Perjalanan Panjang Indonesia Menuju Masa Depan

0
1098
Indonesia
Pavilion Indonesia di World Expo 2025 Osaka

(Vibizmedia – Kolom) Delapan puluh tahun kemerdekaan Indonesia merupakan tonggak yang layak dijadikan bahan refleksi. Dalam kurun waktu itu, Indonesia mengalami transformasi besar dalam aspek sosial, ekonomi, politik, dan pembangunan manusia. Data yang terkumpul menggambarkan bahwa perjalanan bangsa ini tidak selalu lurus dan mulus, tetapi penuh dengan pasang surut. Narasi terhadap angka-angka yang ada membantu kita memahami arah kemajuan, sekaligus mengidentifikasi tantangan yang masih membayangi.

Pertama-tama, ekonomi menjadi fondasi yang paling jelas terlihat. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada semester pertama 2025 tercatat sebesar 4,99 persen secara tahunan, dengan nilai mencapai Rp11.612,9 triliun. Angka ini menempatkan Indonesia di jalur pertumbuhan yang relatif stabil dibandingkan banyak negara berkembang lainnya. Kontributor utama PDB berasal dari sektor industri pengolahan, perdagangan, pertanian, konstruksi, dan pertambangan. Stabilitas inflasi di level 1,87 persen pada Juni 2025 memperkuat kesan bahwa perekonomian Indonesia cukup tangguh di tengah ketidakpastian global.

Namun, pertumbuhan makro tidak otomatis terdistribusi merata. Tingkat kemiskinan pada Maret 2025 memang turun menjadi 8,47 persen atau sekitar 23,85 juta orang, jauh lebih rendah dibandingkan angka pada awal 2000-an yang mencapai lebih dari 16 persen. Penurunan ini menunjukkan efektivitas kebijakan perlindungan sosial, program bantuan tunai, dan pembangunan infrastruktur dasar. Meski demikian, kenyataan bahwa puluhan juta orang masih hidup di bawah garis kemiskinan mengingatkan kita bahwa pertumbuhan ekonomi harus lebih inklusif. Di balik angka agregat, terdapat disparitas antarwilayah yang nyata: Jawa relatif lebih sejahtera, sementara Papua dan sebagian Maluku masih tertinggal jauh.

Isu ketimpangan memperkuat gambaran ini. Gini ratio pada Maret 2025 berada di level 0,375. Secara tren, angka ini lebih rendah dibandingkan beberapa tahun sebelumnya, tetapi tetap mengindikasikan adanya jurang antara kelompok kaya dan miskin. Fenomena mal mewah di kota besar berdampingan dengan kawasan kumuh mencerminkan ketidakmerataan distribusi pendapatan. Tantangan mendesak ke depan adalah memastikan pertumbuhan ekonomi lebih berpihak pada kelompok bawah, misalnya melalui penciptaan lapangan kerja produktif, akses pendidikan yang merata, serta kebijakan fiskal yang progresif.

Selanjutnya, demografi menjadi faktor penentu lain yang harus dicermati. Pada 2025 jumlah penduduk Indonesia diproyeksikan mencapai 324,05 juta jiwa. Struktur penduduk kini memasuki fase transisi demografi. Jika pada era 1970-an piramida penduduk berbentuk ekspansif, maka pada 2025 bentuknya lebih stasioner dengan bagian tengah yang menebal. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok usia produktif mendominasi, sementara kelompok usia lanjut juga terus bertambah. Lonjakan angka harapan hidup dari 52,20 tahun pada 1980 menjadi 74,15 tahun pada 2024 menandakan kemajuan besar di bidang kesehatan. Namun, penuaan penduduk juga membawa konsekuensi: kebutuhan layanan kesehatan jangka panjang, sistem pensiun, serta kebijakan ketenagakerjaan yang adaptif.

Kondisi tenaga kerja memberi gambaran nyata. Pada Februari 2025, jumlah penduduk bekerja tercatat 145,77 juta orang. Meski tingkat pengangguran terbuka menurun menjadi 4,76 persen, pengangguran di kalangan muda mencapai 16,16 persen. Data ini menunjukkan paradoks demografi: melimpahnya tenaga kerja muda tidak otomatis menjadi berkah apabila pasar kerja tidak mampu menyerap mereka. Penciptaan lapangan kerja berkualitas masih menjadi isu utama. Lebih jauh lagi, fakta bahwa hanya 40,60 persen pekerja berada di sektor formal mengindikasikan rapuhnya perlindungan sosial dan rentannya sebagian besar tenaga kerja terhadap guncangan ekonomi.

Upah buruh rata-rata yang mencapai Rp3,09 juta pada Februari 2025 memberikan gambaran kenaikan pendapatan, tetapi bila dikaitkan dengan biaya hidup di kota besar, daya beli masih terbatas. Perbaikan daya beli tidak hanya bergantung pada kenaikan upah, tetapi juga pada pengendalian harga kebutuhan pokok dan akses ke layanan publik murah. Oleh sebab itu, kondisi ini menunjukkan bahwa kesejahteraan masyarakat tidak dapat hanya dilihat dari sisi kuantitas tenaga kerja, melainkan juga dari kualitas pekerjaan yang tersedia.

Pembangunan manusia menjadi dimensi lain yang layak dicermati. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) pada 2024 mencapai 75,02, menunjukkan kenaikan berkelanjutan. Dimensi pendidikan mengalami perbaikan, dengan harapan lama sekolah 13,21 tahun dan rata-rata lama sekolah 9,22 tahun. Namun kesenjangan antarwilayah masih mencolok. Papua Pegunungan misalnya, hanya mencatat rata-rata lama sekolah 5,10 tahun, jauh tertinggal dari DKI Jakarta yang mencapai 11,49 tahun. Hal ini memperlihatkan bahwa perbaikan kualitas pendidikan belum sepenuhnya merata, dan disparitas wilayah menjadi isu strategis.

Kesehatan masyarakat juga menunjukkan kemajuan signifikan. Angka kematian ibu menurun drastis dari 346 per 100.000 kelahiran hidup pada 2010 menjadi 189 pada 2020. Persalinan yang ditolong tenaga kesehatan kini mencapai lebih dari 97 persen. Prevalensi stunting balita menurun dari 37,2 persen pada 2013 menjadi 19,8 persen pada 2024. Indikator ini membuktikan efektivitas intervensi gizi dan kesehatan masyarakat. Namun prevalensi stunting yang masih mendekati 20 persen tetap menjadi peringatan bahwa pekerjaan belum selesai. Perbaikan gizi, akses sanitasi, dan pola asuh anak harus terus menjadi prioritas.

Aspek perumahan dan sanitasi juga menunjukkan ketimpangan. Pada 2024, hanya 65,25 persen rumah tangga yang menempati hunian layak. Persentase rumah tangga dengan akses sanitasi aman bahkan baru 10,25 persen. Disparitas antarprovinsi terlihat jelas: Yogyakarta mencatat 86,68 persen hunian layak, sedangkan Papua Pegunungan hanya 4,44 persen. Kondisi ini menekankan bahwa pembangunan infrastruktur dasar belum merata, dan masih ada jutaan keluarga yang hidup dalam kondisi jauh dari standar layak.

Dari segi pemerintahan, perkembangan demokrasi dan desentralisasi patut dicermati. Jumlah provinsi kini 38, meningkat dari hanya 7 provinsi pada awal kemerdekaan. Indeks Demokrasi Indonesia pada 2024 mencapai 79,81, naik tipis dari tahun sebelumnya. Peningkatan kapasitas lembaga demokrasi memberi sinyal positif, tetapi penurunan aspek kebebasan sipil dan kesetaraan menjadi catatan kritis. Indeks Perilaku Anti Korupsi yang relatif stagnan juga memperlihatkan tantangan dalam membangun tata kelola yang bersih. Dengan demikian, penguatan institusi menjadi agenda penting ke depan.

Ketimpangan gender turut menjadi perhatian. Indeks ketimpangan gender pada 2024 berada di angka 0,421, menurun dari tahun sebelumnya. Artinya ada kemajuan dalam hal akses perempuan terhadap pendidikan, kesehatan, dan partisipasi ekonomi. Namun masih banyak pekerjaan rumah, seperti angka perkawinan anak, partisipasi perempuan dalam angkatan kerja, serta kesenjangan upah. Hal ini memperlihatkan bahwa kesetaraan bukan hanya soal hak, melainkan juga kunci untuk mendorong produktivitas nasional.

Jika ditarik dalam perspektif jangka panjang, delapan puluh tahun perjalanan Indonesia dapat dibagi dalam tiga fase besar. Fase pertama adalah masa bertahan hidup (1945–1960), di mana fokus utama adalah menjaga kedaulatan dan membangun fondasi negara. Fase kedua adalah masa pembangunan ekonomi (1970–1990), ditandai dengan industrialisasi, pembangunan infrastruktur dasar, dan penurunan angka kemiskinan. Fase ketiga adalah masa konsolidasi demokrasi dan globalisasi (2000–sekarang), dengan penekanan pada desentralisasi, peningkatan kualitas SDM, serta integrasi ke ekonomi global.

Kini, Indonesia memasuki fase baru menuju 2045, yang digadang sebagai era Indonesia Emas. Data menunjukkan bahwa untuk mewujudkan cita-cita itu, beberapa agenda krusial harus dipenuhi. Pertama, memastikan pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Kedua, mengatasi ketimpangan antardaerah melalui distribusi sumber daya yang adil. Ketiga, menyiapkan sistem kesehatan dan pendidikan yang adaptif terhadap perubahan demografi. Keempat, memperkuat tata kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel.

Delapan puluh tahun kemerdekaan bukan sekadar perayaan, melainkan momentum refleksi. Angka-angka yang tercatat bukan hanya statistik kering, tetapi representasi nyata dari pencapaian dan tantangan bangsa. Setiap persen pertumbuhan, setiap penurunan angka kemiskinan, setiap tambahan tahun harapan hidup, semuanya adalah cermin dari kerja keras kolektif bangsa ini.

Indonesia kini berada di persimpangan jalan. Dengan capaian yang ada, negeri ini memiliki modal besar untuk melangkah menuju abad kemerdekaan berikutnya. Namun, tanpa perbaikan dalam hal pemerataan, kualitas SDM, dan tata kelola, cita-cita Indonesia Emas 2045 akan sulit diwujudkan. Perjalanan panjang ini menunjukkan bahwa meskipun jalan sudah ditempuh sejauh ini, pekerjaan besar masih menanti di depan.