Perjalanan Lahirnya Unit Karbon di Indonesia

Kita tahu pohon itu penting, tapi sulit memberi angka pada manfaatnya. Kini, dengan berkembangnya mekanisme perdagangan karbon, kontribusi pohon, lahan gambut, dan ekosistem lainnya bisa diukur, dicatat, bahkan dijual dalam bentuk yang disebut unit karbon. Dan di Indonesia, kelahiran satu unit karbon melewati proses panjang, penuh aturan, dan melibatkan banyak pihak.

0
738
hutan pulau jawa unit karbon
Hutan Pinus Becici, Yogyakarta, salah satu hutan di pulau Jawa (Foto: Hanny Nugrahani/ Vibizmedia)

(Vibizmedia – Kolom) Bayangkan kita sedang berjalan di sebuah desa di pinggir hutan Kalimantan. Udara terasa segar, suara burung bersahutan, dan di kejauhan terlihat hamparan hijau pepohonan yang berdiri tegak. Seolah mereka hanya diam dan tumbuh begitu saja. Tapi sebenarnya, pepohonan ini sedang bekerja tanpa henti menyerap karbon dioksida dari udara dan menyimpannya di batang, daun, dan akarnya. Mereka adalah pekerja lingkungan yang paling setia, tanpa gaji, tanpa libur.

Dulu, jasa yang mereka berikan tidak pernah benar-benar dihitung nilainya. Kita tahu pohon itu penting, tapi sulit memberi angka pada manfaatnya. Kini, dengan berkembangnya mekanisme perdagangan karbon, kontribusi pohon, lahan gambut, dan ekosistem lainnya bisa diukur, dicatat, bahkan dijual dalam bentuk yang disebut unit karbon. Dan di Indonesia, kelahiran satu unit karbon melewati proses panjang, penuh aturan, dan melibatkan banyak pihak.

Segalanya dimulai dari konsep bahwa apa yang bisa diukur, bisa dikelola. Untuk bisa memperdagangkan karbon, kita harus memastikan jumlah emisi yang dikurangi benar-benar nyata. Inilah yang disebut proses Measurement, Reporting, and Verification atau MRV. Bayangkan MRV seperti tim wasit dalam pertandingan sepak bola. Mereka memastikan semua gol yang tercipta sah, sesuai aturan, dan tercatat resmi di papan skor. Dalam konteks karbon, MRV memeriksa setiap klaim pengurangan emisi, apakah itu berasal dari proyek reboisasi, instalasi panel surya, atau pengelolaan sampah yang lebih efisien.

Tahap pertama adalah measurement atau pengukuran. Misalnya, sebuah proyek menanam seribu pohon di lahan kritis. Tim MRV akan menghitung berapa banyak karbon yang mampu diserap pohon-pohon itu dalam setahun, menggunakan metode ilmiah dan data lapangan. Mereka tidak hanya melihat jumlah pohon, tetapi juga jenisnya, umur, dan kesehatan tanaman. Lalu, ada tahap reporting, di mana semua data tersebut dilaporkan secara resmi kepada pihak berwenang dengan format dan standar yang telah ditentukan. Terakhir, verification atau verifikasi, yang dilakukan oleh Lembaga Validasi dan Verifikasi (LVV). LVV adalah pihak independen yang memastikan semua klaim benar, tanpa manipulasi.

Proses ini krusial karena pasar karbon berdiri di atas kepercayaan. Tanpa MRV yang ketat, tidak ada jaminan bahwa kredit karbon yang dijual benar-benar mengurangi emisi. MRV memastikan tidak ada “karbon fiktif” yang beredar, yang hanya akan merusak reputasi pasar Indonesia.

Setelah MRV rampung, proyek dapat mengajukan penerbitan Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca atau SPE. Sertifikat ini adalah semacam akta kelahiran untuk unit karbon. Ia membuktikan bahwa sebuah kegiatan, entah itu menanam hutan, memanfaatkan energi terbarukan, atau mengelola limbah, telah berhasil menurunkan emisi sesuai dengan standar yang berlaku di Indonesia.

Namun, mendapatkan SPE bukan perkara mudah. Proyek harus memenuhi sejumlah persyaratan, mulai dari kelengkapan data teknis, kejelasan metodologi, hingga bukti bahwa pengurangan emisi tersebut bersifat permanen. Artinya, pohon yang ditanam tidak boleh ditebang dalam waktu dekat, atau lahan gambut yang dilindungi tidak boleh dibakar setelah sertifikat diterbitkan. Persyaratan ini menjaga agar manfaat lingkungan benar-benar terjaga dalam jangka panjang.

Begitu SPE diterbitkan, langkah berikutnya adalah mencatatnya dalam Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim atau SRN. SRN ini bisa kita bayangkan seperti buku besar digital yang mencatat semua unit karbon resmi di Indonesia. Ia mencatat siapa pemiliknya, dari proyek mana ia berasal, kapan ia diterbitkan, dan apakah sudah digunakan atau belum. Dengan SRN, setiap unit karbon memiliki jejak digital yang bisa ditelusuri kapan saja. Hal ini mencegah terjadinya penjualan ganda atau pencatatan palsu.

Pencatatan di SRN juga penting untuk keterhubungan Indonesia dengan pasar karbon global. Negara-negara lain yang ingin membeli kredit karbon dari Indonesia membutuhkan jaminan bahwa unit tersebut sah dan unik. SRN menjadi kunci untuk memberikan jaminan itu, sekaligus meningkatkan kepercayaan investor internasional.

Selain pencatatan, ada satu hal penting lainnya: metodologi perhitungan pengurangan emisi. Ini seperti resep masakan. Kalau ingin hasil yang konsisten, kita harus mengikuti takaran dan langkah yang jelas. Di Indonesia, metodologi ini ditetapkan oleh pemerintah dan disesuaikan dengan standar internasional. Proyek yang ingin menghasilkan unit karbon harus memilih dan mengikuti metodologi yang relevan. Misalnya, ada metodologi khusus untuk proyek hutan, berbeda dengan proyek pembangkit listrik tenaga surya atau pengelolaan sampah.

Menariknya, Indonesia juga mulai menerapkan Mutual Recognition Agreement atau MRA dalam perdagangan karbon. Skema ini memungkinkan kredit karbon yang diakui di Indonesia untuk juga diakui di negara lain, dan sebaliknya. MRA membuka pintu pasar yang lebih luas, sehingga kredit karbon Indonesia bisa diperdagangkan tidak hanya di dalam negeri tetapi juga di pasar global. Bayangkan seperti paspor internasional bagi unit karbon—dengan MRA, unit itu bisa “bepergian” ke berbagai bursa karbon di luar negeri.

Semua proses ini—dari pengukuran di lapangan, verifikasi independen, penerbitan sertifikat, pencatatan di SRN, hingga penerapan metodologi dan MRA—membentuk ekosistem yang kompleks tapi teratur. Masing-masing bagian punya peran vital. Jika salah satu gagal, sistem bisa terguncang. Karena itu, pemerintah, pelaku proyek, lembaga keuangan, dan masyarakat harus bekerja sama memastikan semuanya berjalan sesuai standar.

Bagi masyarakat awam, mungkin terdengar rumit. Tapi esensinya sederhana: setiap rupiah yang dibayarkan untuk unit karbon adalah investasi nyata untuk mengurangi emisi. Proyek yang hanya sekadar “greenwashing” atau pura-pura hijau tidak akan bertahan lama di sistem ini. Sebaliknya, mereka yang benar-benar berkontribusi akan mendapat pengakuan dan imbalan yang pantas.

Coba bayangkan jika mekanisme ini diterapkan secara luas di seluruh Indonesia. Desa yang menjaga hutannya dengan baik bisa mendapatkan penghasilan tambahan dari penjualan unit karbon. Kota yang berhasil mengurangi emisi dari sampah bisa membiayai program lingkungan baru. Perusahaan yang berinvestasi di energi terbarukan bisa memperoleh pemasukan tambahan dari kredit karbon yang dihasilkan. Semua ini menciptakan lingkaran positif antara ekonomi dan ekologi.

Namun tentu saja, jalan ini tidak tanpa tantangan. Masih banyak proyek yang belum memahami prosedur MRV dengan baik. Kapasitas lembaga verifikasi juga perlu terus ditingkatkan agar mampu menangani semakin banyak proyek. Dan yang tak kalah penting, literasi masyarakat dan pelaku usaha tentang perdagangan karbon harus terus dibangun, agar mekanisme ini tidak hanya dimanfaatkan segelintir pihak.

Mekanisme pembentukan dan penerbitan unit karbon ini adalah fondasi penting untuk masa depan Indonesia yang rendah emisi. Ia memastikan bahwa setiap klaim pengurangan emisi didukung data yang kuat, diakui secara hukum, dan dapat diperdagangkan di pasar domestik maupun internasional. Dan yang paling menarik, ia membuka peluang bagi siapa saja—dari desa kecil hingga perusahaan multinasional—untuk menjadi bagian dari solusi krisis iklim, sekaligus memperoleh manfaat ekonomi.

Lahirnya sebuah unit karbon adalah cerita panjang tentang kerja sama antara manusia dan alam. Tentang bagaimana pohon yang dibiarkan tumbuh, lahan gambut yang tetap basah, dan energi yang dihasilkan tanpa asap, bisa diterjemahkan menjadi nilai ekonomi yang nyata. Ini bukan hanya soal bisnis, tapi soal masa depan yang kita pilih. Dan setiap unit karbon yang tercatat adalah langkah kecil menuju dunia yang lebih seimbang, di mana langit lebih bersih, hutan lebih hijau, dan kita semua punya kesempatan untuk bernapas lebih lega.