Menghidupkan Kembali Mimpi dalam Pendidikan Indonesia

0
52
Foto: Kemenkeu

(Vibizmedia – Kolom) Ada sebuah pemandangan yang selalu muncul setiap pagi di berbagai penjuru Indonesia: anak-anak berjalan menuju sekolah dengan seragam yang kadang lusuh, kadang baru, kadang diwariskan kakaknya, tetapi hampir selalu dibarengi harapan yang sama—harapan untuk membuka pintu menuju masa depan. Di kota besar, langkah mereka cepat, terburu mengejar jam masuk sambil sesekali melirik layar ponsel. Di desa kecil, langkah itu lebih tenang, melewati jalan tanah, menyusuri kebun, atau menyeberangi jembatan kayu. Pemandangan itu tidak banyak berubah selama puluhan tahun, tetapi dunia di sekitar mereka berubah dengan sangat cepat. Dan di sinilah persoalannya: apakah sekolah mampu berubah secepat dunia, atau justru semakin tertinggal dan membiarkan banyak anak berlari sendirian?

Pendidikan Indonesia seperti orkestra besar yang tidak pernah benar-benar berhenti bermain. Setiap tahun berganti, ratusan ribu guru baru masuk sistem, jutaan siswa naik jenjang, ribuan sekolah dibangun atau direnovasi, dan kebijakan terus berganti seiring pergantian zaman. Tetapi di tengah riuhnya upaya memperbaiki, ada kesunyian yang sering terlewatkan: kesunyian ruang kelas yang rapuh, sanitasi yang tak memadai, guru yang bekerja melewati batas wajar, serta anak-anak yang harus memilih antara belajar dan tuntutan hidup.

Di sebuah sekolah dasar di pinggiran Jawa Tengah, misalnya, sebuah ruang kelas terlihat dari luar seperti bangunan yang kokoh. Namun saat pintu dibuka, meja-mejanya miring, sebagian papan tulis telah berubah abu-abu kusam, dan ketika hujan turun, anak-anak hafal titik-titik di lantai yang akan menjadi kolam kecil. Kondisi seperti ini bukan satu atau dua kasus. Dari data pendidikan terbaru, kita mengetahui bahwa hanya sekitar empat dari sepuluh ruang kelas SD yang benar-benar berada dalam kondisi baik. Selebihnya berada pada kategori rusak ringan hingga rusak berat. Pada usia ketika anak seharusnya mengeja, berhitung, dan belajar berdiskusi, banyak dari mereka justru harus menjadi ahli menghindari tetesan air dari langit-langit atau memindahkan kursi ke sudut yang tidak licin.

Sementara di sekolah lain, jauh di Kalimantan, gurunya bercerita tentang keharusan memanggil tukang setiap dua bulan sekali karena salah satu dinding belakang selalu retak setelah musim hujan. Mereka tertawa ketika bercerita, tetapi ada kepedihan yang tidak mereka ucapkan: mereka tahu anak-anak bisa lebih nyaman belajar, hanya saja kesempatan itu belum datang.

Kita sering memuja jumlah sekolah yang bertambah dan lupa melihat apa yang terjadi di dalamnya. Pertambahan bangunan adalah prestasi, tetapi kualitas bangunan adalah tanggung jawab. Anak tidak bisa belajar hanya dengan hadir; mereka belajar ketika ruang kelas mendukung rasa ingin tahu, menghadirkan rasa aman, dan memberi stabilitas.

Lalu ada persoalan sanitasi. Pendidikan kerap dianggap sebagai sesuatu yang idealistis—papan tulis, buku pelajaran, guru yang inspiratif. Tetapi kenyataannya, keberhasilan belajar bergantung pada hal-hal sangat sederhana: adanya air dan toilet. Bayangkan seorang anak berusia tujuh tahun yang harus menahan buang air karena sekolahnya tidak memiliki fasilitas. Bayangkan siswi remaja yang tidak masuk sekolah selama beberapa hari setiap bulan karena toilet tidak layak. Di banyak sekolah dasar, hampir dua dari sepuluh sekolah tidak memiliki toilet, atau hanya punya satu yang tidak selalu berfungsi. Pendidikan barangkali tentang cita-cita, tetapi kenyamanan adalah syarat dasarnya.

Namun tidak semua kabar suram. Di banyak sekolah, terutama pada jenjang SMP, SMA, dan SMK, perbaikan terus dilakukan. Ruang kelas dalam kondisi baik bertambah, guru semakin berpendidikan, dan rasio guru-murid masih berada dalam batas ideal. Pada tingkat SMK justru ditemukan kondisi bangunan yang lebih baik dari jenjang lain. Mungkin karena selama bertahun-tahun, sekolah vokasi menjadi salah satu fokus pembangunan, mengingat Indonesia membutuhkan lulusan dengan keterampilan teknis untuk mendukung pertumbuhan industri.

Tetapi kualitas guru adalah cerita lain. Kita bangga karena semakin banyak guru yang berkualifikasi S1 dan D4. Namun kita jarang membahas kenyataan bahwa seorang guru di kota bisa mengajar dua mata pelajaran, sementara di daerah terpencil satu guru harus menguasai lima hingga delapan mata pelajaran. Tidak jarang pula guru yang harus merangkap menjadi operator data dan administrator. Ketika tuntutan digitalisasi meningkat, mereka yang tidak memiliki akses teknologi malah menghadapi beban lebih berat.

Guru adalah jantung pendidikan, tetapi sering menjadi pihak paling letih dalam seluruh proses. Mereka mengajar di kelas, mempersiapkan materi, mengelola administrasi, mengikuti pelatihan, mengisi platform digital, dan tetap harus menjadi figur dewasa yang stabil bagi murid-muridnya. Banyak dari mereka sudah melampaui batas wajar, tetapi tetap hadir di kelas esok harinya. Bukan hanya karena kewajiban pekerjaan, tetapi karena keyakinan bahwa di hadapan mereka ada masa depan bangsa.

Meski begitu, tantangan terbesar pendidikan Indonesia mungkin justru terletak pada jenjang paling awal: pendidikan anak usia dini. Data menunjukkan bahwa hanya sekitar sepertiga anak usia 0–6 tahun yang mengenyam PAUD. Padahal penelitian global menunjukkan bahwa anak yang pernah mengikuti PAUD memiliki kemampuan literasi dan numerasi awal lebih kuat, kemampuan sosial lebih matang, serta kesiapan belajar lebih baik ketika masuk SD. Tanpa PAUD, beban SD meningkat—anak-anak datang dengan kemampuan yang sangat beragam. Ada yang sudah mampu membaca lancar, ada yang belum mengenal huruf. Ketimpangan ini terus melebar sepanjang perjalanan mereka di sekolah.

Masalah partisipasi sekolah pun memiliki cerita panjang. Angka partisipasi sekolah memang naik, begitu juga angka partisipasi kasar di semua jenjang, termasuk pendidikan tinggi. Tetapi ketika kita melihat angka partisipasi murni, yaitu berapa banyak anak berada pada jenjang sesuai usianya, gambarnya tidak terlalu cerah. APM SD dan SMP menurun. Ini berarti semakin banyak anak yang tertinggal kelas atau terlambat masuk sekolah. Penyebabnya tidak selalu akademik; banyak anak yang harus berhenti sejenak karena pekerjaan keluarga, jarak, atau kondisi ekonomi.

Dan inilah dilema besar pendidikan Indonesia: anak-anak semakin cerdas, tetapi tantangan hidup mereka tidak semakin ringan. Data terbaru menunjukkan bahwa lebih dari 40 persen peserta didik usia 10–23 tahun bekerja—bukan pekerjaan sambilan, tetapi pekerjaan nyata yang membantu ekonomi keluarga. Mereka bekerja di ladang, berdagang, menjadi buruh harian, atau membantu usaha kecil keluarga. Sekitar tujuh persen lainnya mengurus rumah tangga, dan angka ini lebih dominan pada perempuan muda.

Ketika seorang anak harus bangun sebelum matahari terbit untuk membantu orang tua di pasar, atau ketika seorang remaja harus pulang dari sekolah lalu bekerja hingga malam, waktu belajar menjadi barang mewah. Tidak ada yang salah dengan membantu keluarga—justru itu menunjukkan tanggung jawab sosial yang besar. Tetapi sistem pendidikan harus cukup fleksibel untuk memahami kompleksitas kehidupan ini.

Di tengah semua itu, teknologi tampil sebagai paradoks. Hampir seluruh siswa memiliki akses telepon seluler dan internet. Namun kemampuan menggunakan komputer, laptop, atau perangkat pembelajaran digital lainnya masih rendah. Kita sering merasa bahwa generasi muda “melek digital”, padahal kenyataannya mereka hanya melek konsumsi digital. Mereka mahir menggulir layar, tetapi tidak selalu mampu mengetik cepat, menggunakan spreadsheet, membuat presentasi, atau memahami keamanan digital. Tanpa keterampilan digital yang memadai, ketimpangan digital justru bertambah, bukan berkurang.

Meski demikian, tidak bisa disangkal bahwa pendidikan Indonesia mengalami kemajuan berarti. Tingkat melek huruf telah mencapai sekitar 97 persen. Rata-rata lama sekolah juga meningkat menjadi 9,41 tahun, melampaui target nasional. Ini adalah prestasi kolektif. Tetapi capaian itu belum merata. Di desa terpencil dan kelompok rumah tangga termiskin, pendidikan masih terbatas. Sebagian penduduk dewasa tidak pernah merasakan bangku sekolah. Anak-anak dari keluarga termiskin lebih rentan putus sekolah, terutama pada jenjang SMA dan SMK.

Semua gambaran ini sebenarnya tidak hendak membuat kita putus asa. Justru sebaliknya. Data dan cerita-cerita ini menjadi pengingat bahwa pendidikan Indonesia adalah perjalanan panjang yang digerakkan oleh jutaan orang setiap hari: guru, orang tua, kepala sekolah, relawan, siswa, dan pembuat kebijakan. Mereka berada dalam satu barisan yang sama meski sering kali tidak saling mengenal.

Ada guru honorer yang mengajar dengan gaji minim tetapi tetap tersenyum setiap pagi. Ada ibu yang menabung sedikit demi sedikit agar anaknya bisa membeli sepatu baru. Ada siswa yang membaca buku bekas di bawah cahaya lampu rumah yang redup. Ada kepala sekolah yang mengumpulkan warga untuk memperbaiki toilet karena anggaran belum turun. Ada pejabat yang memikirkan cara menutup ketimpangan digital. Semua ini, dalam skala kecil maupun besar, adalah bentuk cinta terhadap pendidikan.

Pendidikan Indonesia hari ini bukanlah cerita sempurna. Tetapi ia adalah cerita yang terus bergerak. Sistem ini tidak sedang berhenti—ia sedang berproses. Dan seperti proses panjang lainnya, hasilnya tidak selalu langsung terlihat. Terkadang yang kita lihat hanyalah ruang kelas yang diperbaiki, toilet yang dibangun, pelatihan yang diberikan, atau data yang disusun. Namun di balik itu ada sesuatu yang jauh lebih besar: upaya memastikan bahwa setiap anak Indonesia memiliki pintu terbuka menuju masa depan.

Mungkin kita belum sampai pada titik ideal. Tetapi kita sudah berada di jalan yang benar, dan jalan itu semakin jelas ketika lebih banyak orang mau peduli. Sebab pendidikan bukan hanya urusan pemerintah. Ia adalah urusan seluruh warga. Ia adalah napas bangsa yang tidak boleh terputus. Dan selama masih ada anak yang berjalan ke sekolah dengan harapan di matanya, perjalanan ini mustahil berhenti.