Menakar Kesejahteraan dari Meja Makan

Rata-rata pengeluaran per kapita masyarakat Indonesia kini mencapai Rp1.569.088 per bulan—naik 4,57 persen dibanding Maret 2024. Di atas kertas, angka itu tampak menenangkan. Ia menandakan bahwa, di tengah tekanan harga pangan dan ketidakpastian ekonomi global, roda konsumsi domestik masih berputar. Namun, statistik tidak selalu berbicara dalam nada optimistis. Di balik kenaikan itu, terdapat kesenjangan yang terus menganga antara kota dan desa, antara kelompok kaya dan miskin, antara mereka yang bisa merencanakan masa depan dan mereka yang hanya berjuang untuk bertahan hingga akhir bulan.

0
52
kesejahteraan Makan Bergizi Gratis
Makan bergizi gratis di Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur. FOTO: BIRO PERS SETPRES

(Vibizmedia – Kolom) Di balik setiap rata-rata kesejahteraan nasional ada dapur yang tidak mengepul di pagi hari, warung yang menutup lebih cepat karena pelanggan berkurang, dan anak-anak yang belajar di bawah cahaya lampu hemat energi. Ketika Badan Pusat Statistik (BPS) merilis Ringkasan Eksekutif Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Indonesia Maret 2025, publik disuguhi serangkaian tabel, grafik, dan persentase. Namun, di luar semua itu, ada satu pesan yang lebih halus, cara kita membelanjakan uang mencerminkan siapa kita sebagai bangsa.

Rata-rata pengeluaran per kapita masyarakat Indonesia kini mencapai Rp1.569.088 per bulan—naik 4,57 persen dibanding Maret 2024. Di atas kertas, angka itu tampak menenangkan. Ia menandakan bahwa, di tengah tekanan harga pangan dan ketidakpastian ekonomi global, roda konsumsi domestik masih berputar. Namun, statistik tidak selalu berbicara dalam nada optimistis. Di balik kenaikan itu, terdapat kesenjangan yang terus menganga antara kota dan desa, antara kelompok kaya dan miskin, antara mereka yang bisa merencanakan masa depan dan mereka yang hanya berjuang untuk bertahan hingga akhir bulan.

Pangan, Pangkal Kehidupan

BPS mencatat, pengeluaran untuk makanan kini mencapai Rp775.516 per kapita per bulan, atau sekitar 49,42 persen dari total pengeluaran. Untuk pertama kalinya dalam lima tahun terakhir, pangsa pengeluaran pangan turun di bawah setengah total. Angka ini sering dibaca sebagai tanda positif—bahwa masyarakat mulai beranjak dari sekadar memenuhi kebutuhan dasar menuju peningkatan kualitas hidup. Namun di banyak tempat, pergeseran itu bukan karena perut sudah kenyang, melainkan karena kebutuhan lain tumbuh lebih cepat.

Keluarga-keluarga kecil di perdesaan masih menempatkan pangan sebagai pusat kehidupan. Harga beras, minyak goreng, dan daging ayam menjadi penentu kestabilan ekonomi rumah tangga. Setiap kali harga naik seribu rupiah, mereka harus menata ulang prioritas: menunda membeli pakaian baru, mengurangi frekuensi makan daging, atau menghemat listrik. Di kota, cerita lain berlangsung. Masyarakat urban menghabiskan hampir separuh pendapatannya untuk biaya tempat tinggal, transportasi, dan komunikasi. Makan tetap penting, tetapi bukan lagi satu-satunya ukuran kesejahteraan.

Turunnya proporsi pengeluaran pangan memang menandakan kemajuan, tetapi juga mengandung paradoks. Semakin kecil porsi pangan, semakin tinggi pengeluaran untuk hal-hal lain yang tak kalah mendesak—biaya pendidikan, layanan kesehatan, cicilan rumah, hingga koneksi digital. Inilah wajah baru konsumsi Indonesia: dari dapur hingga dunia maya, dari kebutuhan dasar menuju aspirasi hidup modern.

Ayam Ras dan Cerita Protein Rakyat

Salah satu tema yang disoroti BPS tahun ini adalah pengeluaran untuk daging ayam ras. Komoditas ini menjadi barometer sederhana bagi kesejahteraan. Ayam ras adalah protein rakyat—murah, mudah diperoleh, dan menjadi lauk utama di hampir setiap rumah. Dari data BPS, pengeluaran per kapita untuk ayam ras meningkat dibanding 2024, baik di kota maupun desa. Namun, di balik peningkatan itu, terdapat ketimpangan yang menarik konsumsi ayam di kota dua kali lipat lebih besar daripada di desa.

Pergeseran ini menyiratkan sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar perbedaan menu. Ia menggambarkan akses ekonomi, logistik, dan pola makan. Di daerah perkotaan, ayam goreng bisa dipesan lewat aplikasi, disajikan dalam kotak rapi, dan diantar ke pintu rumah. Di desa, ayam adalah hasil dari pasar tradisional atau kandang kecil di belakang rumah.

Kenaikan harga pakan dalam dua tahun terakhir membuat banyak peternak kecil tertekan. Mereka tidak bisa menaikkan harga jual karena daya beli masyarakat terbatas. Di sisi lain, permintaan tetap tinggi karena ayam menjadi satu-satunya sumber protein yang masih terjangkau. Di sinilah dinamika ekonomi mikro dan makro bertemu: keseimbangan antara kebutuhan rakyat dan struktur biaya produksi.

Kota dan Desa, Dua Dunia yang Saling Menyilang

Perbedaan antara kota dan desa dalam data BPS tidak sekadar angka. Rata-rata pengeluaran per kapita di perkotaan mencapai Rp1.811.698 per bulan, sedangkan di perdesaan hanya Rp1.212.690. Selisih itu lebih dari sekadar nominal; ia mencerminkan dua ritme hidup yang berbeda. Di kota, uang sebesar itu mungkin hanya cukup untuk membayar sewa kamar dan makan sederhana. Di desa, jumlah yang sama bisa menopang hidup keluarga kecil selama sebulan penuh.

Namun perbedaan utama terletak pada pola pengeluaran. Di kota, hanya 46,04 persen pengeluaran digunakan untuk pangan; di desa, 56,85 persen. Ini menandakan bahwa warga desa masih bergulat dengan kebutuhan dasar. Semakin besar porsi pengeluaran pangan, semakin rentan pula ketahanan ekonomi mereka terhadap gejolak harga.

Ketika beras naik, masyarakat desa paling cepat merasakan dampaknya. Sementara di kota, perubahan harga pangan sering kali terserap oleh variabel lain—diskon aplikasi, promosi pasar modern, atau substitusi ke produk lain. Tetapi dalam kedua ruang itu, konsumsi tetap menjadi nadi utama perekonomian nasional.

Kalori, Protein, dan Keadilan Gizi

BPS juga mencatat rata-rata konsumsi kalori dan protein masyarakat Indonesia. Secara nasional, angka konsumsi kalori sudah mendekati kecukupan gizi. Namun, jika dirinci menurut kelompok pendapatan, ketimpangannya mencolok. Penduduk di kuintil terbawah hanya mengonsumsi sekitar 80 persen dari angka kecukupan gizi harian, sementara kuintil teratas mencapai 120 persen. Ini bukan sekadar persoalan makanan, tetapi juga cerminan ketimpangan akses terhadap kesejahteraan.

Di banyak daerah, keluarga masih bergantung pada karbohidrat sebagai sumber energi utama. Konsumsi protein hewani meningkat, tetapi belum merata. Sementara itu, kelompok berpendapatan tinggi menikmati makanan lebih bervariasi—dari daging, ikan, hingga makanan olahan. Akibatnya, kesenjangan gizi muncul di tengah pertumbuhan ekonomi.

Pertumbuhan konsumsi yang tidak seimbang bisa menimbulkan paradoks: negara tampak makmur di atas kertas, tetapi sebagian warganya tetap hidup dalam pola makan yang monoton. Di sinilah pentingnya membaca data bukan hanya dari rerata nasional, melainkan dari ketimpangan di bawahnya.

Digitalisasi dan Perubahan Makna Konsumsi

Salah satu bab paling menarik dalam laporan BPS adalah lonjakan pengeluaran untuk komunikasi dan jasa digital. Pengeluaran rumah tangga untuk kategori ini tumbuh paling cepat dibanding sektor lain. Artinya, konektivitas kini menjadi bagian dari kebutuhan dasar, sejajar dengan pangan dan perumahan.

Masyarakat digital Indonesia membentuk pola konsumsi baru: kuota internet menggantikan rokok sebagai pengeluaran rutin; langganan film daring menggantikan hiburan luar rumah; belanja daring menggantikan pasar tradisional bagi sebagian generasi muda. Bahkan di desa, tren ini mulai terasa. Smartphone menjadi alat produksi sekaligus konsumsi—membuka peluang ekonomi baru bagi mereka yang mampu beradaptasi.

Namun, digitalisasi juga menghadirkan bentuk baru ketimpangan. Mereka yang tak memiliki perangkat atau akses internet akan tertinggal dari arus ekonomi modern. Dalam laporan BPS, ketimpangan digital ini tidak diukur secara langsung, tetapi tercermin dalam struktur pengeluaran: semakin tinggi pendapatan, semakin besar porsi dana yang dialokasikan untuk komunikasi dan informasi.

Membaca Kesejahteraan dari Statistik

Kesejahteraan sering kali didefinisikan lewat pendapatan, padahal konsumsi memberi gambaran yang lebih konkret tentang bagaimana orang benar-benar hidup. Pengeluaran mencerminkan pilihan, keterbatasan, dan nilai yang dipegang masyarakat. Ketika BPS mencatat rata-rata pengeluaran per kapita naik, itu berarti masyarakat mengonsumsi lebih banyak barang dan jasa. Tetapi kenaikan tersebut belum tentu berarti peningkatan kualitas hidup bagi semua orang.

Satu hal yang patut diapresiasi adalah peningkatan pengeluaran bukan pangan, terutama untuk pendidikan dan kesehatan. Ini menandakan bahwa masyarakat mulai berinvestasi pada masa depan. Namun di sisi lain, masih ada lebih dari separuh penduduk yang menjadikan pangan sebagai pusat pengeluaran. Mereka belum memiliki ruang untuk mengembangkan kapasitas diri di luar kebutuhan dasar.

Data Susenas yang menjadi dasar laporan BPS menunjukkan bahwa pola konsumsi penduduk Indonesia sedang mengalami transformasi struktural. Pergeseran dari pangan ke non-pangan bukan sekadar fenomena ekonomi, tetapi juga sosial. Ia menunjukkan perubahan nilai dan aspirasi dari kebutuhan untuk bertahan menjadi keinginan untuk berkembang.

Meski angka-angka menunjukkan peningkatan, ketahanan ekonomi rumah tangga tetap rapuh. Sedikit gejolak harga dapat mengguncang stabilitas. BPS mencatat bahwa kelompok berpengeluaran rendah memiliki elastisitas konsumsi yang tinggi—artinya, perubahan kecil pada harga dapat langsung menurunkan konsumsi.

Kondisi ini membuat kebijakan stabilisasi harga pangan tetap menjadi fondasi utama ekonomi domestik. Di sisi lain, data konsumsi juga memberi sinyal bagi pemerintah untuk memperkuat jaring pengaman sosial. Ketika pengeluaran meningkat tapi tidak diiringi dengan kenaikan pendapatan riil, kesejahteraan semu bisa terjadi: masyarakat tampak lebih konsumtif, padahal daya belinya stagnan.

Setiap kali BPS merilis laporan semacam ini, kita diajak melihat cermin sosial bangsa. Dari angka pengeluaran, kita tahu bahwa masyarakat Indonesia kini hidup dalam dua dunia yang saling bersinggungan: dunia pangan dan dunia digital. Di satu sisi, kita masih berbicara tentang harga beras dan ayam; di sisi lain, kita sibuk menghitung paket data dan tagihan daring. Dua kebutuhan ini, meski tampak berbeda, sama-sama mencerminkan cara manusia Indonesia menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.

Namun, di balik seluruh transformasi itu, ada hal yang tak berubah: harapan. Harapan agar anak-anak bisa makan cukup dan bersekolah, agar rumah tetap terang di malam hari, agar hidup esok lebih tenang dari hari ini. Statistik mungkin tak bisa mengukur harapan, tetapi ia dapat menunjukkan seberapa jauh kita telah berjalan menuju kesejahteraan yang lebih merata.

Ketika BPS menulis bahwa pengeluaran bukan pangan kini melampaui pengeluaran pangan, kita sebenarnya sedang membaca tentang bangsa yang sedang tumbuh dewasa. Dari negara agraris menuju masyarakat yang lebih kompleks, dari kebutuhan dasar menuju aspirasi baru. Namun pertumbuhan tanpa pemerataan tetap menyisakan luka: antara mereka yang menikmati kemajuan dan mereka yang masih menunggu giliran.

Di balik rerata Rp1,5 juta per kapita itu, tersimpan kisah tentang daya tahan dan adaptasi. Angka yang tampak kering itu sesungguhnya adalah cermin dari kehidupan sehari-hari: dapur yang berasap, warung yang tetap buka meski pelanggan berkurang, peternak yang menghitung harga pakan, dan anak muda yang mencari nafkah di dunia digital.

Laporan BPS bukan sekadar kumpulan tabel; ia adalah potret sosial tentang bangsa yang terus bergerak. Dan jika dibaca dengan empati, setiap data di dalamnya menjadi bukti kecil bahwa kesejahteraan bukanlah impian kosong. Ia tumbuh perlahan—dari nasi di piring, dari gigitan ayam goreng, dari koneksi internet yang membuka peluang baru.

Mungkin inilah arti sesungguhnya dari konsumsi, bukan hanya tindakan ekonomi, tetapi cara kita menegaskan keberadaan—bahwa di tengah segala keterbatasan, kita masih ingin hidup, belajar, dan berharap. Dan selama harapan itu ada di setiap rumah tangga Indonesia, maka angka-angka dalam laporan statistik itu akan selalu punya makna kemanusiaan yang tidak bisa dihitung oleh rumus apa pun.