(Vibizmedia – Jakarta) Dalam industri musik, royalti bukan sekadar pembayaran, melainkan sumber utama kehidupan ekonomi bagi para pencipta lagu, musisi, dan label rekaman. Setiap lagu yang diputar di radio, mengalun di kafe, atau dinikmati lewat platform digital, menyimpan aliran pendapatan yang menopang keberlangsungan para kreator.
Meski begitu, pemahaman publik mengenai royalti sebagai bentuk perlindungan hak ekonomi masih terbatas.
Secara umum, royalti musik terbagi dalam dua kategori utama: Performing Right dan Mechanical Right. Performing Right memberi kompensasi atas pemutaran musik di ruang publik komersial seperti radio, televisi, hotel, restoran, atau pusat perbelanjaan. Sedangkan Mechanical Right berlaku ketika lagu direproduksi atau digandakan, baik dalam bentuk fisik (CD, kaset) maupun digital (download dan streaming).
Di era digital, Mechanical Right menjadi sumber pendapatan terbesar. Setiap kali lagu diputar atau diunduh di platform seperti Spotify, Apple Music, atau Joox, pencipta berhak atas bagiannya. Mekanisme ini berbeda dengan royalti radio yang ditarik berdasarkan frekuensi pemutaran melalui Performing Right.
Di negara-negara maju seperti AS, Inggris, dan Jepang, pengelolaan royalti sudah lama berjalan transparan lewat lembaga kolektif seperti ASCAP, BMI, dan PRS for Music. Di Indonesia, tugas ini diamanatkan kepada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) berdasarkan UU No. 28/2014 tentang Hak Cipta. LMKN menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti sesuai tarif yang ditetapkan.
Namun, praktik di lapangan masih menghadapi tantangan. Banyak pelaku usaha, khususnya di sektor hospitality, memandang penarikan royalti sebagai pungutan liar. Rendahnya kesadaran hukum serta isu transparansi—termasuk kasus salah transfer—menambah sorotan publik.
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengakui adanya kelemahan dalam pengawasan LMKN dan berkomitmen memperbaiki tata kelola agar penetapan tarif dan distribusi royalti lebih transparan serta terbuka untuk diuji publik.
Reformasi pengelolaan royalti bukan sekadar soal kelancaran distribusi dana, tetapi juga wujud keadilan bagi para kreator yang menjadi tulang punggung industri musik. Dengan sistem yang lebih akuntabel, royalti benar-benar dapat berfungsi sebagai “jantung” yang menjaga keberlangsungan ekosistem musik dan ekonomi kreatif di Indonesia.