Humas Pemerintah Diminta Perkuat Monitoring Internal untuk Jaga Kredibilitas

0
58
Dosen Ilmu Komunikasi LSPR Bali, Diah Desvi Arina, menjadi salah satu narasumber dalam Forum Media Monitoring (FoMo) yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemenkomdigi) di Bali Sunset Road Convention Center, Rabu (29/10/2025). (Foto: Infopublik.id)

(Vibizmedia – Bali) Humas pemerintah tidak hanya perlu memantau pemberitaan eksternal, tetapi juga wajib melakukan monitoring terhadap kanal komunikasi internal yang mereka kelola. Hal tersebut disampaikan Dosen Ilmu Komunikasi LSPR Bali, Diah Desvi Arina, dalam kegiatan Forum Media Monitoring (FoMo) yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) di Bali Sunset Road Convention Center, Rabu (29/10/2025).

Menurut Diah, pemantauan internal sering kali terabaikan, padahal menjadi fondasi penting dalam menjaga kredibilitas lembaga.

“Sebelum menilai media luar, pastikan dulu platform internal kita—seperti media sosial atau laman resmi—sudah layak dikunjungi. Ibarat rumah, kita harus merapikan bagian dalam sebelum menerima tamu,” ujarnya.

Ia menjelaskan, monitoring ideal dilakukan dua arah: internal dan eksternal. Pemantauan internal membantu lembaga memahami kekuatan dan kelemahan komunikasinya, sementara pemantauan eksternal penting untuk membaca persepsi publik serta pemberitaan media terhadap institusi.

Lebih lanjut, Diah menekankan bahwa pembentukan citra positif pemerintah tidak dapat dibebankan sepenuhnya pada bagian humas. Humas berperan sebagai pengelola informasi publik, sedangkan pelaksanaan kebijakan dan penyediaan data merupakan tanggung jawab seluruh unit kerja.

“Humas bukan penyelesai masalah, melainkan pengelola informasi agar tersampaikan dengan bijak. Jika semua pihak berkoordinasi dengan baik, citra positif akan terbentuk secara alami,” jelasnya.

Sebagai contoh, Diah menyoroti pentingnya koordinasi cepat antara humas dan dinas teknis saat terjadi bencana. Informasi yang disampaikan ke publik, katanya, harus akurat dan mengandung empati.

“Dalam komunikasi bencana, yang utama adalah empati. Masyarakat tidak butuh angka bantuan, tapi butuh kehadiran dan kepedulian pemerintah,” ujarnya.

Selain itu, komunikasi internal yang cepat juga penting untuk mencegah penyebaran informasi keliru di masa krisis. Diah menilai, pimpinan instansi perlu berhati-hati dalam memberi keterangan kepada media.

“Hindari menjawab ‘tidak tahu’. Gunakan pernyataan diplomatis seperti ‘Kami masih menunggu data resmi, namun berharap tidak banyak korban’. Kalimat seperti ini tetap informatif, empatik, dan bisa dikutip media,” tambahnya.

Diah menutup dengan menekankan pentingnya pelatihan komunikasi strategis bagi seluruh pejabat publik, bukan hanya tim humas.

“Kadang data sudah benar, tapi penyampaiannya gugup atau tidak tepat, akhirnya menimbulkan salah persepsi. Komunikasi bukan hanya soal isi, tapi juga cara dan citra personal. Jika personal branding pimpinan sudah baik, kepercayaan publik akan tumbuh dengan sendirinya,” pungkas Diah Desvi Arina.