(Vibizmedia – Internasional) Perwakilan Perdagangan Indonesia di Amerika Serikat (AS) mengingatkan para eksportir nasional agar lebih cermat dalam menggunakan pewarna makanan dalam produk yang diekspor ke AS. Imbauan ini menyusul rencana Pemerintah AS yang akan melarang penggunaan delapan jenis pewarna sintetis berbasis minyak bumi pada produk makanan, minuman, dan farmasi, yang diproyeksikan mulai berlaku pada akhir 2026.
Kepala Indonesian Trade Promotion Center (ITPC) Chicago, Dhonny Yudho Kusuma, menjelaskan bahwa rencana pelarangan tersebut didasarkan pada hasil penelitian yang mengaitkan penggunaan pewarna sintetis dengan sejumlah risiko kesehatan seperti hiperaktivitas, diabetes, dan kanker. Meskipun demikian, ia mencatat bahwa sebagian peneliti masih meragukan adanya hubungan kausal yang kuat antara pewarna sintetis dan penyakit tersebut.
Dhonny menyampaikan bahwa kebijakan ini berpotensi memengaruhi nilai impor produk makanan dan minuman olahan dari seluruh dunia ke AS, termasuk dari Indonesia. Pasalnya, pelarangan tersebut menjadi tambahan hambatan non-tarif di tengah meningkatnya beban tarif impor yang diberlakukan Pemerintah AS.
Rencana pelarangan ini diumumkan oleh Menteri Kesehatan AS Robert F. Kennedy Jr. bersama Kepala FDA, Marty Makary, dalam konferensi pers 22 April 2025. Dalam keterangannya, FDA akan mulai mencabut izin penggunaan Citrus Red No. 2 dan Orange B dalam beberapa bulan ke depan, diikuti oleh enam pewarna lain seperti Red Dye No. 40, Yellow Dye No. 5 dan No. 6, Blue Dye No. 1 dan No. 2, serta Green Dye No. 3 menjelang akhir 2025. FDA juga mendesak agar Red Dye No. 3 tidak lagi digunakan mulai akhir 2026, lebih cepat dari tenggat yang sebelumnya ditetapkan pada 2027–2028.
Meski belum ada sanksi resmi yang ditetapkan, asosiasi industri AS telah mengusulkan skema kepatuhan sukarela kepada FDA, dan sejumlah produsen makanan sedang melakukan reformulasi produk untuk memenuhi regulasi tersebut.
Sebagai bagian dari transisi, FDA dikabarkan akan segera mengeluarkan izin penggunaan empat jenis pewarna alami, yakni calcium phosphate, galdieria extract blue, gardenia blue, dan butterfly pea flower extract. Dhonny menambahkan bahwa peralihan ke pewarna alami kemungkinan akan meningkatkan biaya produksi karena harga bahan yang lebih tinggi dan kebutuhan jumlah yang lebih besar dibanding pewarna sintetis.
Pelarangan ini bukan hanya kebijakan federal. Negara bagian seperti Virginia Barat telah lebih dulu mengesahkan larangan terhadap tujuh pewarna sintetis dan dua pengawet makanan, yang mulai berlaku pada 2028. Sebagai tahap awal, larangan tersebut akan diberlakukan di sekolah-sekolah pada Agustus 2025. Langkah serupa juga telah diambil California dan sedang dibahas di Illinois.
Meski demikian, Dhonny melihat peluang dari kebijakan ini. Ia menyebut tiga potensi yang bisa dimanfaatkan eksportir Indonesia: (1) perusahaan yang cepat beradaptasi bisa merebut pangsa pasar; (2) meningkatnya permintaan dari konsumen yang peduli kesehatan; dan (3) terbukanya pasar baru bagi produsen pewarna alami yang telah atau akan memperoleh izin dari FDA.
“Peluang terbuka lebar bagi industri makanan Indonesia untuk bertransformasi dan berinovasi dalam menjawab tantangan regulasi baru ini,” pungkas Dhonny.