(Vibizmedia – Jakarta) Ekosistem pertembakauan di Indonesia telah terbentuk sejak era kolonial Belanda dan terus berkembang menjadi struktur industri yang kompleks dan terintegrasi. Mulai dari petani tembakau dan cengkeh, perajang, buruh pabrik rokok, pedagang asongan, ritel, distributor, hingga eksportir—semuanya merupakan bagian penting dalam rantai industri hasil tembakau (IHT).
“Dengan ekosistem yang sudah mapan, IHT di Indonesia tumbuh menjadi sektor yang terintegrasi dengan jutaan orang yang menggantungkan hidup di dalamnya,” ujar Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian, Putu Juli Ardika, dalam keterangan resminya di Jakarta, Selasa (3/6).
Keterpaduan sektor ini terlihat dari ketersediaan industri penunjang seperti pengeringan tembakau, kertas dan filter rokok, bumbu atau perisa, produksi sigaret kretek tangan dan mesin, rokok putih, cerutu, hingga laboratorium berskala internasional serta industri kemasan dan percetakan.
“Sektor IHT memegang peran penting dalam perekonomian nasional,” tegas Putu. Hal itu tercermin dari kontribusinya terhadap penerimaan negara melalui cukai hasil tembakau yang mencapai Rp216 triliun pada 2024—menjadikannya salah satu sumber pendapatan terbesar dari sektor industri. Selain itu, IHT juga menyerap tenaga kerja hingga 6 juta orang dari hulu ke hilir.
Di kancah perdagangan global, kinerja ekspor hasil tembakau Indonesia juga menunjukkan capaian positif. Pada 2024, nilai ekspor mencapai USD1,7 miliar—naik 21,7 persen dibanding tahun sebelumnya. Indonesia kini menduduki peringkat keenam eksportir produk tembakau terbesar di dunia.
“Pencapaian ini merupakan hasil kerja keras seluruh pelaku industri dan kualitas produk tembakau nasional yang kompetitif di pasar global,” tambah Putu.
Meski demikian, sektor IHT masih menghadapi tantangan serius, salah satunya adalah peredaran rokok ilegal. Data Kementerian Keuangan mencatat peningkatan peredaran rokok ilegal dari 3,3% pada 2019 menjadi 6,9% pada 2023. “Karena itu, pengawasan dan pembinaan kepada pelaku usaha menjadi sangat penting agar operasional industri tetap sesuai ketentuan yang berlaku,” tegasnya.
Putu juga menyoroti pentingnya pemanfaatan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) oleh pemerintah daerah. Dari total DBHCHT, terdapat alokasi 3% yang bisa digunakan untuk program pembinaan industri, termasuk peningkatan kualitas SDM, pengujian nikotin dan tar, hingga dukungan ekspor.
Kemenperin pun mendorong sinergi antara pemerintah daerah dan asosiasi industri dalam menyusun program pembinaan yang sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Hal ini disampaikannya saat memberikan sambutan dalam Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Pabrik Rokok dan Petani Tembakau Indonesia (DPP P2RPTI) di Blitar, Jawa Timur, pada Minggu (1/6).
“Semoga Munaslub ini melahirkan strategi penguatan daya saing, inovasi, dan digitalisasi sektor IHT, sehingga mampu menjadi mitra strategis pemerintah dalam pengembangan industri nasional,” pungkas Putu.









