(Vibizmedia – Nasional ) Penularan tuberkulosis (TBC) yang terjadi melalui udara saat seseorang batuk, bersin, atau meludah menjadi perhatian karena setiap orang memiliki risiko tertular penyakit ini. Namun, menurut Sekretaris Direktorat Jenderal Penanggulangan Penyakit Kementerian Kesehatan, Yudhi Pramono, terdapat kelompok tertentu yang lebih berisiko tinggi mengalami penularan.
Ia menjelaskan bahwa kelompok dengan risiko lebih tinggi mencakup individu yang tinggal serumah atau memiliki kontak erat dengan pasien TBC, orang dengan HIV (ODHIV), serta perokok. Selain itu, orang dengan diabetes melitus (DM), bayi, anak-anak, lansia yang berinteraksi dengan pasien TBC, warga binaan pemasyarakatan (WBP), tunawisma, pengungsi, serta masyarakat yang tinggal di lingkungan kumuh dan padat penduduk juga memiliki risiko tinggi tertular.
Yudhi menambahkan bahwa bakteri TBC yang tersebar melalui percikan droplet dapat bertahan selama beberapa jam di lingkungan yang lembap dan tidak terpapar sinar matahari. Jika droplet tersebut dihirup oleh orang lain, terutama mereka yang memiliki kontak erat dengan pasien, maka risiko penularan semakin besar. Setelah seseorang terinfeksi, bakteri *Mycobacterium tuberculosis* dapat tetap dalam kondisi tidak aktif (dormant) atau menjadi aktif, tergantung pada daya tahan tubuh individu tersebut. Jika daya tahan tubuhnya baik, bakteri akan tetap tidak aktif, tetapi jika daya tahan tubuh menurun, bakteri dapat menjadi aktif dan menyebabkan penyakit.
Untuk mendeteksi kasus tuberkulosis secara dini, investigasi kontak dilakukan oleh tenaga kesehatan atau kader dengan memeriksa minimal delapan orang untuk setiap kasus TBC. Langkah ini sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Nomor HK.02.02/C/2175/2023 tentang perubahan pelaksanaan investigasi kontak dan alur pemeriksaan infeksi laten tuberkulosis (ILTB) serta pemberian Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT) di Indonesia.
Yudhi menjelaskan bahwa investigasi kontak merupakan salah satu strategi dalam program penanggulangan TBC untuk melacak serta mengidentifikasi orang-orang yang memiliki interaksi langsung dengan pasien, baik kontak serumah maupun kontak erat. Proses ini dilakukan oleh petugas fasilitas pelayanan kesehatan, kader, atau komunitas. Agar semua kontak dapat dilacak, berbagai metode dilakukan, termasuk kunjungan langsung ke rumah pasien dan kontaknya melalui pendekatan yang sesuai dengan budaya setempat.
Jika ada kontak yang menolak kunjungan rumah, petugas dapat menawarkan skema invitasi kontak, yaitu mengundang mereka ke fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) seperti puskesmas atau rumah sakit untuk menjalani skrining. Selain itu, investigasi kontak juga mencakup teman kerja, teman sekolah, atau teman bermain jika pasien adalah anak-anak. Petugas akan mendampingi kontak tersebut agar bersedia menjalani pemeriksaan lebih lanjut.
Bagi mereka yang menunjukkan gejala TBC, Yudhi menyebutkan bahwa akan dilakukan pemeriksaan diagnostik. Sementara itu, mereka yang tidak bergejala akan menjalani asesmen untuk menentukan apakah mereka perlu mendapatkan Terapi Pencegahan TBC (TPT). Jika ada kendala transportasi, petugas atau kader sering kali membantu dengan menjemput menggunakan kendaraan pribadi, ambulans puskesmas, atau kendaraan desa jika diperlukan.









