
(Vibizmedia – Kolom) Kalau ada makanan yang bisa disebut sahabat semua orang, jagung si kuning mungkin salah satunya. Jagung itu fleksibel, bisa jadi sarapan sederhana, camilan sore, teman nongkrong malam hari, sampai bagian dari hidangan tradisional khas berbagai daerah. Ia hadir dalam bentuk jagung rebus yang manis, jagung bakar dengan taburan keju, nasi jagung yang bikin kenyang, hingga popcorn di bioskop yang menemani kita menonton film.
Namun, di balik keakraban itu, jagung si kuning punya peran yang jauh lebih besar dari sekadar makanan ringan. Ia adalah salah satu komoditas penting yang ikut menjaga ketahanan pangan nasional. Menurut catatan resmi terbaru, pada tahun 2024 luas panen jagung di Indonesia mencapai sekitar 2,55 juta hektare, dengan produksi pipilan kering berkadar air 14 persen sebesar 15,14 juta ton. Angka ini naik dari tahun sebelumnya, membuktikan bahwa petani kita tetap produktif meski dihadapkan pada tantangan cuaca yang semakin tidak menentu. Mari kita lihat lebih dekat, bagaimana sebenarnya cerita si kuning kecil ini mengalir dari ladang-ladang di seluruh Nusantara hingga sampai ke meja kita.
Jagung di Indonesia memiliki pola panen yang unik. Umumnya, ada dua siklus panen besar dalam setahun. Puncak panen pertama terjadi di bulan Maret, ketika ladang-ladang di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi tampak kuning keemasan. Pada periode ini, luas panen mencapai sekitar 364 ribu hektare. Kemudian, puncak kedua datang pada September, dengan luas panen sekitar 276 ribu hektare. Bayangkan suasana desa di bulan-bulan itu: para petani ramai-ramai memanen tongkol, suara mesin perontok terdengar dari kejauhan, dan jalanan desa dipenuhi truk kecil yang mengangkut karung-karung jagung.
Di luar puncak panen, tetap ada aktivitas menanam dan memanen, hanya saja volumenya lebih kecil. Misalnya, di bulan Januari 2024, luas panen tercatat hanya sekitar 87 ribu hektare. Angka itu jauh lebih rendah dibanding bulan puncak, tapi tetap memberi pasokan ke pasar. Secara total, sepanjang tahun 2024, rata-rata luas panen jagung si kuning adalah 212 ribu hektare per bulan. Angka ini sedikit lebih tinggi dibanding 2023, yang rata-ratanya 206 ribu hektare per bulan.
Kalau ada provinsi yang pantas disebut raja jagung, itu adalah Jawa Timur. Pada 2024, provinsi ini mencatat luas panen terbesar dengan sekitar 739 ribu hektare, menghasilkan lebih dari 6 juta ton jagung pipilan kering. Angka ini setara hampir sepertiga produksi nasional. Tidak heran kalau banyak perusahaan pakan ternak besar memilih membangun pabrik di Jawa Timur, karena dekat dengan sumber bahan bakunya.
Di posisi kedua ada Jawa Tengah, dengan luas panen lebih dari 410 ribu hektare. Produksinya pun tinggi, mencapai sekitar 3,28 juta ton. Setelah itu, Sumatera Utara hadir sebagai kontributor penting di luar Jawa, dengan produksi sekitar 1,8 juta ton. Menariknya, dua provinsi di Nusa Tenggara—yaitu NTB dan NTT—juga masuk jajaran lima besar penghasil jagung. NTB menghasilkan sekitar 1,6 juta ton, sedangkan NTT memang lebih kecil tapi sedang tumbuh. Di kawasan timur Indonesia, jagung bahkan menjadi pangan pokok yang bersanding dengan beras. Sementara itu, Sulawesi Selatan menghasilkan sekitar 1,5 juta ton, dan Gorontalo yang relatif kecil secara luas wilayah justru menunjukkan peningkatan produksi yang signifikan.
Di sisi lain, ada provinsi-provinsi yang hampir tidak menghasilkan jagung sama sekali. Misalnya, Bangka Belitung hanya menghasilkan dalam skala hektare, begitu juga Kepulauan Riau yang tercatat sangat kecil. Kondisi geografis dan pola konsumsi di daerah ini memang membuat jagung tidak menjadi tanaman utama.

Hal yang sering tidak disadari adalah bahwa sebagian besar jagung Indonesia tidak langsung kita makan. Jagung si kuning justru lebih banyak digunakan untuk pakan ternak. Ayam potong dan ayam petelur, misalnya, sangat bergantung pada jagung sebagai sumber energi utama. Artinya, ketika panen jagung melimpah, harga ayam dan telur cenderung lebih stabil. Sebaliknya, jika panen terganggu, harga pangan hewani bisa ikut melonjak. Jadi, ketika kita menyantap ayam goreng di warung pinggir jalan atau telur dadar di rumah makan, sebenarnya ada peran jagung di balik rasa gurih itu.
Menanam jagung bukan pekerjaan yang sederhana. Ia punya beberapa fase pertumbuhan yang masing-masing punya risiko. Mulai dari fase vegetatif awal saat tanaman baru muncul dengan 3–5 helai daun, vegetatif akhir, reproduktif awal ketika keluar bunga jantan, hingga reproduktif akhir saat biji mengeras. Pada 2024, luas jagung dalam fase tegakan—artinya tanaman sedang tumbuh tapi belum panen—mencapai sekitar 10,5 juta hektare sepanjang tahun, atau rata-rata 880 ribu hektare per bulan. Angka ini naik signifikan dibanding 2023.
Namun, tidak semua berjalan mulus. Ada juga 79 ribu hektare lahan yang berpotensi gagal panen, entah karena hama, cuaca ekstrem, atau banjir. Meski angkanya menurun dibanding 2023, tetap saja ini mengingatkan kita bahwa pertanian sangat bergantung pada alam. Selain itu, ada jagung yang dipanen sebelum waktunya, baik untuk pakan hijauan maupun panen muda. Pada 2024, luas panen hijauan mencapai sekitar 127 ribu hektare, sementara panen muda sekitar 338 ribu hektare. Artinya, tidak semua jagung menunggu matang sempurna, ada yang lebih cepat masuk dapur untuk kebutuhan lain.
Kalau bicara soal jagung si kuning, sulit memisahkannya dari identitas kuliner Indonesia. Di Madura, ada nasi jagung, campuran nasi dan jagung tumbuk yang mengenyangkan dan aromanya khas. Di Nusa Tenggara Timur, ada jagung bose, makanan tradisional berupa jagung rebus dengan santan yang gurih. Di Jawa, jagung sering muncul dalam bentuk wedang jagung yang manis dan hangat. Sedangkan di kota-kota besar, jagung tampil modern: ada es krim jagung, puding jagung, bahkan minuman kekinian dengan topping jagung manis. Bisa dibilang, jagung ini fleksibel. Ia bisa jadi makanan pokok, camilan, bahkan pencuci mulut. Tidak banyak komoditas yang bisa seluwes itu.
Mengapa pemerintah begitu peduli pada angka panen jagung? Karena jagung adalah salah satu kunci dalam menjaga ketahanan pangan nasional. Produksi yang stabil membuat kita tidak terlalu bergantung pada impor. Tahun 2024, produksi naik sekitar 2,5 persen dibanding 2023. Ini kabar baik, karena berarti kebutuhan dalam negeri bisa lebih banyak dipenuhi oleh petani kita sendiri. Namun, tantangan ke depan tetap besar. Perubahan iklim membuat pola hujan semakin sulit diprediksi. Kadang musim tanam mundur, kadang hujan datang terlalu cepat. Alih fungsi lahan juga menjadi ancaman, ketika sawah atau ladang berubah menjadi kawasan industri atau perumahan.
Meski begitu, ada harapan besar. Petani kita semakin adaptif, menggunakan bibit unggul, memanfaatkan teknologi, dan mengikuti pola tanam yang lebih efisien. Ada filosofi menarik dari jagung. Ia bukan tanaman yang manja. Jagung si kuning bisa tumbuh di lahan kering, bahkan di tanah yang kurang subur. Ia cepat panen, hanya butuh sekitar tiga bulan dari tanam hingga panen. Itulah mengapa banyak petani menjadikannya pilihan andalan, terutama di daerah dengan curah hujan terbatas. Dalam hal ini, jagung si kuning bisa menjadi simbol daya lenting masyarakat kita. Seperti halnya jagung yang bisa bertahan di berbagai kondisi, petani Indonesia juga punya semangat untuk terus berproduksi, apa pun tantangannya.
Bayangkan perjalanan jagung si kuning. Dari ladang luas di Jawa Timur, tongkol-tongkol dipanen lalu dijemur hingga kering. Setelah itu dipipil, dimasukkan ke karung, diangkut dengan truk kecil ke gudang, lalu masuk ke pabrik pakan atau pasar. Dari sana, ia bisa bertransformasi jadi banyak hal dari ayam goreng di kota besar, telur dadar di warteg, hingga jagung bakar di alun-alun. Setiap biji kecil yang kita kunyah punya cerita panjang tentang kerja keras petani, tentang cuaca yang kadang bersahabat, kadang tidak, tentang harga yang fluktuatif, dan tentang kebijakan pangan nasional.
Jagung si kuning mungkin terlihat sederhana. Ia bukan makanan mewah, bukan pula komoditas ekspor utama. Tapi jangan salah, tanpa jagung, kehidupan sehari-hari kita akan terganggu. Dari ayam goreng hingga telur dadar, dari nasi jagung hingga camilan bioskop, semua ada benang merah ke ladang jagung di pelosok desa. Jadi, lain kali kamu sedang mengunyah jagung rebus yang manis, coba berhenti sejenak. Ingatlah bahwa biji kuning kecil itu adalah hasil dari kerja keras jutaan petani, bagian dari denyut nadi ekonomi, dan simbol ketahanan pangan Indonesia. Jagung bukan sekadar camilan. Ia adalah cerita tentang kita semua.