Kemenperin Soroti Kepatuhan Rendah dan Lonjakan Impor Anggota APSyFI

0
143
Industri Tekstil
Produksi tekstil. FOTO: KEMENPERIN

(Vibizmedia-Nasional) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menegaskan pentingnya transparansi, kepatuhan administratif, serta konsistensi strategi bagi industri tekstil nasional, khususnya di sektor hulu yang bernaung di bawah Asosiasi Produsen Benang Serat dan Filamen Indonesia (APSyFI).

Berdasarkan data Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas), kepatuhan pelaporan industri anggota APSyFI masih tergolong rendah. Dari 20 perusahaan anggota, hanya 15 yang melaporkan aktivitas industrinya, sementara 5 lainnya absen.

“Masih ada perusahaan besar anggota APSyFI yang tidak melaporkan kinerjanya sama sekali. Padahal kewajiban pelaporan ini adalah bentuk akuntabilitas industri kepada negara. Minimnya komitmen administratif justru melemahkan posisi asosiasi yang mengklaim sebagai garda depan tekstil nasional,” ujar Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief, dalam keterangan resminya di Jakarta, Sabtu (23/8).

Febri mengungkapkan adanya anomali dalam kinerja industri anggota APSyFI. Di tengah desakan asosiasi agar pemerintah memperketat impor, justru terjadi lonjakan signifikan impor yang dilakukan anggotanya sendiri.

Data mencatat, volume impor benang dan kain oleh anggota APSyFI naik lebih dari 239% dalam setahun, dari 14,07 juta kilogram (2024) menjadi 47,88 juta kilogram (2025).

“Ada anggota APSyFI yang memanfaatkan fasilitas kawasan berikat maupun API Umum sehingga bebas melakukan impor besar-besaran. Di satu sisi, mereka menuntut proteksi, namun di sisi lain aktif menjadi importir. Ini jelas kontradiktif dengan semangat kemandirian industri,” tegasnya.

Selama ini pemerintah telah memberikan perlindungan dan instrumen fiskal bagi industri hulu tekstil, antara lain Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) Polyester Staple Fiber (PSF) yang berlaku hingga 2027, BMAD Spin Drawn Yarn (SDY) hingga 2025, serta Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) untuk benang serat sintetis (hingga 2026) dan kain (hingga 2027).

“Artinya, industri anggota APSyFI sudah menikmati keuntungan ganda, yaitu proteksi tarif sekaligus fasilitas impor. Namun, sayangnya tidak diimbangi dengan investasi baru maupun modernisasi teknologi,” jelas Febri.

Kemenperin menekankan bahwa kebijakan rekomendasi impor maupun perlindungan industri didasarkan pada prinsip keadilan dan keseimbangan antara hulu, intermediate, dan hilir. Industri hilir berorientasi ekspor diberi kemudahan agar kompetitif, sementara pasar domestik diarahkan untuk substitusi impor sesuai kemampuan industri nasional.

Febri menambahkan, jika usulan BMAD dengan tarif 45 persen diterapkan sesuai hitungan Komite Anti-Dumping Indonesia (KADI), risikonya adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga 40.000 pekerja di industri hilir.

“Ini akan menjadi tragedi nasional. Sedangkan potensi PHK di sektor hulu yang jauh lebih kecil masih bisa dimitigasi melalui optimalisasi serapan lokal,” ujarnya.

Meski menghadapi dinamika, sektor tekstil nasional pada kuartal I dan II 2025 masih mencatat pertumbuhan di atas 4 persen. Menurut Kemenperin, capaian ini harus dijaga melalui sinergi yang kuat.

“Kemenperin berharap asosiasi industri dapat melihat kebijakan pemerintah secara objektif. Justru di tengah pertumbuhan ini, yang dibutuhkan adalah kolaborasi dan kepatuhan, bukan narasi yang menyesatkan publik,” pungkas Febri.