(Vibizmedia – Kolom) Di banyak sudut negeri, cerita tentang transformasi digital sering kali terdengar seperti kisah dua dunia yang berjalan bersamaan. Ada kota-kota besar dengan konektivitas tinggi, di mana hampir setiap sudut jalan dipenuhi sinyal kuat, layanan daring, dan gaya hidup yang sepenuhnya terhubung. Namun di sisi lain, ada desa-desa yang baru beberapa tahun terakhir mengenal internet sebagai sesuatu yang nyata, bukan hanya kabar dari televisi. Narasi ini bukan sekadar imajinasi, melainkan realitas yang tercermin dari data Badan Pusat Statistik melalui publikasi Statistik Telekomunikasi Indonesia 2024.
Menurut catatan resmi, pada tahun 2024 sekitar 72,78 persen penduduk Indonesia telah mengakses internet. Angka ini menunjukkan peningkatan konsisten dari 69,21 persen pada 2023, bahkan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan 62,10 persen pada 2021. Pertumbuhan ini memberi gambaran bahwa transformasi digital bukan sekadar wacana, melainkan perubahan nyata yang merambah ke seluruh lapisan masyarakat. Namun, angka yang terlihat mengesankan itu menyimpan dinamika yang lebih kompleks ketika dipilah menurut wilayah, perangkat, hingga tujuan penggunaan.
Jika ditarik ke kehidupan sehari-hari, statistik tersebut dapat diibaratkan sebagai cermin yang memperlihatkan dua wajah berbeda. Di perkotaan, 79,13 persen penduduk sudah menggunakan internet, sedangkan di perdesaan baru 63,71 persen. Kesenjangan digital ini bukan sekadar perbedaan angka, tetapi berkaitan erat dengan ketersediaan infrastruktur, daya beli, serta literasi digital. Warga perkotaan dengan mudah beralih dari satu gawai ke gawai lain, sementara sebagian masyarakat di desa masih harus berbagi perangkat atau menempuh jarak jauh hanya untuk mendapatkan akses sinyal yang layak.
Kepemilikan perangkat juga mencerminkan jurang yang lebar. Pada 2024, tercatat 18,52 persen rumah tangga memiliki komputer, meningkat tipis dari 18,06 persen pada 2023. Namun angka ini tetap menunjukkan betapa rendahnya penetrasi komputer di tingkat rumah tangga, terutama di wilayah pedesaan. Sebaliknya, kepemilikan telepon seluler jauh lebih merata. Sebanyak 68,65 persen penduduk Indonesia telah memiliki atau menguasai ponsel pada 2024. Tren ini menegaskan pergeseran teknologi komunikasi, di mana telepon seluler mengambil alih peran telepon kabel yang kini hanya dimiliki 0,99 persen rumah tangga.
Perkembangan telepon seluler di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial dan ekonomi. Sejak 2010, kepemilikan telepon seluler tumbuh dari 38,05 persen menjadi hampir 69 persen pada 2024. Pandemi Covid-19 turut memengaruhi tren ini. Pada 2019 tercatat 63,53 persen penduduk memiliki ponsel, tetapi angka itu justru turun pada 2020 menjadi 62,84 persen karena banyak masyarakat kehilangan penghasilan. Hanya setahun kemudian, kepemilikan meningkat kembali hingga 65,87 persen karena kebutuhan pembelajaran daring dan komunikasi jarak jauh. Tren ini menunjukkan bahwa teknologi bukan hanya soal perangkat, melainkan erat kaitannya dengan dinamika sosial, ekonomi, dan bahkan krisis kesehatan.
Kesenjangan yang tampak di tingkat akses membawa dampak yang lebih luas dalam pembangunan ekonomi. Sektor informasi dan komunikasi mencatat pertumbuhan 7,57 persen pada 2024, menempati posisi keenam tertinggi di antara sektor ekonomi lainnya. Meski kontribusinya terhadap PDB nasional masih sekitar 4,34 persen, angka pertumbuhan tersebut menegaskan peran strategis sektor ini dalam menopang transformasi digital. Namun tantangan berikutnya adalah bagaimana menjadikan pertumbuhan ini inklusif, sehingga manfaatnya bisa dirasakan baik di kota besar maupun di desa terpencil.
Jika dilihat dari sisi perdagangan internasional, data menunjukkan adanya gejala yang patut dicermati. Nilai ekspor barang teknologi informasi dan komunikasi Indonesia pada 2024 turun menjadi 7,37 miliar dolar AS, melemah 2,22 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan ini terjadi dua tahun berturut-turut, menandakan berkurangnya daya saing produk TIK Indonesia di pasar global. Di sisi lain, impor barang TIK justru meningkat 4,59 persen menjadi 13,55 miliar dolar AS, dengan mayoritas berasal dari komponen elektronik serta komputer dan perangkat pendukung. Pola ini memperlihatkan bahwa meski konsumsi perangkat digital meningkat di dalam negeri, ketergantungan terhadap produk impor masih sangat tinggi.
Dalam kerangka analitis, fenomena ini bisa dipandang sebagai peluang sekaligus peringatan. Peningkatan impor komponen dan perangkat komputer menunjukkan bertumbuhnya kebutuhan akan infrastruktur digital. Hal ini dapat mendorong industri perakitan di dalam negeri, tetapi juga menunjukkan lemahnya kemandirian teknologi nasional. Di tengah persaingan global yang semakin ketat, Indonesia perlu mendorong inovasi agar tidak sekadar menjadi konsumen, melainkan juga produsen teknologi.
Namun digitalisasi bukan semata persoalan ekonomi. Ia juga menyentuh aspek sosial dan budaya. Data menunjukkan bahwa internet diakses oleh berbagai kelompok usia dan gender, meskipun distribusinya tidak merata. Generasi muda mendominasi penggunaan internet, sementara kelompok usia lanjut relatif lebih sedikit terhubung. Perbedaan ini mengindikasikan adanya tantangan literasi digital lintas generasi.
Kisah sehari-hari dapat menggambarkan kenyataan ini dengan lebih jelas. Seorang siswa di desa terpencil yang baru mengenal internet merasakan peluang besar untuk belajar melalui video daring, sementara di kota seorang pekerja muda menghadapi kelelahan digital akibat terlalu banyak notifikasi. Satu sisi berjuang agar bisa terkoneksi, sisi lain berusaha mencari keseimbangan agar tidak terjebak dalam ketergantungan. Kontras ini memperlihatkan bahwa transformasi digital membawa konsekuensi yang beragam, tidak hanya memperluas akses informasi tetapi juga menghadirkan tantangan baru bagi kualitas hidup.
Pemerintah merespons situasi ini melalui berbagai kebijakan. Program pembangunan jaringan 4G dan 5G diperluas, sekolah-sekolah di wilayah terpencil mulai mendapat layanan internet gratis, dan satelit komunikasi diluncurkan untuk menjangkau daerah terdepan. Visi Indonesia Digital 2045 menempatkan teknologi informasi sebagai pilar utama menuju kedaulatan digital nasional. Namun pelaksanaan visi tersebut membutuhkan kerja sama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat agar kesenjangan digital dapat dipersempit.
Dari perspektif pembangunan manusia, data kepemilikan komputer yang stagnan dan kesenjangan akses internet di desa menunjukkan bahwa literasi digital tidak bisa hanya diukur dari jumlah perangkat. Perlu ada pendampingan agar masyarakat benar-benar mampu menggunakan teknologi untuk meningkatkan kesejahteraan. Tanpa itu, digitalisasi hanya akan memperlebar jurang antara mereka yang sudah terhubung penuh dengan mereka yang masih tertinggal.
Di sinilah pentingnya menghubungkan angka dengan cerita manusia. Data bahwa 68,65 persen penduduk memiliki ponsel mungkin terdengar positif, tetapi di balik itu ada keluarga di pedalaman yang harus berbagi satu perangkat untuk beberapa anak. Angka 7,57 persen pertumbuhan sektor informasi dan komunikasi memberi optimisme, tetapi di sisi lain ada pekerja perkotaan yang mengalami tekanan mental karena ritme kerja digital yang tidak pernah berhenti.
Analisis yang lebih luas menunjukkan bahwa transformasi digital Indonesia adalah perjalanan panjang dengan dinamika ganda. Ada dorongan kuat menuju konektivitas universal, tetapi juga ada tantangan serius dalam menciptakan pemerataan. Ada pertumbuhan ekonomi yang menjanjikan, tetapi juga ada ketergantungan impor yang perlu diwaspadai. Ada generasi muda yang penuh semangat memanfaatkan teknologi untuk belajar, tetapi juga ada kelompok yang merasa kewalahan menghadapi derasnya arus informasi.
Dengan demikian transformasi digital harus dipandang bukan hanya sebagai perkembangan teknis, melainkan juga fenomena sosial yang membentuk cara hidup, pola kerja, dan arah pembangunan bangsa. Angka-angka yang tersaji dalam Statistik Telekomunikasi Indonesia 2024 menjadi petunjuk penting, tetapi cerita manusia di balik angka itu sama pentingnya untuk dipahami.
Jika tren pertumbuhan akses internet terus berlanjut, bukan tidak mungkin dalam dua dekade mendatang hampir seluruh penduduk Indonesia akan terkoneksi. Namun yang lebih menentukan adalah apakah konektivitas itu benar-benar membawa manfaat merata atau justru memperkuat kesenjangan. Transformasi digital Indonesia akan mencapai makna sejatinya jika mampu menghadirkan peluang bagi semua, dari pusat kota hingga pelosok desa, dari generasi muda hingga lanjut usia, dari konsumen teknologi hingga pencipta inovasi.