(Vibizmedia-Nasional) Alih-alih bergembira merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia, kalangan industri justru dikejutkan dengan kabar tidak menyenangkan. Produsen gas bumi mengumumkan adanya pembatasan pasokan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) untuk sektor industri, memicu kekhawatiran serius di kalangan investor manufaktur dalam negeri.
Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Febri Hendri Antoni Arief, menyebut keputusan itu sebagai “kado buruk” bagi industri nasional.
“Pada momen HUT ke-80 RI, seharusnya seluruh rakyat Indonesia, termasuk pelaku industri, dapat bergembira. Namun, kabar pembatasan HGBT justru menimbulkan luka dan membuat industri kembali memaknai arti kemerdekaan,” ujarnya seusai mengikuti Upacara HUT ke-80 RI di Kantor Kemenperin, Jakarta, Minggu (17/8).
Febri menjelaskan, gas bumi memegang peranan vital sebagai bahan baku dan sumber energi produksi di berbagai sektor, mulai dari pupuk, kaca, keramik, baja, oleokimia, hingga sarung tangan karet. Selama ini, program HGBT yang ditetapkan pemerintah memberikan harga sekitar USD 6,5 per MMBTU.
Namun, pasokan gas dengan harga subsidi tersebut justru tersendat. “Ini yang mengherankan. Pasokan gas harga di atas USD 15–17 per MMBTU lancar, tapi pasokan gas USD 6,5 tidak lancar. Kalau pengetatan terjadi, harga bisa melonjak hingga USD 15–17. Mesin-mesin produksi bisa terhenti, dan untuk menyalakan kembali butuh waktu, energi, serta biaya lebih besar,” jelas Febri.
Ia menegaskan, pembatasan HGBT berpotensi menurunkan utilisasi pabrik, bahkan sampai pada penutupan usaha dan pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Lebih dari 100 ribu pekerja di sektor penerima manfaat HGBT akan terdampak. Bila industri menurunkan kapasitas atau menutup pabrik, PHK tidak dapat dihindarkan,” tegasnya.
Kenaikan harga gas otomatis akan berimbas pada harga produk akhir. “Jika bahan baku naik, otomatis harga produk juga naik. Akibatnya, daya saing industri nasional melemah dan kalah bersaing dengan produk luar negeri,” kata Febri.
Ia menekankan pentingnya stabilitas pasokan energi untuk menjamin keberlanjutan industri. “Jika tidak terjaga, upaya pemerintah mendorong investasi dan memperkuat daya saing akan terhambat,” ujarnya.
Febri juga menilai kebijakan pembatasan HGBT tidak sejalan dengan arah kebijakan Presiden Prabowo Subianto dalam Asta Cita yang menekankan kemandirian energi, pangan, hilirisasi industri, serta penciptaan lapangan kerja. “Pengurangan pasokan ini akan berdampak pada ketersediaan pupuk sebagai komponen strategis bagi ketahanan pangan. Industri oleokimia juga terkena imbasnya sehingga kebutuhan dalam negeri berpotensi terganggu,” jelasnya.
Kemenperin mempertanyakan alasan keterbatasan pasokan. “Kalau memang pasokan terbatas, mengapa industri masih bisa membeli gas saat harganya USD 17 per MMBTU? Tapi ketika harganya USD 6,5, pasokannya terbatas. Ini patut dipertanyakan,” ujarnya.
Menurut Febri, meski negara kehilangan sebagian pendapatan dari program HGBT, nilai tambah produk hilir justru jauh lebih besar. “Setiap Rp 1 yang hilang di hulu bisa dikompensasi Rp 3 dari penciptaan nilai tambah di hilir. Karena itu, lebih bijak bila penerimaan negara difokuskan pada pajak produk hilir hasil hilirisasi, bukan di gas hulu,” paparnya.
Febri optimistis jika harga HGBT tetap dijaga di level USD 6,5 per MMBTU dengan pasokan stabil, serta penerimaan pajak lebih difokuskan pada hilir, maka target pertumbuhan ekonomi nasional 8 persen yang dicanangkan Presiden Prabowo bisa tercapai.
“Insya Allah, dengan kebijakan yang tepat, target pertumbuhan itu bukan hanya impian, melainkan bisa benar-benar diwujudkan,” pungkasnya.









