(Beritadaerah-Kolom) Agustus 2025 memperlihatkan potret ekonomi Indonesia yang penuh paradoks. Data resmi menunjukkan stabilitas, tetapi di lapangan masih banyak cerita yang menggambarkan kesenjangan antara angka dan kenyataan sehari hari. Inflasi nasional year on year sebesar 2,31 persen memberi kesan terkendali, namun inflasi di Deli Serdang mencapai 5,79 persen dan dirasakan langsung oleh keluarga seperti Mirna yang setiap hari berbelanja bawang merah dengan harga semakin tinggi.
Di Bandar Lampung inflasi hanya 0,19 persen dan dianggap kabar baik, tetapi Farhan pemilik warung makan tetap merasa tertekan karena biaya non pangan tidak ikut menurun. Perbedaan ini memperlihatkan bahwa angka inflasi nasional hanya menjadi rata rata yang tidak sepenuhnya menggambarkan tekanan harga di daerah.
Perdagangan luar negeri membawa cerita lain. Ekspor Juli 2025 mencapai 24,75 miliar dolar AS dan meningkat hampir sepuluh persen dari tahun lalu. Peningkatan terbesar datang dari lemak dan minyak nabati yang melonjak lebih dari 37 persen. Bagi pekerja pabrik sawit seperti Joni di Riau angka itu berarti lembur dan tambahan pendapatan. Namun ketergantungan pada komoditas tetap menimbulkan risiko karena jika harga global jatuh maka dampaknya langsung terasa pada upah pekerja dan pendapatan daerah.
Di sisi impor terjadi penurunan 5,86 persen sehingga total menjadi 20,57 miliar dolar AS. Tetapi impor barang modal justru meningkat lebih dari 20 persen. Lia seorang pengusaha kecil di Surabaya merasakan langsung beban tambahan saat memesan mesin baru. Hal ini menunjukkan penurunan impor tidak otomatis memberi keringanan bagi semua pelaku usaha. Bagi sebagian sektor justru berarti biaya produksi yang semakin tinggi.
Produksi pangan memberi kesan positif. Produksi padi gabah kering giling Juli 2025 diperkirakan 4,81 juta ton atau naik lebih dari 35 persen. Jika dikonversi menjadi beras tersedia 2,77 juta ton. Namun harga beras premium di penggilingan masih naik hingga 13.838 rupiah per kilogram. Rini pedagang beras di Indramayu merasakan dilema antara menaikkan harga jual atau menanggung kerugian. Angka produksi yang meningkat ternyata tidak cukup menekan harga di pasar karena rantai distribusi dan biaya logistik masih tinggi.
Produksi jagung juga naik 7,46 persen menjadi 1,46 juta ton. Bagi peternak ayam seperti Pak Budi di Jawa Tengah ini memberi harapan bahwa harga pakan bisa stabil. Namun ia tetap harus menghadapi kenaikan biaya listrik dan kebutuhan lain. Ini memperlihatkan bahwa kenaikan produksi komoditas tidak serta merta berarti peningkatan kesejahteraan, karena variabel lain tetap memberi tekanan.
Nilai Tukar Petani nasional pada Agustus 2025 naik menjadi 123,57. Nelayan seperti Karim di Sulawesi merasakan sedikit kenaikan harga jual ikan. Walau demikian biaya solar untuk melaut membuat keuntungan tetap tipis. Statistik NTP memang mencatat kenaikan namun kenyataan di lapangan tidak selalu sebanding dengan peningkatan kesejahteraan.
Sektor pariwisata mencatat pertumbuhan jumlah wisatawan mancanegara sebanyak 1,48 juta orang pada Juli 2025 naik lebih dari 13 persen dibanding tahun sebelumnya. Adi pemandu wisata di Bali merasakan kesibukan kembali. Tetapi tingkat hunian kamar hotel berbintang masih 52,79 persen dan hotel nonbintang hanya 26,60 persen. Sari yang bekerja di hotel kecil di Yogyakarta justru mengeluh karena gajinya menurun. Pertumbuhan pariwisata terbukti belum menyentuh semua lapisan pelaku usaha.
Transportasi penumpang meningkat. Penumpang pesawat domestik mencapai 5,5 juta orang naik lebih dari 9 persen dan penumpang kereta naik hampir 10 persen. Yudi kondektur kereta mengaku selalu kelelahan karena kursi penuh. Namun angkutan barang tidak sama polanya. Barang yang dikirim lewat udara turun lebih dari 5 persen meskipun laut dan kereta mencatat kenaikan. Sopir truk seperti Andi di Jawa Barat merasakan perubahan arus logistik karena lebih banyak barang dialihkan ke pelabuhan. Data ini menunjukkan bahwa pertumbuhan mobilitas orang tidak selalu sejalan dengan pergerakan barang.
Dari sisi kesejahteraan, jumlah penduduk miskin pada Maret 2025 mencapai 23,85 juta orang atau 8,47 persen dari total populasi. Angka ini menurun dari tahun sebelumnya dan Gini Ratio membaik menjadi 0,375. Namun guru honorer seperti Siti masih melihat murid yang datang ke sekolah tanpa sarapan. Sopir ojek daring seperti Raka tetap harus bekerja dua belas jam sehari. Statistik menunjukkan perbaikan, tetapi kualitas hidup sehari hari masih jauh dari ideal.
Jika dilihat lebih dalam maka data BPS bulan ini memperlihatkan tiga lapisan. Pertama stabilitas makro yang terjaga seperti inflasi rendah dan kemiskinan menurun. Kedua dinamika sektoral yang tidak merata misalnya ekspor naik karena komoditas, impor barang modal naik, harga beras tetap tinggi meski produksi meningkat, serta pariwisata yang tidak merata antara hotel besar dan kecil. Ketiga disparitas wilayah yang nyata terlihat dari inflasi berbeda tajam antar daerah dan kesejahteraan petani serta nelayan yang tidak seragam.
Statistik hanyalah satu sisi dari realitas. Angka memberikan gambaran besar, tetapi makna sebenarnya muncul ketika dipadukan dengan cerita manusia. Mirna dengan harga bawang merah, Farhan dengan warung kecil, Joni dengan lemburnya di pabrik, Lia dengan mesin impor, Karim dengan biaya solar, Siti dengan murid lapar, Rini dengan harga beras, Adi dan Sari dengan wisatawan, Yudi dan Andi dengan transportasi, serta Raka dengan jam kerja panjang. Mereka adalah wajah nyata dari angka angka yang tampak dingin di laporan resmi.
Ekonomi pada akhirnya bukan sekadar grafik atau persentase. Ia adalah denyut kehidupan yang bergetar dalam belanja pasar, perjalanan wisata, mesin pabrik, panen padi, dan langkah kaki murid menuju sekolah. Angka memang penting untuk kebijakan, tetapi kisah manusia lah yang memberi arti.