Jubir Kemenperin: Instrumen Hambatan Dagang Indonesia Masih Minim Dibanding Negara Maju

0
188

(Vibizmedia – Jakarta) Indonesia tercatat sebagai negara dengan jumlah hambatan non-tarif (Non-Tariff Barrier/NTB) dan instrumen non-tarif (Non-Tariff Measure/NTM) paling sedikit di dunia. Kondisi ini dinilai menjadi salah satu kendala dalam meningkatkan daya saing industri dalam negeri.

Padahal, NTB dan NTM merupakan instrumen penting yang umum digunakan negara-negara maju untuk melindungi sektor industrinya dari serbuan produk impor. Sayangnya, penerapan kebijakan semacam ini di Indonesia masih terbatas.

“Indonesia saat ini hanya memiliki sekitar 370 NTB dan NTM yang aktif. Bandingkan dengan Tiongkok yang memiliki lebih dari 2.800 kebijakan, India lebih dari 2.500, Uni Eropa sekitar 2.300, bahkan Malaysia dan Thailand pun masing-masing di atas 1.000,” ungkap Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Febri Hendri Antoni Arief, Kamis (8/5).

Ia menilai minimnya instrumen proteksi ini membuat produk lokal sulit bersaing, baik di pasar domestik maupun internasional. “Produk asing mudah masuk ke pasar kita, sementara produk kita menghadapi banyak kendala saat masuk ke pasar mereka. Ini termasuk persyaratan standar, hasil pengujian, hingga rekomendasi yang wajib dipenuhi,” jelasnya.

Kemenperin kini tengah mendorong penguatan kebijakan perlindungan industri nasional yang tetap sejalan dengan ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). “Penggunaan NTB dan NTM harus optimal agar industri kita dapat berkembang dan bersaing secara adil,” lanjut Febri.

Beberapa sektor strategis yang menjadi perhatian untuk perlindungan melalui NTB dan NTM antara lain industri tekstil, kimia, baja, elektronik, dan otomotif. Tujuannya, agar Indonesia tidak hanya menjadi pasar bagi produk luar, tetapi mampu memperkuat struktur industri dalam negeri.

Febri juga menegaskan pentingnya kolaborasi antar kementerian, lembaga, dan pelaku industri untuk memperjuangkan kepentingan nasional dalam menghadapi tantangan global. “Melindungi industri berarti juga melindungi tenaga kerja nasional,” tegasnya.

Tanggapan atas Pemeringkatan Tholos Foundation

Terkait laporan Tholos Foundation yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-122 dalam International Trade Barriers Index 2025, Febri menyatakan keberatan atas transparansi metode dan data yang digunakan lembaga tersebut. “Mereka tidak terbuka soal metodologi dan sumber datanya. Ini mirip lembaga survei abal-abal yang muncul menjelang pemilu,” kritiknya.

Menurutnya, jika merujuk pada data WTO, Indonesia memang termasuk negara dengan jumlah hambatan non-tarif paling sedikit, bahkan jauh di bawah negara-negara maju dan tetangga ASEAN.

Ia menambahkan, ada pihak-pihak yang tidak ingin Indonesia maju secara ekonomi. Padahal, Indonesia memiliki potensi besar, mulai dari sumber daya alam yang melimpah, pasar domestik yang besar, hingga bonus demografi yang bisa menjadi kekuatan industri.

“Potensi ini harus dimanfaatkan maksimal demi mewujudkan visi Indonesia Emas 2045,” ujarnya.

Dukungan Presiden Prabowo untuk Kemandirian Industri

Presiden Prabowo Subianto sebelumnya juga menyoroti pentingnya kemandirian ekonomi Indonesia. Dalam acara halal bihalal bersama purnawirawan TNI-Polri (6/5), ia menegaskan bahwa kekayaan alam seperti nikel, bauksit, dan kelapa sawit menjadi kekuatan sekaligus tantangan bagi Indonesia.

“Indonesia harus berdiri di atas kaki sendiri, menjadi tuan rumah di negeri sendiri,” ungkap Presiden. Pernyataan ini turut diamini Kemenperin sebagai wujud semangat membangun industri nasional yang mandiri dan berdaya saing.

Salah satu bentuk konkret dukungan pemerintah terhadap industri nasional adalah penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 46 Tahun 2025 sebagai perubahan atas Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.

“Kami mengapresiasi langkah Presiden Prabowo yang telah menandatangani dan menerbitkan Perpres ini. Regulasi ini menjadi angin segar bagi pelaku industri, terutama yang produknya diserap pemerintah dan BUMN/BUMD,” pungkas Febri.