Menggerakkan Ekonomi, Menguatkan Rakyat: Strategi Delapan Program Akselerasi 2025

0
967
Program Padat Karya
Program padat karya. FOTO: PUPR

(Vibizmedia-Kolom) Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir memang menunjukkan tren positif. Angka-angka makro terlihat cukup menjanjikan, namun di balik itu tersimpan persoalan klasik yang belum tuntas. Pertumbuhan tersebut belum sepenuhnya merata, bahkan masih sangat timpang antara Jawa dan luar Jawa. Aktivitas ekonomi nasional masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, sementara kawasan timur Indonesia, meski kaya sumber daya alam, belum menikmati manfaat pembangunan secara signifikan.

Pertumbuhan dan Kontribusi PDRB
Sumber: BPS, Februari 2025

Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 ini, Pulau Jawa menyumbang 57,02 % dari total Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Masih terkonsentrasi di Jawa, dan terjadi ketimpangan wilayah. Sementara diluar Jawa, Maluku dan Papua mencatat pertumbuhan tinggi 7,81 persen, namun kontribusinya terhadap ekonomi nasional masih kecil, hanya 2,69 persen. Demikian juga halnya dengan Kalimantan, kontribusinya relatif terbatas, tetapi pertumbuhannya didorong hilirisasi tambang, perkebunan, serta pembangunan IKN. Tantangannya adalah bagaimana pemerataan ini bisa diwujudkan, sehingga wilayah luar Jawa tidak lagi sekadar penyedia komoditas mentah, melainkan juga menjadi pusat penciptaan nilai tambah.

Tantangan

Selain soal ketimpangan wilayah, struktur ekonomi Indonesia juga menghadapi kerentanan lain, ketergantungan pada komoditas mentah. Batu bara, kelapa sawit, karet, hingga nikel masih menjadi andalan ekspor, sementara sektor manufaktur bernilai tambah tinggi belum berkembang optimal. Akibatnya, laju ekonomi kerap bergantung pada naik-turunnya harga komoditas global, membuat fondasi pertumbuhan rapuh dan berisiko stagnasi dalam jebakan negara berpendapatan menengah.

Salah satu tantangan utama pembangunan nasional adalah kesenjangan antarwilayah. Kawasan timur Indonesia yang kaya sumber daya alam masih minim kontribusi akibat keterbatasan infrastruktur, mahalnya logistik, dan rendahnya investasi. Akibatnya, pertumbuhan tetap terpusat di Jawa.

Di sisi lain, struktur ekonomi Indonesia masih rentan karena bergantung pada ekspor komoditas mentah seperti batu bara, CPO, dan nikel. Ketergantungan ini membuat perekonomian mudah terguncang fluktuasi harga global, sehingga transformasi menuju basis industri bernilai tambah menjadi kebutuhan mendesak.

Untuk menjawab tantangan kesenjangan wilayah dan ketergantungan pada komoditas mentah, pemerintah merancang Delapan Program Akselerasi 2025 dan telah diluncurkan pada 15 September 2025 lalu oleh Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga. Program ini bukan hanya respons jangka pendek, melainkan langkah sistematis untuk membangun ekonomi yang lebih merata, berdaya saing, dan bertransformasi menuju struktur baru.

Delapan Program Akselerasi 2025: Manfaat untuk Semua Lapisan Masyarakat

8 Program Akselerasi 2025
Sumber: Kementerian Sosial

Kedelapan program ini merupakan satu paket strategi nasional untuk memperkuat perlindungan sosial, meningkatkan kualitas tenaga kerja, sekaligus mempercepat transformasi struktural ekonomi Indonesia agar pertumbuhan lebih inklusif, merata, dan berkelanjutan. Program ini lintas generasi mulai dari anak-anak hingga lansia, semua ada manfaatnya walau dengan fokus yang berbeda.

Program magang sebelumnya sudah ada (kampus merdeka, prakerja), tapi serapan mahasiswa ke industri besar masih terbatas. Banyak perusahaan enggan terima magang karena dianggap biaya tambahan. Untuk itu, mahasiswa tingkat akhir bisa ikut Program Magang Nasional di pabrik otomotif atau perusahaan digital, sehingga setelah lulus mereka tidak bingung mencari kerja karena sudah punya pengalaman nyata.

Cakupan BPJS BPU (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial untuk Pekerja Bukan Penerima Upah) memang terus ditambah, tapi masih banyak pekerja informal yang belum mau atau masih enggan daftar karena iuran dirasa mahal. Bantuan pangan masih sering bermasalah di distribusi alias salah sasaran, stok beras mahal, data DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) belum sepenuhnya akurat. Untuk itu, nelayan, petani, sopir dan pedagang kecil yang biasanya tidak terjangkau BPJS, kini bisa mendapat Subsidi BPU, sehingga ketika sakit atau kecelakaan tetap punya jaminan kesehatan.

FLPP memang jalan, tapi backlog perumahan lebih dari 12 juta unit. Banyak MBR (masyarakat berpenghasilan rendah) tidak lolos BI checking (karena penghasilan tidak tetap). Bagi keluarga muda dengan penghasilan pas-pasan bisa punya rumah layak berkat Subsidi Perumahan Rakyat, alih-alih terus mengontrak seumur hidup.

Sedangkan untuk warga desa terpencil yang sedang sepi kerja bisa ikut Program Padat Karya Produktif membangun jalan desa atau irigasi kecil, sehingga ada penghasilan tambahan sekaligus fasilitas publik lebih baik. Program ini biasanya jadi “shock absorber” ketika ekonomi lesu. Tapi output produktif sering rendah, misalnya jalan atau irigasi cepat rusak karena kualitas seadanya.

Untuk karyawan hotel dan pemandu wisata di destinasi seperti Labuan Bajo atau Wakatobi dapat insentif lewat PPh 21 Pariwisata, sehingga sektor pariwisata makin ramai dan membuka banyak lapangan kerja. Pariwisata memang bangkit, tapi ketergantungan tinggi pada turis asing dan lokasi populer saja (Bali, Labuan Bajo). Destinasi lain belum terasa.

Efektif menjaga konsumsi masyarakat miskin. Tapi, harga pangan tetap fluktuatif, impor beras masih tinggi. Jadi bantuan sifatnya jangka pendek, bukan solusi struktural. Masyarakat miskin kota tetap bisa membeli beras dengan harga terjangkau karena ada Bantuan Pangan Langsung.

Investor kecil dan UMKM tidak lagi repot mengurus izin usaha berbulan-bulan, karena ada OSS (Online Single Submission) yang bisa online, cepat, dan murah. Pada prakteknya OSS sudah ada, tapi UMKM banyak yang gaptek atau tidak tahu cara pakai. Masih sering butuh “calo izin” di lapangan.

Kota menengah di luar Jawa seperti Kupang atau Palu bisa berkembang jadi pusat ekonomi baru berkat Program Perkotaan Berkelanjutan, lengkap dengan infrastruktur transportasi dan digital. Realitanya masih kekurangan investor. Infrastruktur memang dibangun, tapi sering tidak terhubung dengan pusat ekonomi.

Harapan di Balik Akselerasi

Pemerintah menegaskan bahwa Delapan Program Akselerasi 2025 tidak dimaksudkan untuk secara instan menggantikan peran komoditas dalam perekonomian nasional. Sebaliknya, program ini diarahkan untuk menciptakan jalur alternatif pertumbuhan yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Fokusnya ada pada pengembangan manufaktur, digital, pariwisata, serta UMKM modern sebagai pilar baru ekonomi, dengan harapan program strategis ini berdampak langsung terhadap penyerapan tenaga kerja di Indonesia, ungkap Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pada pertengahan September lalu kepada media.

Delapan Program Akselerasi 2025 memang lahir sebagai jawaban atas ketimpangan wilayah dan ketergantungan komoditas yang terlalu lama membayangi ekonomi Indonesia. Namun, tantangan terbesarnya justru terletak pada implementasi. Tanpa keberanian memangkas birokrasi, menyatukan ego sektoral, dan menjamin keberlanjutan politik lintas pemerintahan, program ini hanya akan menjadi deretan slogan indah tanpa dampak nyata.

Di sisi lain, harapan besar terbentang. Target akselerasi pertumbuhan ekonomi nasional 5,5 – 6,0% pada tahun 2025. Penciptaan lapangan kerja baru hingga 4 juta orang per tahun, angka kemiskinan nasional turun menjadi 7,0%, gini ratio menjadi 0,375, kota menengah di luar Jawa ditargetkan tumbuh lebih cepat, mendorong porsi kontribusi luar Jawa ke PDB nasional naik menjadi 37–38%.

Jika konsistensi dijaga, akselerasi 2025 bisa menjadi titik balik penting, membawa Indonesia keluar dari middle-income trap. Program ini bukan sekadar proyek teknis, melainkan momentum berharga untuk menyatukan pertumbuhan ekonomi dengan kesejahteraan rakyat. Sebuah kesempatan langka yang tidak boleh disia-siakan, semoga…