
(Vibizmedia – Bandung) Aroma kopi yang menggoda tercium dari secangkir minuman hitam tanpa gula yang disajikan dalam gelas kaca di sebuah kedai bernama Ecovil, di kaki Gunung Kamojang, Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Kopi itu bernama Canaya — bukan nama orang, melainkan produk hasil kreasi anak muda bernama Moh Ramdan Reza, atau akrab disapa Deden, yang mendedikasikan hidupnya untuk dunia kopi.
Canaya menjadi unik karena proses pengeringannya tidak seperti kopi pada umumnya. Deden menggunakan Geothermal Coffee Process (GCP) — metode yang memanfaatkan uap buangan dari steam trap panas bumi sebagai sumber panas alternatif. Inovasi ini lahir dari program tanggung jawab sosial (CSR) PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) Area Kamojang sejak tahun 2018, dan menjadi yang pertama di dunia.
Nama “Canaya” sendiri diambil dari bahasa Sunda: can berarti “belum” dan aya berarti “ada” — menggambarkan sesuatu yang “belum ada”. Deden menamainya demikian untuk menegaskan keunikan metode pengeringan kopi berbasis energi panas bumi yang hanya ditemukan di Kamojang.
“Belum ada kopi yang diolah dengan metode pengeringan geotermal seperti ini,” ujar Deden bangga.
Sejak diperkenalkan ke publik pada 2023, kopi Canaya mulai menembus pasar internasional. Produk ini dipamerkan dalam ajang World of Coffee (WoC) Jakarta 2025, pameran kopi dunia yang pertama kali diadakan di Indonesia. Dari ajang itu, sejumlah pembeli asal Jerman, Jepang, Korea Selatan, Arab Saudi, dan Kolombia menunjukkan ketertarikan tinggi.
Hasilnya, Deden menerima pesanan 10 ton kopi arabika dari Jerman dan 5 ton dari Jepang, dengan harga jual mencapai Rp450 ribu per kilogram untuk kopi siap saji.
Meski demikian, Deden mengaku belum mampu memenuhi semua permintaan ekspor karena keterbatasan modal dan kapasitas produksi. Saat ini, ia baru bisa memproduksi sekitar 20 ton kopi hasil pengeringan geotermal setiap musim panen, padahal potensi produksi kopi arabika di Kamojang mencapai 1.500 ton ceri kopi dari lahan seluas 225 hektare.
“Kita baru bisa menyerap sekitar 15 persen, padahal permintaan bisa mencapai 40–50 ton,” jelasnya.
Keunggulan metode pengeringan panas bumi tidak hanya pada efisiensi, tapi juga pada kualitas rasa. Jika pengeringan konvensional membutuhkan waktu hingga sebulan dan sangat bergantung pada cuaca, metode geotermal hanya memerlukan 8–10 hari dengan suhu yang terkontrol. Hal ini menghasilkan cita rasa yang lebih konsisten dan khas.
“Kalau pembeli datang lagi, artinya rasa kopi kita konsisten dan enak,” kata Deden tersenyum.
Community Development Officer PGE Kamojang, Reyhana Rashellasida, menambahkan bahwa pihaknya siap mendukung pengembangan kopi Canaya hingga ke pasar global. Ekspor perdana ke Jerman dan Jepang menjadi bukti bahwa produk tersebut sudah memenuhi standar internasional. Selain itu, inovasi pengolahan kopi geotermal ini juga telah memperoleh Sertifikat Paten Sederhana dari Kementerian Hukum dan HAM pada tahun 2024.
Kini, kopi Canaya bukan sekadar minuman, melainkan simbol inovasi anak muda daerah yang mampu memadukan potensi alam, teknologi, dan kearifan lokal. Dari uap panas bumi di Kamojang, lahir cita rasa kopi yang belum ada tandingannya di dunia.