Starbucks Run Menjelang Boarding Time

Di Indonesia, fenomena “Starbucks run” di bandara memang belum seintens di Amerika Serikat, namun pola serupa mulai terlihat di bandara-bandara besar seperti Soekarno-Hatta dan Ngurah Rai.

0
893
Starbucks run

(Vibizmedia-Kolom) Di tengah hiruk-pikuk terminal keberangkatan dan suara pengumuman keberangkatan yang tak henti-henti, sebuah ritual modern diam-diam menyatukan para pelancong profesional dari berbagai penjuru dunia, Starbucks Run. Tapi bukan sembarang pencarian kopi. Ini adalah operasi yang dirancang sedemikian rupa—dari pemetaan rute bandara, perhitungan menit demi menit hingga kalkulasi letak gerbang pesawat—semata-mata untuk menghindari antrean panjang demi secangkir latte yang sempurna sebelum lepas landas.

Fenomena ini, sebagaimana dilaporkan oleh The Wall Street Journal, semakin menjadi norma di kalangan profesional yang sering bepergian, termasuk atlet nasional dan eksekutif korporat. Sosok seperti Stephanie Hershfelt, direktur kemitraan komersial untuk U.S. Soccer, bahkan mengaku telah membangun semacam peta mental untuk setiap bandara besar di Amerika Serikat, lengkap dengan titik-titik Starbucks yang “strategis” dan informasi tidak resmi tentang waktu-waktu antrean terpadat.

Para pelancong ini bukan sekadar pembeli kopi; mereka adalah “taktisi kopi bandara”, sebagaimana digambarkan oleh Bloomberg. Mereka mempelajari aplikasi bandara, memantau jadwal kedatangan pesawat lain yang bisa menambah panjang antrean, dan secara berkala mengecek aplikasi Starbucks untuk melihat ketersediaan layanan pre-order di lokasi-lokasi tertentu. Namun, di sebagian besar gerai bandara, fitur pemesanan online itu tidak tersedia karena keterbatasan lisensi waralaba dan regulasi bandara, membuat strategi manual tetap jadi pilihan utama.

Taktik ini berkembang seiring meningkatnya tekanan waktu di bandara modern. Menurut survei oleh Morning Consult yang dikutip CNN Travel, lebih dari 68 persen pelancong bisnis di AS merasa stres ketika harus memilih antara antrean kopi dan keharusan boarding tepat waktu. Dari sinilah muncul semacam “mentalitas komando”: pelancong veteran akan mengatur sedemikian rupa jadwal mereka agar bisa mendapatkan kopi favorit tanpa risiko tertinggal pesawat.

Bagi sebagian orang, ini terdengar berlebihan. Namun di dunia profesional yang mengandalkan konsistensi dan efisiensi, secangkir kopi pagi adalah komponen krusial dari performa kerja. Dalam wawancara dengan NPR, seorang analis keuangan di New York menggambarkan rutinitas Starbucks di bandara sebagai “sarana untuk menciptakan normalitas di tengah kekacauan perjalanan.” Dengan kata lain, ini bukan hanya tentang kafein, tetapi juga tentang kendali diri dan kenyamanan psikologis.

Sebagian besar dari mereka yang membentuk budaya ini adalah kaum profesional muda berusia 25–45 tahun, digital-native, dan terbiasa hidup di tengah kecepatan. Banyak di antara mereka bekerja dalam sektor-sektor dengan jadwal tidak tetap: olahraga, keuangan, konsultasi, dan industri hiburan. Mereka mengandalkan Starbucks bukan hanya untuk kebutuhan fungsional (kopi dan makanan ringan), tetapi juga sebagai simbol familiaritas di tempat asing. Dalam hal ini, Starbucks telah menjadi semacam “ruang transisi” dalam psikologi perjalanan.

Menurut laporan dari Business Insider, salah satu taktik yang digunakan oleh para pelancong veteran adalah menggunakan jalur keamanan di terminal yang lebih sepi dan berjalan kaki ke terminal yang berbeda hanya untuk mengakses gerai Starbucks yang antreannya lebih pendek. Hal ini sering terlihat di bandara besar seperti Atlanta, Dallas-Fort Worth, atau Denver, di mana masing-masing terminal memiliki lebih dari satu Starbucks dan kepadatan pengunjung bervariasi drastis.

Tak jarang, mereka menggunakan aplikasi pihak ketiga seperti GateGuru atau Flighty untuk menyesuaikan strategi mereka berdasarkan informasi real-time. Beberapa bahkan memiliki spreadsheet pribadi tentang waktu-waktu antrean historis dari gerai Starbucks di bandara-bandara yang sering mereka kunjungi. Ini adalah bentuk mikro-optimalisasi yang, bagi banyak orang, mungkin terlihat ekstrem—namun di kalangan pelancong reguler, ini adalah bentuk keunggulan kompetitif dalam pengalaman perjalanan.

Sementara Starbucks tak secara eksplisit mendorong praktik ini, perusahaan menyadari peran mereka dalam pengalaman pelancong. Dalam laporan tahunan terbarunya, seperti dilaporkan oleh CNBC, Starbucks mengakui bahwa pertumbuhan gerai di lokasi-lokasi seperti bandara dan rumah sakit merupakan pendorong utama pendapatan domestik mereka. Konsistensi merek dan keandalan kualitas di lingkungan yang sering kali penuh stres memberikan keunggulan yang sulit ditandingi pesaing lokal.

Namun, tidak semua pelancong melihat perburuan Starbucks ini sebagai hal positif. Sebagian menganggap fenomena ini mencerminkan ketergantungan berlebihan pada kenyamanan korporat dan menimbulkan homogenisasi budaya perjalanan. Seorang akademisi dari NYU dalam wawancara dengan The Atlantic menyatakan bahwa “ketika semua orang mencari Starbucks di bandara, kita kehilangan kesempatan untuk menemukan sesuatu yang unik dari tempat itu sendiri.”

Ini menjadi perdebatan antara efisiensi dan eksplorasi. Di satu sisi, Starbucks menawarkan kenyamanan dan kecepatan yang dibutuhkan dalam lingkungan bandara yang intens. Di sisi lain, ketergantungan pada merek global mengikis peluang pelancong untuk terhubung dengan identitas lokal, bahkan dalam sekilas momen sebelum naik pesawat.

Sebagian pelancong mencoba menyeimbangkan kedua sisi ini. Mereka tetap mencari Starbucks untuk alasan fungsional, tetapi juga meluangkan waktu untuk mengunjungi gerai lokal setelah tiba di tujuan. Dalam beberapa kasus, seperti di bandara Seattle atau San Francisco, Starbucks telah menyesuaikan menu mereka agar mencerminkan budaya setempat, menyajikan kopi hasil roasting dari daerah sekitar atau pastry khas wilayah itu.

Namun tetap saja, bagi banyak orang, keberadaan Starbucks di bandara bukan lagi soal pilihan—melainkan elemen rutin yang diperhitungkan dalam logika perjalanan modern. Sebagaimana dilaporkan oleh USA Today, para pelancong bahkan membentuk komunitas daring di Reddit atau Discord untuk berbagi taktik Starbucks bandara, termasuk waktu-waktu lowong dan tips menghindari antrean.

Fenomena ini juga mencerminkan perubahan sosial yang lebih luas. Di era pasca-pandemi, banyak profesional memilih bepergian lebih sering namun dalam jadwal yang lebih fleksibel, memadukan pekerjaan dan rekreasi. Rutinitas seperti “Starbucks run” menjadi jangkar dalam kehidupan yang kini lebih cair. Dalam konteks ini, antrean Starbucks bukan hanya soal menunggu kopi, tapi juga ruang sosial di mana sesama pelancong saling mengamati, menilai, dan terkadang bersaing secara diam-diam.

Menariknya, sejumlah startup mulai mengembangkan solusi berbasis teknologi untuk menjawab tantangan antrean ini. Perusahaan seperti Grab (platform pre-order makanan bandara) kini bekerja sama dengan berbagai gerai untuk memperluas layanan pemesanan sebelum tiba di bandara. Namun sebagian besar Starbucks di bandara masih dioperasikan oleh mitra waralaba seperti HMSHost dan belum terintegrasi dengan penuh ke dalam sistem pre-order nasional. Hal ini membuat strategi manual tetap relevan—mulai dari mengenali posisi eskalator tercepat hingga membaca arah antrean dari luar gerai.

Dalam jangka panjang, jika adopsi teknologi pre-order meluas dan kapasitas gerai meningkat, mungkin fenomena ini akan berubah. Tapi saat ini, seni berburu Starbucks di bandara tetap menjadi ritual yang membutuhkan kecerdikan, intuisi, dan pengalaman.

Bagi para pelancong yang hidup dari satu boarding pass ke boarding pass berikutnya, keahlian ini menjadi bentuk modern dari “survival skill.” Dan seperti semua keahlian yang baik, hanya bisa dikuasai melalui pengalaman dan—tentu saja—secangkir kopi di tangan sebelum pesawat tinggal landas.

Di Indonesia, fenomena “Starbucks run” di bandara memang belum seintens di Amerika Serikat, namun pola serupa mulai terlihat di bandara-bandara besar seperti Soekarno-Hatta dan Ngurah Rai. Starbucks masih dipandang sebagai simbol gaya hidup urban menengah ke atas, menjadikannya pilihan utama bagi pelancong yang mencari kenyamanan, Wi-Fi, dan suasana yang tenang sebelum penerbangan.

Tidak seperti para frequent flyer di AS yang merancang rute dan waktu secara presisi untuk menghindari antrean panjang, konsumen di Indonesia cenderung lebih spontan. Meski antrean bisa mengular pada jam sibuk, belum banyak yang menggunakan strategi waktu seperti “buffer kopi” atau kalkulasi waktu boarding. Namun, tren digital perlahan memengaruhi perilaku ini, terutama di kalangan profesional muda yang terbiasa menggunakan aplikasi.

Fitur mobile order Starbucks memang belum tersedia di gerai bandara Indonesia, tetapi tingginya adopsi teknologi di kalangan pengguna membuka peluang ke arah sana. Jika layanan seperti itu diperkenalkan, bukan tidak mungkin akan muncul komunitas pengguna yang mulai menghitung menit demi secangkir kopi sebelum terbang.

Pada akhirnya, konsumsi kopi di bandara Indonesia tidak hanya soal kafein, melainkan juga bagian dari transisi mental sebelum perjalanan. Dengan waktu tunggu yang panjang dan ritme perjalanan yang melelahkan, Starbucks menjadi tempat istirahat sementara yang memberi rasa stabil dan “normal” di tengah kesibukan bandara.