Ekonomi Indonesia Tumbuh Positif di Tengah Perlambatan Global, Industri Baja Didorong Lebih Kompetitif

0
359

(Vibizmedia – Jakarta) Dana Moneter Internasional (IMF) dalam laporan World Economic Outlook (WEO) edisi April 2025 memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global tahun 2025 hanya sebesar 2,8%, turun 0,5% dari proyeksi sebelumnya. Penurunan ini mencerminkan berlanjutnya tekanan terhadap perekonomian global. Meski demikian, Indonesia menunjukkan ketahanan yang cukup baik. Pada triwulan I tahun 2025, ekonomi nasional tumbuh sebesar 4,87%, dengan sebagian besar sektor usaha mencatatkan pertumbuhan positif.

Sektor industri pengolahan tetap menjadi kontributor utama terhadap produk domestik bruto (PDB) dari sisi lapangan usaha, dengan sumbangsih sebesar 19,25% dan mencatatkan pertumbuhan 4,55% pada periode yang sama. Di sisi lain, kinerja ekspor produk besi dan baja dalam lima tahun terakhir terus mengalami pertumbuhan, dengan rata-rata kenaikan sebesar 22,18%. Konsumsi baja dalam negeri pun menunjukkan tren yang meningkat, dari 11,4 juta ton pada 2015 menjadi 17,4 juta ton pada 2023. Konsumsi tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi 18,3 juta ton pada 2024, dan diproyeksikan mencapai 47 juta ton pada 2035.

“Perdagangan global tengah menghadapi tekanan, terutama akibat tarif struktural yang dikenakan terhadap komoditas seperti besi, baja, dan aluminium sebesar 25%. Meskipun tarif ini diberlakukan secara global, kita harus terus menjaga daya saing nasional,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto saat membuka Iron Steel Summit & Exhibition Indonesia (ISSEI) 2025 di Jakarta Convention Center, Rabu (21/05).

Dalam kesempatan tersebut, Menko Airlangga turut menyaksikan penandatanganan Nota Kesepahaman ASEAN Iron & Steel Council yang melibatkan enam negara anggota, yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam.

“Sudah saatnya ASEAN, sebagai salah satu produsen baja terbesar dunia, memperkuat kolaborasi regional. Karena kebijakan tarif tidak membedakan antara besi, aluminium, dan baja tahan karat, maka kerja sama kita harus mencakup ketiga komoditas ini. Penandatanganan nota kesepahaman ini menjadi langkah penting dalam memperkuat rantai pasok regional,” tegasnya.

Dengan populasi lebih dari 600 juta jiwa dan nilai ekonomi kawasan yang melebihi USD 3 triliun, ASEAN merupakan pasar yang sangat potensial bagi industri besi dan baja. Selain memperkuat ketahanan ekonomi kawasan, kerja sama ini juga memperkuat posisi ASEAN di tengah ketegangan perdagangan global, terutama konflik tarif antara Amerika Serikat dan Tiongkok.

Menko Airlangga juga menyoroti tantangan eksternal seperti oversupply produk baja dari Tiongkok yang berpotensi dialihkan ke Indonesia, serta kebijakan Uni Eropa terkait Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang akan membebankan tarif tambahan terhadap produk yang menghasilkan emisi karbon tinggi, termasuk baja.

“Kita harus bersiap menghadapi tantangan ini, dan saya mendorong agar industri besi dan baja di Asia Tenggara mengembangkan strategi menuju produksi yang lebih hijau dan berkelanjutan. Saya juga sependapat dengan Ketua South East Asia Iron and Steel Institute (SEAISI) bahwa aspek teknologi harus menjadi bagian dari diskusi utama,” ujarnya.

Pemerintah, lanjut Menko Airlangga, tengah melakukan evaluasi terhadap regulasi anti-dumping untuk mengantisipasi masuknya produk baja oversupply ke pasar domestik. Dalam jangka menengah dan panjang, penguatan industri nasional menjadi fokus utama, dengan mendorong integrasi industri dari hulu ke hilir untuk mencapai efisiensi dan memprioritaskan pemanfaatannya di dalam negeri.