(Vibizmedia – Kolom) Indonesia adalah negara kepulauan yang dianugerahi kekayaan alam yang luar biasa. Dari hutan tropis yang membentang hingga lautan yang luas, Indonesia memiliki modal berharga untuk memimpin ekonomi hijau di masa depan. Namun, perjalanan menuju pembangunan berkelanjutan tidaklah sederhana. Lingkungan menyimpan cerita melalui angka—angka yang bukan hanya statistik, melainkan sinyal yang memberi arah bagi keputusan ekonomi dan kebijakan negara. Ketika kita membaca ulang data lingkungan Indonesia, kita sebenarnya sedang membaca peluang ekonomi jangka panjang.
Selama beberapa tahun terakhir, capaian kualitas lingkungan nasional menunjukkan arah yang lebih baik. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup nasional mencapai 81,67 pada 2024, naik dari 68,94 pada tahun 2020. Artinya, ada kemajuan yang konsisten dalam pengelolaan lingkungan, efektivitas regulasi, dan peningkatan kesadaran publik. Namun, angka nasional yang terlihat membaik itu menyimpan variasi yang signifikan di tingkat daerah. Kualitas udara DKI Jakarta berada di angka 72,59 pada 2024, menandakan kondisi yang masih berada dalam kategori sedang dan berpotensi menurunkan kesehatan warga dalam jangka panjang. Sebaliknya, Bengkulu mencatat angka 94,01, menunjukkan kualitas udara yang sangat baik dan rendah risiko kesehatan. Kontras ini menggambarkan peta peluang ekonomi yang berbeda: di kota besar seperti Jakarta, dibutuhkan inovasi transportasi bersih, energi rendah karbon, dan tata ruang modern; sedangkan daerah dengan kualitas udara unggul memiliki peluang mengembangkan pariwisata berkelanjutan dan investasi hijau yang menjaga kelestarian alamnya.
Udara adalah wajah kualitas lingkungan yang paling mudah dilihat, tetapi hutan adalah fondasi ekologis yang menahan iklim tetap stabil. Namun tekanan terhadap hutan masih besar. Deforestasi netto meningkat dari 104.032,5 hektare pada 2022 menjadi 175.437,7 hektare pada 2024, yang berarti semakin banyak penyerap karbon alami hilang dan semakin besar risiko bencana hidrometeorologi. Tetapi harapan tidak hilang. Rehabilitasi hutan mencapai 217.974,42 hektare pada 2024, lebih besar dari jumlah deforestasi di tahun yang sama. Artinya, kesadaran pemulihan ekosistem semakin menguat dan menciptakan momentum baru untuk ekonomi berbasis alam. Upaya ini membuka pintu bagi pasar karbon, industri restorasi lanskap, dan ekowisata, yang secara langsung bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan hutan. Bila nilai ekonomi hutan dapat terkonversi menjadi pendapatan riil bagi negara dan pelaku usaha, maka melindungi hutan bukan lagi sekadar kewajiban moral, melainkan model bisnis masa depan.
Di sektor energi, panggung transformasi menuju low-carbon economy semakin terang. Namun data saat ini menunjukkan peringatan yang harus menjadi pemicu perubahan. Emisi gas rumah kaca dari sektor energi naik dari 584.284,42 Gg CO₂e pada 2020 menjadi 752.279,84 Gg CO₂e pada 2023, yang berarti konsumsi energi masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil. Namun di balik tantangan itu, tersimpan pasar yang sangat luas bagi energi terbarukan. Dengan pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi yang terus melaju, kebutuhan energi bersih menjadi salah satu peluang investasi terbesar dekade ini. Tenaga surya, angin, bioenergi, panas bumi, hingga elektrifikasi kendaraan berpotensi menciptakan ekosistem industri baru yang menyerap banyak tenaga kerja sekaligus mengurangi polusi di kota besar.
Isu besar lainnya adalah limbah, potret nyata dari gaya hidup modern yang belum sepenuhnya beradaptasi dengan prinsip keberlanjutan. Emisi dari limbah meningkat dari 120.333,20 Gg CO₂e pada 2019 menjadi 136.335,38 Gg CO₂e pada 2023, yang menunjukkan bahwa tantangan pengelolaan sampah semakin meningkat seiring pertumbuhan penduduk. Namun persoalan ini sebenarnya merupakan peluang ekonomi yang sangat menjanjikan melalui pendekatan ekonomi sirkular. Sampah dapat menjadi sumber bahan baku industri, bahan energi alternatif, dan bahkan komoditas yang bisa diperjualbelikan. Bisnis recycling, waste-to-energy, dan inovasi kemasan berkelanjutan menjadi sektor yang semakin diminati investor. Jika sampah dikelola sebagai aset, bukan beban, maka kotak hitam masalah lingkungan dapat berubah menjadi kotak emas peluang usaha.
Indonesia juga tidak dapat mengabaikan perannya sebagai negara bahari. Laut bukan hanya bentang air, melainkan sumber pangan, energi, dan transportasi. Namun data menunjukkan tantangan yang harus direspons cepat. Kualitas air laut di beberapa kawasan pesisir seperti Aceh dan Lampung mengalami penurunan kembali pada 2024 setelah sempat membaik sebelumnya, menandakan bahwa polusi laut dari plastik dan limbah darat masih tinggi. Ancaman ini bisa melemahkan sektor perikanan dan pariwisata, dua mesin ekonomi daerah yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Namun, justru di sinilah potensi ekonomi biru bersinar. Digitalisasi pelabuhan, budidaya perikanan rendah emisi, restorasi terumbu karang, dan teknologi mitigasi sampah laut menjadi jalur pertumbuhan ekonomi baru yang bernilai tinggi di pasar global.
Membaca keseluruhan data ini, kita melihat sebuah narasi ganda. Di satu sisi, ada problem nyata: penurunan kualitas lingkungan di pusat-pusat ekonomi, laju deforestasi yang perlu dikendalikan, kenaikan emisi energi dan limbah, serta kondisi laut yang rentan. Namun di sisi lain, setiap tantangan tersebut menghadirkan peluang ekonomi yang sejalan dengan tren global. Dunia sedang bergerak ke arah net-zero, dan modal internasional semakin mengalir ke bisnis yang efektif mendukung keberlanjutan. Konsumen pun semakin kritis terhadap dampak lingkungan dari produk yang mereka beli. Artinya, perusahaan yang mampu menunjukkan kinerja lingkungan yang baik akan semakin kompetitif baik di dalam maupun luar negeri.
Kualitas lingkungan juga telah menjadi faktor penentu daya saing regional. Kota-kota yang ramah lingkungan akan lebih cepat menarik talenta terbaik, perusahaan inovatif, dan wisatawan dengan pengeluaran tinggi. Demikian pula, daerah yang mampu menjaga kelestarian kualitas lingkungannya memiliki posisi tawar lebih besar untuk memperoleh pembiayaan hijau, kemitraan internasional, dan akses teknologi mutakhir.
Dengan semua potensi tersebut, Indonesia berada pada momentum historis. Hutan tropis yang luas, energi surya yang melimpah, sumber daya laut yang sangat kaya, serta populasi muda yang produktif—semuanya adalah modal tak ternilai untuk memimpin transformasi ekonomi hijau. Kunci utamanya adalah memastikan bahwa setiap kebijakan dan investasi berpijak pada data yang kuat dan strategi yang pro-perubahan. Mengubah cara pandang bahwa lingkungan bukan beban ekonomi, tetapi fondasinya adalah langkah pertama menuju masa depan yang lebih tangguh.
Kolaborasi menjadi syarat mutlak. Pemerintah mungkin menyediakan arah dan regulasi, namun sektor swasta adalah mesin inovasi dan penyerap tenaga kerja terbesar. Dunia akademik memberikan riset dan teknologi, sementara masyarakat lokal menjadi penjaga langsung sumber daya alam. Ketika semua elemen ini bergerak selaras, potensi Indonesia menjadi kekuatan ekonomi hijau dunia tidak lagi sekadar visi, melainkan kenyataan yang dapat dihitung secara ekonomi.
Maka, membaca ulang data lingkungan Indonesia adalah langkah pertama untuk membaca ulang masa depan bangsa. Angka-angka tersebut memberi peringatan, tetapi juga membuka peluang. Masa depan Indonesia sangat mungkin menjadi success story global dalam pembangunan berkelanjutan, sebuah negara yang tidak hanya naik kelas dalam ekonomi, tetapi juga memimpin dalam penyelamatan bumi.
Keberhasilan kita dalam 10 tahun mendatang akan ditentukan oleh keberanian mengambil keputusan saat ini. Bukan lagi pertanyaan apakah kita harus bertransisi menuju ekonomi hijau, melainkan seberapa cepat kita mampu mengeksekusinya. Karena dalam setiap angka lingkungan, tertulis peluang besar yang sedang menunggu untuk diwujudkan menjadi nilai ekonomi, lapangan kerja, dan kesejahteraan jangka panjang.
Dan ketika kita memilih untuk bertindak berdasarkan data—bukan menunggu sampai lingkungan memaksa kita dengan konsekuensi yang lebih berat—Indonesia dapat memastikan bahwa transformasi besar ini akan membawa bangsa menuju masa depan yang lebih hijau, lebih sehat, dan lebih sejahtera.









