(Vibizmedia-Kolom) Perlu dibahas secara serius isu yang sedang ramai diperbincangkan di Singapura. Berawal dari rumor yang kemudian ditangkap oleh media ternama Reuters, tanggal 7 Mei 2025, bahwa Grab berencana melakukan akuisisi terhadap perusahaan teknologi Indonesia, GoTo. GoTo adalah perusahaan yang menyentuh kepentingan publik sangat luas. Dengan potensi pasar lebih dari 200 juta orang – bahkan ada yang menyebut mencapai 270 juta – GoTo membangun ekosistem digital yang melibatkan sekitar 3,1 juta pengemudi ojek online terdaftar, 20,1 juta pelaku UMKM. Belum termasuk pengguna jasa keuangan digital yang terhubung di dalamnya.
Karena itu, isu ini menyangkut empat aspek strategis, pertama, kebanggaan nasional. Kedua, keamanan dan kedaulatan data. Ketiga, lapangan kerja. Dan keempat, stabilitas ekonomi nasional. Biasanya, untuk isu-isu strategis seperti ini, negara turun tangan. Oleh sebab itu, perlu ditunggu bagaimana sikap dan rencana pemerintah dalam menghadapi kabar akuisisi ini. Karena kalau ini dilakukan oleh Grab, ini akan menimbulkan implikasi yang sangat luas. Bukan hanya implikasi bisnis. Tapi juga implikasi sosial, implikasi geopolitik bahkan, dan tentu saja implikasi terhadap masyarakat Indonesia.
Ada satu topik yang lebih dalam yang ingin disampaikan dalam pembahasan ini, yaitu bahwa topik ini menyentuh pada aspek keamanan nasional. Banyak negara sekarang ini makin ketat menjaga kedaulatan mereka. Apalagi sejak munculnya ketegangan global dan perang tarif. Perang sekarang ini tidak lagi terjadi dalam bentuk konfrontasi militer. Perang sekarang ini banyak yang terjadi dalam bentuk penguasaan data dan dominasi ekonomi digital.
Reuters melaporkan bahwa Grab telah merekrut penasihat keuangan untuk memfasilitasi rencana akuisisi dan sedang berdiskusi dengan lembaga pembiayaan (bank) untuk mendukung aksi korporasi ini. Nilai transaksi disebut mencapai sekitar 7 miliar dolar AS. Tentu angka ini sangat besar dan menunjukkan bahwa rencana ini tidak main-main. Ini bukan rumor biasa. Tapi ini sudah masuk ke dalam tahap persiapan serius.
Biasanya, dalam dunia korporasi, ketika dua perusahaan besar yang punya lini bisnis serupa melakukan merger atau akuisisi, tujuan utamanya adalah efisiensi. Supaya tidak tumpang tindih. Karena tumpang tindih itu berarti cost structure-nya jadi tidak efisien. Maka mereka akan mengeliminasi bagian-bagian yang dianggap berlebihan. Di sinilah potensi PHK bisa terjadi. Jadi, jangan berpikir ini hanya persoalan antar perusahaan. Ini menyangkut jutaan pengemudi ojek online, pelaku UMKM, dan juga tenaga kerja yang terlibat dalam ekosistem digital GoTo.
Selain itu, dari sisi konsumen, merger semacam ini biasanya menyebabkan berkurangnya promo. Dulu, ketika GoTo dan Grab bersaing, mereka berlomba-lomba memberikan diskon, promo, bebas ongkir, dan sebagainya. Tapi ketika pasar sudah dikuasai oleh satu pemain dominan, insentif seperti itu biasanya hilang. Karena tidak ada lagi kompetitor yang menekan.
Kalau Grab dan GoTo merger, maka mereka akan menguasai lebih dari 90 persen pangsa pasar. Artinya, konsumen tidak punya pilihan. Dan kalau konsumen tidak punya pilihan, maka harga bisa dinaikkan, layanan bisa dikurangi, dan inovasi bisa melambat. Ini tentu merugikan masyarakat luas.
Namun, yang lebih mengkhawatirkan dari semua itu adalah persoalan data. Data sekarang ini menjadi komoditas yang paling penting di dunia. Bahkan ada yang mengatakan bahwa data adalah minyak baru (data is the new oil). Kenapa? Karena dengan data, seseorang bisa mengetahui pola perilaku, preferensi konsumen, bahkan bisa memetakan kelemahan dan kekuatan suatu bangsa.
Bayangkan jika data pengguna ojek online, e-commerce, keuangan digital, dan berbagai layanan publik lainnya berada di bawah kendali asing. Apa yang akan terjadi? Data mobilitas masyarakat bisa dipetakan. Data konsumsi bisa dianalisis. Dan kalau itu semua berada di luar negeri, maka potensi penyalahgunaan sangat besar. Di sinilah isu kedaulatan data menjadi sangat penting.
Belum lagi persoalan kedaulatan digital. Kalau semua perusahaan besar di bidang teknologi dimiliki oleh asing, apa yang tersisa untuk Indonesia? Apakah hanya akan menjadi pasar saja? Apakah akan terus menjadi konsumen, tanpa pernah menjadi produsen?
Banyak negara sudah menyadari pentingnya menjaga kedaulatan digital ini. Bahkan negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Tiongkok, dan India pun sangat selektif dalam membuka akses bagi perusahaan asing di sektor digital. Karena mereka tahu bahwa sektor ini bukan sekadar bisnis. Ini adalah sektor strategis yang menyangkut masa depan bangsa.
Indonesia membutuhkan investasi asing, itu benar. Tapi investasi harus disertai dengan transfer teknologi, pengembangan kapasitas lokal, dan perlindungan terhadap kepentingan nasional. Jangan sampai investasi hanya menjadi alat akuisisi dan dominasi. Jangan sampai kita hanya menjadi penonton di negeri sendiri.
Ada satu contoh menarik. Ketika Amerika Serikat merasa bahwa TikTok bisa membahayakan keamanan nasional mereka, karena dimiliki oleh perusahaan Tiongkok, maka pemerintah AS menuntut agar TikTok dijual ke entitas lokal. Padahal, belum tentu data itu disalahgunakan. Tapi karena ada potensi risiko, mereka ambil langkah pencegahan. Bahkan ada rencana untuk melarang TikTok beroperasi jika tidak mematuhi regulasi lokal. Begitu seriusnya negara maju menjaga kedaulatan digital mereka.
Kita bisa belajar dari kasus ini. Jangan menunggu sampai terjadi masalah besar. Jangan menunggu sampai data bocor ke luar negeri. Jangan menunggu sampai masyarakat dirugikan. Harus ada langkah antisipatif dari sekarang. Pemerintah harus hadir. Regulator harus bertindak. Jangan biarkan pasar bergerak sendiri tanpa pengawasan.
Satu hal lagi yang perlu dicermati adalah dampak terhadap ekosistem talenta digital Indonesia. Selama ini, GoTo menjadi tempat berkembangnya banyak talenta digital lokal. Banyak anak muda Indonesia yang belajar teknologi, bisnis digital, dan inovasi di perusahaan ini. Jika perusahaan ini berpindah tangan ke asing, maka arah pengembangan talenta bisa berubah. Bisa saja pusat pengambilan keputusan dipindahkan ke luar negeri. Maka, kesempatan bagi talenta lokal bisa berkurang.
Dalam konteks geopolitik, penguasaan terhadap sektor strategis seperti teknologi digital bisa menjadi alat untuk memengaruhi kebijakan suatu negara. Dengan kontrol terhadap data dan platform digital, pihak asing bisa punya leverage terhadap keputusan ekonomi dan politik nasional. Inilah yang harus diwaspadai.
Negara harus memastikan bahwa sektor-sektor strategis tetap berada dalam kendali nasional. Bukan berarti anti-investasi. Tapi investasi harus dikendalikan agar tidak merugikan kepentingan jangka panjang bangsa. Negara-negara lain sudah melakukan itu. Singapura, misalnya, punya regulasi ketat dalam hal investasi asing. Bahkan ada Undang-Undang Significant Investment Review yang memberi kewenangan kepada pemerintah untuk membatalkan akuisisi asing di sektor-sektor strategis.
Malaysia juga punya pendekatan serupa. Ketika mereka mengembangkan industri minyak dan gas, mereka mendirikan Petronas University. Tujuannya agar anak-anak muda Malaysia bisa menjadi insinyur dan ahli di bidang ini. Mereka tidak hanya mengundang investasi, tapi juga membangun kapasitas nasional.
Thailand pun memberlakukan Undang-Undang Foreign Business Act yang melarang kepemilikan asing di beberapa sektor penting. Tiongkok dan India juga melakukan proteksi terhadap sektor digital dan data.
Amerika Serikat bahkan membatalkan akuisisi US Steel oleh perusahaan Jepang, Nippon Steel, demi menjaga industri baja nasional. Padahal Jepang adalah sekutu dekat. Tapi mereka tidak mau mengambil risiko kehilangan kendali atas sektor strategis.
Semua contoh ini menunjukkan bahwa negara-negara besar sangat serius menjaga kedaulatan ekonomi dan digital mereka. Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Apakah akan membiarkan perusahaan strategis seperti GoTo diakuisisi begitu saja? Apakah akan diam melihat data masyarakat berpindah tangan ke luar negeri? Apakah akan pasrah pada dominasi asing?
Inilah saatnya bangsa ini berpikir strategis. Melihat jangka panjang. Menjaga kedaulatan. Membangun kekuatan sendiri. Karena masa depan tidak bisa dititipkan kepada pihak luar. Masa depan harus dibangun oleh bangsa sendiri, dengan kekuatan sendiri, dan untuk kepentingan sendiri.