Ekonomi Sirkular Jadi Pilar Industri Hijau Nasional

0
233
Foto: Kemenperin

(Vibizmedia – Jakarta) Ekonomi sirkular kini menjadi salah satu pilar utama dalam transformasi menuju industri hijau. Sejumlah perusahaan di Indonesia telah mempraktikkannya, mulai dari mengolah limbah plastik menjadi kemasan baru, melebur scrap metal menjadi baja berkualitas, hingga memanfaatkan limbah biomassa sebagai sumber energi alternatif.

“Dengan ekonomi sirkular, kita tidak hanya menekan emisi dan mengurangi limbah, tetapi juga menciptakan nilai tambah ekonomi, mengurangi ketergantungan impor, dan membuka lapangan kerja hijau,” ujar Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita pada The 2nd Annual Indonesia Green Industry Summit (AIGIS) 2025 di Jakarta, Rabu (20/8).

Untuk mempercepat adopsi praktik ini, Kemenperin meluncurkan Green Industry Service Company (GISCO), sebuah platform terpadu yang menyediakan pendampingan teknis, asesmen efisiensi sumber daya, penghitungan jejak emisi, penyusunan rencana transisi hijau, hingga fasilitasi pembiayaan berkelanjutan. “GISCO akan menjadi jembatan antara industri, penyedia teknologi hijau, lembaga pembiayaan, dan pasar karbon. Dengan demikian, GISCO bukan hanya pusat layanan, tetapi juga motor penggerak ekosistem industri hijau nasional,” tegas Agus.

Sementara itu, Kepala Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI), Andi Rizaldi, menyampaikan bahwa AIGIS 2025 mengusung tema “Driving Industrial Decarbonization through Green Industry Ecosystem.” Tema ini menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk mempercepat dekarbonisasi industri melalui integrasi teknologi bersih, efisiensi energi dan air, energi terbarukan, serta praktik ekonomi sirkular dalam satu ekosistem yang saling mendukung.

Ia menambahkan, Kemenperin juga tengah memperkuat kebijakan industri hijau agar transisi menuju industri rendah karbon berjalan terukur. Beberapa kebijakan yang disiapkan mencakup penguatan Standar Industri Hijau (SIH) dengan indikator efisiensi energi, pemanfaatan bahan baku daur ulang, serta batas emisi gas rumah kaca per unit produk; integrasi sistem MRV Digital (Monitoring, Reporting, Verification); serta pengembangan Emission Trading System (ETS) bagi sektor industri.

Selain itu, GISCO juga diproyeksikan menjadi pusat solusi pembiayaan hijau, membantu industri mengakses pendanaan dari dalam maupun luar negeri. Upaya ini diperkuat dengan peningkatan kapasitas SDM melalui sertifikasi kompetensi hijau dan program reskilling untuk mendukung adopsi teknologi rendah karbon.

Menurut Andi, seluruh kebijakan tersebut bukan hanya ditujukan untuk mencapai target Net Zero Emission (NZE) 2050, tetapi juga menjadikan industri hijau sebagai sumber daya saing baru Indonesia di pasar global.