(Vibizmedia – Kolom) Ketika OpenAI merilis ChatGPT kepada publik, banyak yang menganggapnya sebagai terobosan dalam interaksi manusia dan mesin. Namun, di balik kemampuan berbicaranya yang alami dan pengetahuannya yang luas, tersembunyi potensi ancaman yang bisa mengguncang tatanan industri ritel global. Dalam waktu yang relatif singkat, ChatGPT telah berubah dari alat percakapan menjadi asisten digital yang mampu mengarahkan keputusan belanja, membandingkan produk, bahkan merekomendasikan pilihan dengan presisi yang sebelumnya hanya bisa dilakukan oleh manusia. Dan di sinilah masalahnya dimulai: kekuasaan atas pengalaman berbelanja online perlahan bergeser, bukan lagi di tangan perusahaan ritel, melainkan di tangan algoritme percakapan.
Bagi perusahaan seperti Amazon, Walmart, atau Sephora yang telah berinvestasi miliaran dolar untuk membangun ekosistem digital yang menawan, ChatGPT adalah paradoks. Di satu sisi, teknologi ini membuka peluang kolaborasi baru—mereka bisa menjadikannya sebagai antarmuka interaktif untuk pelanggan. Namun di sisi lain, ChatGPT berpotensi menjadi gerbang utama ke dunia belanja, memotong jalur langsung antara merek dan konsumen. Ketika konsumen mulai bertanya “ChatGPT, produk apa yang terbaik untuk kulit sensitif?” atau “Di mana saya bisa beli laptop dengan harga termurah?” maka kekuatan merek, tampilan situs web, dan strategi pemasaran digital yang selama ini diandalkan perusahaan bisa dengan mudah terpinggirkan.
Kehadiran ChatGPT menciptakan apa yang dapat disebut sebagai “lapisan meta” dalam ekonomi digital—lapisan yang berdiri di atas semua situs e-commerce dan berpotensi mengontrol arus informasi antara penjual dan pembeli. Selama dua dekade terakhir, perusahaan ritel digital berlomba-lomba menguasai perhatian konsumen: mulai dari optimisasi mesin pencari, iklan berbayar, hingga pengalaman pengguna yang personal. Namun kini, perhatian itu bisa diambil alih oleh chatbot yang menjadi filter utama sebelum seseorang benar-benar mengklik situs atau aplikasi tertentu.
Bayangkan sebuah skenario yang semakin mungkin terjadi: seorang konsumen membuka ChatGPT bukan untuk membaca ulasan di Amazon atau menelusuri katalog produk, melainkan untuk meminta rekomendasi personal. ChatGPT kemudian menyarankan tiga produk dari berbagai toko online, lengkap dengan alasan, ulasan, dan bahkan ringkasan kelebihan serta kekurangannya. Dalam konteks ini, loyalitas terhadap merek atau platform semakin kabur. Konsumen tidak lagi berinteraksi dengan toko, melainkan dengan model bahasa yang menengahi hubungan itu.
Fenomena ini mengingatkan pada bagaimana Google dulu mengubah perilaku konsumen. Sebelum Google, orang mengunjungi situs ritel secara langsung. Setelah Google, mereka mencari “sepatu olahraga terbaik” dan mengikuti hasil yang muncul di halaman pertama. Kini, ChatGPT membawa perubahan serupa namun lebih dalam: ia bukan hanya menampilkan daftar hasil, melainkan memberikan jawaban yang terasa personal dan final. Bagi banyak pengguna, itu sudah cukup. Mereka tak perlu menelusuri lebih jauh. Dan jika ChatGPT menjadi pintu masuk utama untuk aktivitas belanja, perusahaan ritel kehilangan posisi strategisnya sebagai pengendali narasi pengalaman belanja.
Implikasinya tidak kecil. Kontrol atas pengalaman pengguna adalah inti dari bisnis ritel modern. Situs web yang didesain dengan cermat, rekomendasi algoritmik yang disesuaikan dengan profil pengguna, hingga strategi cross-selling dan upselling, semuanya bergantung pada kemampuan merek untuk mengelola interaksi dengan pelanggan. Namun ketika ChatGPT menjadi mediator utama, strategi itu menjadi tidak relevan. Chatbot tidak menampilkan desain situs, tidak menonjolkan penempatan produk, dan tidak menampilkan iklan banner yang selama ini menjadi tulang punggung monetisasi digital. Ia hanya memberikan jawaban.
Dalam jangka panjang, ini dapat mengubah cara konsumen berinteraksi dengan produk. Konsumen akan semakin terbiasa mempercayai saran yang diberikan oleh model AI daripada hasil pencarian atau bahkan iklan. Dalam dunia yang didominasi oleh rekomendasi berbasis data, kepercayaan menjadi mata uang baru. Dan siapa yang lebih dipercaya—merek yang beriklan atau asisten digital yang tampak netral dan obyektif? Banyak pengguna akan memilih yang kedua.
Kondisi ini mirip dengan apa yang pernah terjadi di industri media saat Google News dan agregator konten muncul. Penerbit kehilangan kontrol atas distribusi dan perhatian pembaca. Sekarang, ancaman yang sama menghantui dunia ritel. Bedanya, kali ini yang menjadi agregator bukan mesin pencari, melainkan model percakapan yang bisa berdialog dengan pengguna dan memahami konteks emosional mereka. Ini adalah bentuk kekuasaan baru: bukan hanya mengarahkan lalu lintas, tetapi membentuk persepsi dan keputusan.
Tentu saja, perusahaan besar mencoba melawan dengan cara mereka sendiri. Amazon meluncurkan asisten AI berbasis Alexa yang diperkuat kecerdasan generatif. Shopify bereksperimen dengan integrasi AI yang membantu pedagang kecil menulis deskripsi produk dan berkomunikasi dengan pelanggan. Namun langkah-langkah ini terasa defensif, bukan ofensif. Mereka mencoba mempertahankan wilayah yang semakin dikuasai oleh entitas yang tak lagi bergantung pada merek, melainkan pada data lintas sumber.
Sementara itu, OpenAI—dan mitranya seperti Microsoft—memiliki posisi strategis yang luar biasa. Dengan mengintegrasikan ChatGPT ke mesin pencari Bing dan bahkan ke browser, mereka berpotensi menempatkan AI percakapan sebagai antarmuka universal internet. Jika ritel online adalah arena pertempuran untuk perhatian konsumen, maka ChatGPT adalah benteng baru di gerbang depan. Siapa pun yang menguasai gerbang ini, menguasai arah arus belanja global.
Ada pula dilema lain: netralitas. Apakah ChatGPT benar-benar netral dalam memberikan rekomendasi? Model AI besar seperti ini dilatih dengan data yang luas, tetapi mereka juga bisa dipengaruhi oleh kemitraan komersial. Jika suatu hari ChatGPT merekomendasikan produk tertentu karena kesepakatan bisnis, pengguna mungkin tidak akan pernah tahu. Ketika lapisan informasi dikendalikan oleh sistem yang tidak transparan, kepercayaan publik menjadi rapuh. Ini menciptakan risiko baru bagi konsumen, sekaligus peluang bagi perusahaan yang bisa menavigasi lanskap etika ini dengan hati-hati.
Dari perspektif ekonomi digital, pergeseran ini juga berarti redistribusi nilai. Selama ini, perusahaan ritel mendapatkan nilai dari interaksi langsung dengan pelanggan—mereka mengumpulkan data, membangun profil, dan memanfaatkannya untuk personalisasi serta iklan. Namun bila ChatGPT menjadi penghubung utama, data itu akan mengalir ke pihak ketiga. Dengan kata lain, OpenAI (atau penyedia AI lainnya) akan menjadi pemegang data paling berharga tentang niat belanja konsumen global. Dan dalam ekonomi modern, data adalah sumber kekuatan sejati.
Lalu bagaimana seharusnya para peritel merespons? Menolak teknologi ini bukan pilihan realistis. Sejarah menunjukkan bahwa resistensi terhadap inovasi hanya mempercepat ketertinggalan. Perusahaan media yang menolak beradaptasi dengan Google akhirnya kehilangan pembacanya. Demikian pula, peritel yang enggan menyesuaikan diri dengan ekosistem AI akan kehilangan relevansinya. Jalan yang lebih masuk akal adalah kolaborasi strategis—menemukan cara agar kehadiran ChatGPT bisa memperkuat, bukan menggantikan, identitas merek.
Misalnya, perusahaan bisa memanfaatkan API ChatGPT untuk membangun asisten belanja mereka sendiri, yang diprogram dengan nilai dan gaya merek spesifik. Atau mereka bisa bekerja sama untuk memastikan produk mereka muncul dalam rekomendasi dengan data yang akurat dan etis. Pendekatan ini tidak hanya menjaga keterlibatan pelanggan, tetapi juga menegaskan posisi merek dalam ekosistem AI yang lebih luas.
Namun bahkan dengan strategi kolaboratif sekalipun, dinamika kekuasaan sudah bergeser. Di masa depan, konsumen tidak lagi mencari toko—mereka mencari jawaban. Dan siapa yang memberikan jawaban paling cepat, paling personal, dan paling dipercaya, dialah yang akan menguasai pasar. Dalam konteks itu, ChatGPT berada selangkah lebih depan.
Perubahan ini menandai era baru dalam hubungan antara manusia, merek, dan informasi. Kita sedang menyaksikan bagaimana perantara digital berevolusi dari mesin pencari menjadi mitra percakapan yang memediasi seluruh proses keputusan. Dan seperti yang terjadi pada industri media dua dekade lalu, peritel kini harus belajar hidup dalam dunia di mana kontrol bukan lagi milik mereka sepenuhnya.
Apakah ini berarti masa depan ritel akan dikuasai AI? Tidak sepenuhnya. Pengalaman belanja tetap memiliki dimensi emosional dan sosial yang tidak mudah direplikasi oleh algoritme. Namun, tahap awal perjalanan pelanggan—dari pencarian ide hingga rekomendasi awal—akan semakin bergantung pada kecerdasan buatan. Di situlah keputusan utama terbentuk. Siapa pun yang mengendalikan tahap itu, mengendalikan masa depan ritel.
ChatGPT mungkin tidak menjual produk apa pun, tetapi ia menjual sesuatu yang lebih berharga: kepercayaan. Dan di dunia digital, kepercayaan adalah mata uang tertinggi. Ketika konsumen mempercayai saran ChatGPT lebih dari iklan atau ulasan, perusahaan ritel harus bekerja lebih keras untuk mempertahankan pengaruhnya. Mereka tak hanya bersaing antar sesama peritel, tetapi kini juga dengan entitas yang mengendalikan cara orang berpikir dan memilih.