AI Mulai Melemahkan Dominasi Raksasa Teknologi

0
56
ChatGPT AI

(Vibizmedia – Kolom) Raksasa-raksasa teknologi masih tampak solid di laporan keuangan mereka. Namun dorongan besar untuk berinvestasi di kecerdasan buatan justru mulai mengikis kekuatan itu—pelan tapi pasti mengubah dinamika bisnis dan cara investor menilai industri ini.

Meyakini bahwa AI akan menjadi fondasi baru lanskap teknologi dan ekonomi global, Microsoft, Google (Alphabet), dan Amazon menggelontorkan dana sangat besar dalam tiga tahun terakhir. Jika proyeksi perusahaan dan analis terwujud, tiga perusahaan ini akan menghabiskan lebih dari 600 miliar dolar AS dari 2023 hingga tahun ini saja.

Selama ini, keputusan belanja tersebut tak banyak menimbulkan kekhawatiran karena ketiganya memasuki era AI dengan neraca yang kokoh, utang rendah, arus kas kuat, dan pendapatan yang terus bertumbuh. Laba bersih gabungan mereka dalam tiga tahun terakhir—sebagian besar belum terkait AI—diperkirakan melampaui 750 miliar dolar AS pada 2025. Angka itulah yang membuat mereka cukup nyaman untuk terus membakar uang demi membangun infrastruktur AI.

Tetapi efeknya mulai terlihat. Neraca keuangan masing-masing raksasa itu tergerus oleh kebutuhan dana yang amat besar, memberikan gambaran awal tentang bagaimana bisnis mereka bisa berubah drastis apabila investasi AI terus meningkat.

Microsoft, misalnya, kini menyimpan kas dan investasi jangka pendek setara 16% dari total aset pada kuartal ketiga tahun ini. Pada 2020, porsi tersebut masih sekitar 43%. Google dan Amazon menunjukkan pola serupa: kas relatif menyusut sementara aset melonjak seiring masifnya pembangunan pusat data, server, dan infrastruktur yang berhubungan dengan AI.

Arus kas juga mulai terhimpit. Alphabet dan Amazon diperkirakan mencatat penurunan free cash flow dibanding tahun lalu. Microsoft memang terlihat masih membukukan kenaikan free cash flow, tetapi catatan itu menutupi belanja besar yang dikunci lewat sewa jangka panjang untuk data center dan perangkat komputasi. Bila komponen tersebut dihitung, free cash flow mereka sebenarnya menurun.

Tren ini tampaknya belum akan mereda. Proyeksi analis menunjukkan Microsoft bisa menghabiskan sekitar 159 miliar dolar AS tahun depan jika belanja melalui kontrak sewa dimasukkan. Amazon diperkirakan menyentuh sekitar 145 miliar dolar AS, sementara Alphabet sekitar 112 miliar dolar AS. Jika angka-angka itu terealisasi, dalam empat tahun belanja ketiga perusahaan akan mencapai 1 triliun dolar AS—mayoritas untuk AI.

Selama pendapatan terus meningkat, beban tersebut masih bisa ditopang. Namun perlombaan “siapa paling cepat membangun AI” pada akhirnya akan memaksa perusahaan mengambil utang lebih banyak.

Sudah terlihat gejalanya. Meta menggandakan jumlah utangnya setelah menerbitkan obligasi 30 miliar dolar AS pada Oktober. Oracle juga mengumpulkan 18 miliar dolar AS lewat penjualan obligasi, tak lama setelah menandatangani kontrak cloud senilai 300 miliar dolar AS dengan OpenAI.

Bila ditarik garis besar, perubahan ini—kas menipis, arus kas lebih kecil, utang meningkat—perlahan tapi pasti menggeser model bisnis perusahaan teknologi. Mereka kini harus dilihat tidak lagi semata sebagai “mesin margin tinggi” yang mengandalkan perangkat lunak dan cloud yang bisa berkembang tanpa investasi fisik besar. Sebaliknya, mereka makin menyerupai industri padat modal yang keberhasilannya bergantung pada keputusan investasi jangka panjang.

Analis teknologi Raymond James, Josh Beck, mengatakan investor mulai berpindah pada metrik baru untuk menilai raksasa-raksasa ini. Antara lain jumlah pengguna layanan AI dan sisa kewajiban kinerja—proyeksi pendapatan dari kontrak jangka panjang dengan pengembang AI. Metrik-metrik tersebut dianggap lebih relevan dalam menilai valuasi era baru ini.

Pasar pun terlihat makin tidak sabar. Pekan lalu saham Amazon turun sekitar 5%, sementara Google merosot 2,5%, dipicu kekhawatiran bahwa belanja besar tak selalu sejalan dengan keuntungan nyata dari AI.

Keresahan itu masuk akal. Industri teknologi memang sudah bergerak menuju model padat modal sejak cloud computing berkembang, tetapi ledakan AI menempatkan mereka pada liga yang benar-benar baru. Kini, industri teknologi justru semakin menyerupai manufaktur semikonduktor, di mana puluhan miliar dolar dipertaruhkan untuk pabrik-pabrik berteknologi tinggi yang butuh bertahun-tahun untuk dibangun dan lebih lama lagi untuk menghasilkan imbal hasil.

Jika investasi tersebut tepat sasaran, keuntungannya sangat besar. Namun risikonya pun sepadan: infrastruktur AI yang mahal bisa menjadi beban bila tidak digunakan secara optimal, atau jika permintaan ternyata tak sebesar yang diprediksi. Taruhan pada teknologi yang salah juga bisa berakibat fatal.

Perubahan model bisnis ini memperbesar konsekuensi setiap keputusan alokasi belanja. Hal itu tampak ketika CFO Microsoft, Amy Hood, dalam panggilan dengan analis pada Oktober, menjelaskan bahwa prioritas komputasi AI diberikan kepada divisi perangkat lunak—termasuk Office—yang membuat kapasitas untuk layanan cloud Azure menjadi lebih terbatas.

Ketika industri teknologi memasuki fase padat modal, lebih banyak keputusan sulit seperti itu akan muncul. Dan semakin besar investasi, semakin besar pula ketidakpastian—baik bagi perusahaan maupun para investor.