Pendaratan Ikan Tradisional di Garis Pantai

0
43
Pendaratan Ikan Tradisional

(Vibizmedia – Kolom) Di sepanjang garis pantai Nusantara, terdapat ruang-ruang kecil yang mungkin tidak pernah masuk dalam peta wisata atau rencana besar pembangunan nasional. Mereka tidak memiliki dermaga beton, tidak dilengkapi kantor administrasi, bahkan tidak memiliki papan nama yang tampak resmi. Namun setiap hari, dari subuh hingga matahari condong ke barat, tempat-tempat sederhana itu dipenuhi aktivitas yang menopang ribuan keluarga. Tempat-tempat inilah yang dalam data nasional disebut sebagai Tempat Pendaratan Ikan Tradisional, sebuah jaringan tak kasat mata yang menghubungkan laut dengan kehidupan darat.

Tahun 2024 mencatat tujuh ratus empat puluh tujuh lokasi yang tersebar di dua puluh sembilan provinsi Indonesia. Sulawesi Tengah berada di puncak daftar dengan seratus delapan puluh lokasi, sebuah angka yang menunjukkan betapa pentingnya perikanan skala kecil bagi provinsi itu. Pada peta statistik, angka-angka tersebut terlihat seperti deretan informasi rutin. Namun di lapangan, setiap titik memiliki dunia kecilnya sendiri—tempat perahu kembali, tempat ikan ditimbang, dan tempat harapan digantungkan dari satu musim ke musim berikutnya.

Di sebuah desa pesisir di Sulawesi Tengah, tempat pendaratan hanya berupa tanah berpasir yang melandai ke laut, dengan sebuah meja kayu dan atap seng seadanya. Setiap pagi, perahu-perahu kecil berskala rumah tangga menepi dengan muatan ikan layang, kembung, tongkol, dan cakalang. Ikan layang, menurut data nasional, menempati posisi tertinggi dengan produksi lebih dari dua puluh enam ribu ton sepanjang tahun. Dari tempat yang sederhana seperti inilah angka itu terkumpul, dari tangan-tangan yang bekerja tanpa banyak alat bantu.

Sebagian besar Tempat Pendaratan Ikan Tradisional tidak memiliki pengelola resmi. Enam puluh satu koma lima delapan persen dari seluruh lokasi berada dalam kategori ini. Keadaan tersebut menciptakan pola kerja yang sepenuhnya bergantung pada kebiasaan komunitas. Nelayan menentukan sendiri posisi menaruh jaring, area menurunkan ikan, hingga cara menimbang hasil tangkap. Tidak ada formulir, tidak ada sistem digital, dan tidak ada administrasi formal. Segala aktivitas berjalan berdasarkan pengalaman dan hubungan sosial yang telah terbentuk selama bertahun-tahun.

Dalam realitas seperti itu, peran tengkulak menjadi dominan. Tahun 2024 mencatat bahwa enam puluh enam koma enam tujuh persen Tempat Pendaratan Ikan Tradisional menjual hasil tangkapan kepada pengumpul. Hubungan antara nelayan dan pengumpul sudah berlangsung lama, sering kali dibangun melalui skema pinjaman kecil, kesediaan membeli ikan kapan pun nelayan tiba, dan kepercayaan yang terbangun dari pertemuan setiap hari. Tentu ada sisi rentannya: harga tidak selalu ideal bagi nelayan. Namun dalam situasi ketika tempat pelelangan ikan resmi berada jauh dan sulit dijangkau, hubungan informal inilah yang menjaga ekonomi berjalan.

Meski fasilitasnya terbatas, Tempat Pendaratan Ikan Tradisional memegang peranan dalam peningkatan produksi tahun 2024. Volume ikan yang didaratkan naik dari sekitar dua ratus dua puluh empat ribu ton menjadi lebih dari dua ratus empat puluh lima ribu ton. Cuaca yang lebih bersahabat di beberapa wilayah, kombinasi musim yang mendukung, serta adaptasi nelayan terhadap pola angin membuat hasil tangkapan meningkat. Triwulan terakhir bahkan menjadi periode paling produktif sepanjang tahun, dengan lebih dari enam puluh tujuh ribu ton ikan didaratkan.

Namun peningkatan ini tidak serta-merta menghapus kenyataan bahwa kehidupan nelayan kecil tetap dihantui ketidakpastian. Cuaca ekstrem dapat datang sewaktu-waktu. Nelayan yang berangkat pagi mungkin kembali dengan ember kosong. Dan di tengah kondisi seperti itu, tempat pendaratan menjadi ruang kontemplasi—tempat nelayan memperbaiki jaring sambil menunggu perubahan cuaca atau sekadar tempat beristirahat sambil berbagi cerita sesama pekerja laut.

Ada suatu sore ketika seorang anak berdiri memandang perahu-perahu yang baru kembali. Ia bertanya kepada ayahnya apakah laut akan tetap memiliki ikan ketika ia dewasa nanti. Pertanyaan itu tidak dijawab oleh statistik, tetapi oleh keheningan yang mengutarakan kekhawatiran sekaligus harapan. Nelayan kecil mungkin tidak menggunakan istilah seperti “keberlanjutan”, tetapi mereka merasakan dampaknya ketika ukuran ikan mengecil, ketika jarak melaut bertambah, dan ketika biaya bahan bakar naik sementara harga ikan tidak selalu mengikuti.

Di tengah semua tantangan, ada muncul inisiatif kecil yang menandakan harapan. Beberapa kelompok nelayan muda mulai mencatat hasil tangkapan mereka dalam gawai sederhana. Mereka mencoba membaca pola musim, memeriksa perubahan harga, dan memperkirakan rencana melaut berdasarkan pencatatan yang mereka lakukan sendiri. Meski tidak semua tempat pendaratan memiliki budaya seperti ini, setiap langkah kecil menunjukkan bahwa perubahan tidak selalu bermula dari kebijakan besar, melainkan dari kesadaran lokal yang tumbuh organik.

Tempat Pendaratan Ikan Tradisional adalah dunia kecil yang menyimpan dinamika besar. Ia menyatukan ekonomi, sosial, alam, dan tradisi dalam satu ruang yang terlihat sederhana tetapi kaya makna. Di tempat-tempat seperti inilah Indonesia pesisir memperlihatkan ketangguhan aslinya: ketangguhan yang tidak selalu muncul dari teknologi canggih, tetapi dari kemampuan beradaptasi, dari hubungan sosial yang terjalin erat, dan dari kedekatan manusia dengan laut.

Esai tentang tempat pendaratan ini tidak dimaksudkan untuk memuja kesederhanaan atau mengromantisasi kekurangan. Ia adalah pengingat bahwa pembangunan nasional tidak hanya bergantung pada pelabuhan besar atau industri skala raksasa. Ada lapisan ekonomi lain yang bekerja dalam senyap dan rutin, sebuah lapisan yang memerlukan perhatian agar tidak tertinggal dalam perjalanan waktu.

Di pinggir pantai-pantai kecil itu, perahu-perahu akan terus datang dan pergi. Ikan akan tetap diangkat ke meja timbang, harga akan dinegosiasikan, dan kehidupan akan berjalan dengan ritme yang tak berubah selama puluhan tahun. Tetapi masa depan tempat-tempat kecil ini mungkin bisa lebih baik, jika kebijakan, teknologi, dan kesadaran komunitas saling bertemu. Tempat Pendaratan Ikan Tradisional bukan hanya ruang fisik, melainkan cermin dari cara sebuah bangsa menghargai sumber daya laut dan orang-orang yang menggantungkan hidup padanya.