasilkan kode yang terlihat berfungsi, namun bisa saja mengandung celah keamanan seperti injection, cross-site scripting (XSS), atau pengelolaan memori yang buruk. Kode yang dihasilkan AI juga belum tentu konsisten dengan arsitektur perangkat lunak yang digunakan perusahaan, apalagi jika AI tersebut tidak dilatih dengan konteks penuh dari sistem internal. Di sinilah peran insinyur tetap krusial: mengevaluasi hasil generate AI, memastikan kepatuhan terhadap standar pengkodean perusahaan, dan mengelola integrasi antarmuka yang kompleks.

Beberapa perusahaan besar menyikapi tantangan ini dengan membangun ekosistem khusus di mana vibe coding dapat berkembang tanpa menimbulkan risiko. Choice Hotels, misalnya, membangun kerangka kerja (framework) yang memungkinkan AI seperti GPT-4 untuk menghasilkan kode langsung ke dalam basis kode yang telah distandarkan. Mereka menciptakan lingkungan sandbox, sistem validasi otomatis, dan struktur approval yang berlapis sebelum kode tersebut masuk ke sistem produksi. Pendekatan ini menyeimbangkan kecepatan dan keamanan, dan memungkinkan kolaborasi yang terstruktur antara manusia dan AI.

Gartner memperkirakan bahwa dalam waktu tiga tahun ke depan, sebanyak 40 persen perangkat lunak internal di perusahaan-perusahaan besar akan dikembangkan sebagian atau seluruhnya dengan pendekatan berbasis prompt. Ini merupakan lompatan besar dari pendekatan low-code dan no-code yang sebelumnya hanya digunakan untuk aplikasi-aplikasi kecil. Dengan kemajuan model AI yang semakin akurat, ditambah dengan integrasi natural language processing (NLP) ke dalam alat pengembangan perangkat lunak, vibe coding bisa menjadi norma baru dalam siklus produksi perangkat lunak di perusahaan besar.

Namun, tantangan terbesar adalah tata kelola. Banyak pemimpin TI mengkhawatirkan kemunculan “shadow IT”—yaitu aplikasi atau tool yang dikembangkan oleh tim internal tanpa pengawasan dari departemen TI. Ketika siapa pun di organisasi dapat membuat aplikasi dengan prompt sederhana, risiko terhadap keamanan, kepatuhan, dan skalabilitas meningkat. Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan besar mulai membentuk tim governance khusus untuk memantau aktivitas coding berbasis AI, menetapkan kebijakan penggunaan AI internal, dan mengembangkan sistem audit yang dapat melacak asal-usul dan dampak setiap perubahan kode.

Dari sisi SDM, tren vibe coding juga mengubah cara perusahaan merekrut dan melatih insinyur. Deskripsi pekerjaan baru mulai mencantumkan “pengalaman dengan AI-based prompt coding” sebagai kualifikasi wajib. Perusahaan seperti Reddit, DoorDash, dan bahkan Visa telah mulai menyusun pelatihan internal yang menggabungkan prinsip-prinsip arsitektur perangkat lunak tradisional dengan keterampilan prompt engineering. Ini menunjukkan bahwa skill set masa depan tidak lagi terbatas pada bahasa pemrograman, melainkan juga pada kemampuan memahami konteks bisnis, memformulasikan perintah yang jelas kepada AI, dan menafsirkan hasilnya dengan tepat.

Meskipun banyak manfaat yang ditawarkan vibe coding, tidak semua aplikasi cocok dengan pendekatan ini. Sistem yang bersifat kompleks, sangat teregulasi, atau memiliki integrasi antar sistem yang rumit, tetap memerlukan pendekatan manual dan supervisi penuh oleh tim teknis. Para analis dari Financial Times dan The Economist menggarisbawahi bahwa vibe coding sangat efektif untuk prototyping cepat, pengembangan tool internal, dan MVP (minimum viable product), namun belum cukup matang untuk menggantikan seluruh pipeline pengembangan perangkat lunak yang digunakan di industri keuangan, layanan kesehatan, atau transportasi nasional.

Namun demikian, tren ini terus bergerak maju. Perusahaan-perusahaan raksasa seperti Microsoft dan Google pun mulai membangun tool internal yang mendukung vibe coding, seperti GitHub Copilot Enterprise dan Duet AI untuk Google Workspace. Tool ini bukan sekadar tambahan, tetapi mulai menjadi pusat dari strategi pengembangan produk dan layanan baru mereka. Ketika AI makin bisa memahami konteks historis proyek, kebijakan internal, dan dependensi teknis, batas antara human-written code dan AI-generated code akan makin kabur.

Di Indonesia, fenomena vibe coding masih dalam tahap pengenalan, namun potensinya sangat besar, khususnya bagi perusahaan rintisan dan pelaku UMKM yang ingin membangun sistem digital tanpa harus menyewa tim pengembang lengkap. Beberapa penyedia jasa teknologi lokal bahkan mulai menawarkan layanan “AI prompt development” sebagai bagian dari solusi software-as-a-service mereka. Dengan keterbatasan SDM IT di banyak sektor, vibe coding bisa menjadi jalan pintas untuk transformasi digital secara cepat dan murah. Namun, tantangan yang sama—terutama dalam tata kelola, kualitas, dan keamanan—perlu menjadi perhatian utama jika ingin menerapkannya secara luas di lingkungan bisnis lokal.

Fenomena vibe coding tidak hanya mencerminkan evolusi dalam cara kita membuat kode, tetapi juga pergeseran budaya dalam dunia teknologi. Dulu, pemrograman adalah tentang logika dan ketelitian; kini, ia juga menjadi soal intuisi, kreativitas, dan komunikasi antar mesin. Vibe coding memperluas siapa saja yang bisa menjadi “developer,” dan pada saat yang sama, menantang batas-batas peran teknis yang selama ini dianggap eksklusif.

Dalam jangka panjang, kemungkinan besar kita akan melihat model kerja baru di mana insinyur, AI, dan pengguna bisnis bekerja bersama dalam satu ekosistem pengembangan yang sangat kolaboratif. Kecepatan bukan lagi satu-satunya tujuan; transparansi, kontrol, dan hasil yang dapat diaudit akan menjadi kunci keberlanjutan metode ini di lingkungan enterprise. Vibe coding bukan akhir dari pemrograman tradisional, melainkan evolusinya—di mana ide, bukan kode, menjadi mata uang utama dalam inovasi teknologi masa depan.