(Vibizmedia – Jakarta) Industri manufaktur terus menunjukkan perannya sebagai kontributor utama dalam capaian ekspor nasional. Sepanjang tahun 2024, nilai ekspor sektor ini mencapai USD196,5 miliar, menyumbang 74,25 persen dari total ekspor Indonesia. Angka tersebut meningkat 5,11 persen dibandingkan 2023 yang mencatat USD186,9 miliar.
Pada triwulan I tahun 2025, sektor manufaktur membukukan surplus perdagangan sebesar USD10,4 miliar, dengan nilai ekspor USD52,9 miliar atau 79,4 persen dari total ekspor nasional. Hal ini disampaikan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dalam acara pelepasan ekspor produk baja lapis PT Tata Metal Lestari ke Amerika Serikat di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (18/7).
Surplus dari sektor manufaktur juga mendorong surplus perdagangan nasional secara keseluruhan. Berdasarkan data Trading Economics dan laporan resmi Kementerian Keuangan yang dikutip Reuters, Indonesia mencatat surplus USD4,9 miliar pada Mei 2025. Capaian ini menempatkan Indonesia di peringkat ke-3 dunia versi World Visualized, di bawah Tiongkok dan Jerman, namun di atas Rusia dan Malaysia.
Menperin menegaskan bahwa kinerja ini mencerminkan kuatnya struktur industri manufaktur nasional dari hulu ke hilir, serta membantah anggapan terjadinya deindustrialisasi di Indonesia. Ia juga menyoroti subsektor industri logam dasar sebagai tulang punggung strategis pembangunan industri yang menunjukkan kinerja unggul, dengan kontribusi 1,10 persen terhadap PDB nasional pada triwulan I 2025 dan pertumbuhan tertinggi sebesar 14,47 persen (yoy).
Pertumbuhan tersebut ditopang oleh peningkatan permintaan global, terutama dari sektor besi dan baja, serta suksesnya program hilirisasi yang meningkatkan nilai tambah komoditas dalam negeri.
Industri baja nasional kini memainkan peran vital dalam pembangunan infrastruktur, teknologi, dan sektor strategis seperti otomotif, permesinan, galangan kapal, hingga energi. Menurut data World Steel Association, Indonesia menempati peringkat ke-14 dunia dalam produksi crude steel dengan output 17 juta ton pada 2024, naik hampir dua kali lipat dari tahun 2019.
Target ke depan adalah menembus peringkat ke-11 atau ke-10 dunia dalam tiga hingga empat tahun mendatang, dengan kapasitas produksi yang saat ini mencapai 21 juta ton, dan ditargetkan naik menjadi 27 juta ton pada 2029.
Untuk menjaga momentum pertumbuhan ini, pemerintah terus mendorong berbagai kebijakan strategis, antara lain: penerapan trade remedies, pemberlakuan SNI wajib, fasilitas Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT), prioritas produk dalam negeri dalam proyek pemerintah, insentif fiskal, serta penerapan prinsip industri hijau.
“Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan utilisasi produksi baja nasional secara berkelanjutan, serta memastikan daya saing produk baja di pasar domestik maupun global,” tutup Menperin.