Dampak Konflik Geopolitik, Kemenperin Dorong Efisiensi dan Hilirisasi Industri Nasional

0
211
Menteri Perindustrian
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita. FOTO: KEMENPERIN

(Vibizmedia-Nasional) Konflik militer yang terus meningkat antara Iran dan Israel telah menimbulkan guncangan besar terhadap pasar global, termasuk sektor manufaktur di Indonesia. Gangguan rantai pasok, lonjakan harga energi, dan fluktuasi nilai tukar menjadi ancaman serius bagi stabilitas industri nasional.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menegaskan bahwa pemerintah dan pelaku industri harus segera memitigasi dampak konflik tersebut, terutama mengingat posisi Indonesia sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan negara dengan populasi keempat terbanyak di dunia.

“Ketergantungan pada energi impor dan komponen bahan baku dari kawasan yang terdampak konflik sangat berisiko. Industri kita harus lebih efisien dan adaptif menghadapi situasi global yang tidak menentu ini,” ungkap Agus dalam keterangannya, pada Selasa, 17 Juni 2025.

Timur Tengah yang menyumbang hampir 30% produksi minyak global menjadi titik rawan. Iran, sebagai salah satu produsen utama, memproduksi sekitar 3,2 juta barel per hari. Gangguan pada suplai tersebut telah membuat harga minyak Brent berfluktuasi antara 73 hingga 92 dolar AS per barel, dengan potensi kenaikan 15–20% sepanjang 2025.

Ancaman penutupan Selat Hormuz juga semakin memperparah ketegangan pasokan energi dunia. Hal ini berimbas langsung pada biaya produksi sektor manufaktur Indonesia yang sangat bergantung pada energi, baik sebagai bahan bakar maupun bahan baku.

Untuk menghadapi tekanan ini, Kemenperin mendorong industri melakukan efisiensi penggunaan energi dan diversifikasi sumber energi.

“Penggunaan energi secara efisien akan mendukung produktivitas dan daya saing produk industri nasional. Selain itu, ini juga mendukung kedaulatan energi yang dicanangkan Presiden Prabowo,” tegas Agus.

Ia menambahkan, industri diharapkan mulai mengoptimalkan sumber energi domestik seperti bioenergi, panas bumi, dan pemanfaatan limbah industri sebagai bahan bakar alternatif.

Konflik juga mengganggu jalur perdagangan internasional penting seperti Selat Hormuz dan Terusan Suez. Akibatnya, waktu pengiriman Asia-Eropa meningkat 10–15 hari dan biaya kontainer melonjak hingga 200%. Sektor otomotif dan elektronik di Indonesia kini menghadapi kelangkaan semikonduktor, dengan waktu tunggu hingga 26 minggu. Potensi kerugian ekspor sektor ini diperkirakan mencapai 500 juta dolar AS.

Sementara itu, sektor tekstil dan alas kaki mengalami penurunan margin laba hingga 7% akibat lonjakan biaya logistik. Sektor nikel dan baja pun tak luput terdampak, dengan potensi kerugian ekspor hingga 1,2 miliar dolar AS akibat kenaikan biaya transportasi dan penundaan pengiriman.

Agus juga menekankan pentingnya hilirisasi produk agro untuk memperkuat ketahanan pangan nasional. Lonjakan inflasi global, gejolak nilai tukar, dan tingginya biaya logistik telah menyebabkan kenaikan harga bahan pangan impor.

“Jawaban strategisnya adalah hilirisasi. Industri harus lebih banyak mengolah hasil pertanian, perikanan, dan perkebunan lokal agar tidak tergantung pada bahan baku pangan impor,” jelas Agus.

Selain efisiensi, Kemenperin juga mendorong inovasi teknologi dalam proses produksi pangan agar nilai tambah tercipta di dalam negeri.

Krisis geopolitik juga mengancam pasokan pupuk yang selama ini diimpor dari negara-negara Timur Tengah dan Mesir. Sekitar 64% bahan baku pupuk berbasis NPK yang diimpor Indonesia berasal dari wilayah tersebut. Gangguan pasokan ini dapat menyebabkan kenaikan harga pupuk dan penurunan hasil panen padi hingga 15%, yang berpotensi mengancam program swasembada nasional.

Kemenperin mengimbau industri memanfaatkan skema Local Currency Settlement (LCS) dari Bank Indonesia untuk menstabilkan biaya input produksi akibat fluktuasi nilai tukar rupiah. LCS diyakini dapat membantu pelaku usaha mengurangi risiko nilai tukar dalam transaksi dengan negara-negara mitra dagang yang telah menandatangani perjanjian tersebut.

Agus menekankan bahwa konflik global ini harus menjadi momentum strategis untuk memperkuat kemandirian industri nasional. Pemerintah berkomitmen untuk memberikan insentif, dukungan investasi, hingga kebijakan fiskal yang mendorong transformasi industri ke arah yang lebih berdaya saing dan efisien.

“Ketahanan energi dan pangan bukan hanya tanggung jawab sektor primer, tapi juga sektor industri. Industri manufaktur Indonesia harus jadi garda terdepan untuk mewujudkannya,” kata Agus.

Dengan strategi ini, Kemenperin optimistis Indonesia akan mampu menjaga stabilitas sektor industri di tengah gejolak global, sekaligus memperkuat ketahanan nasional secara menyeluruh.