(Vibizmedia-Kolom) Selama puluhan tahun, dunia menyaksikan keberhasilan besar dalam menurunkan angka kematian anak. Berbagai program vaksinasi, perbaikan gizi, peningkatan layanan kesehatan ibu dan bayi, serta penguatan tenaga medis telah membuat jutaan anak terselamatkan. Namun tahun ini, untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade, tren penurunan tersebut terhenti—bahkan berbalik arah.
Lembaga pemantau kesehatan global memperkirakan bahwa jumlah kematian anak di bawah usia lima tahun meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Proyeksi terbaru menunjukkan lebih dari 240.000 kematian tambahan dibandingkan tahun lalu. Kenaikan ini bukan fluktuasi kecil, melainkan sinyal bahwa dunia sedang memasuki fase krisis kesehatan anak yang baru.
Beban Terbesar Menghantam Afrika
Wilayah yang paling terdampak adalah negara-negara Afrika yang tengah bergulat dengan berbagai tantangan struktural. Konflik bersenjata, tekanan ekonomi, sistem kesehatan yang rapuh, serta menurunnya pasokan bantuan medis telah menciptakan kondisi yang membuat anak-anak lebih rentan terhadap penyakit dan malnutrisi.
Lembaga kemanusiaan melaporkan pola yang sama di berbagai negara: lebih banyak anak tiba di pusat kesehatan dalam kondisi lebih parah daripada sebelumnya. Di beberapa klinik, hampir setiap anak yang datang sudah menunjukkan tanda-tanda kekurangan gizi akut. Para tenaga medis mengatakan bahwa mereka kini menghadapi gelombang penyakit yang sering kali bisa dicegah di tempat lain: campak, difteri, diare berat, dan infeksi pernapasan.
Kisah dari Kamp Pengungsian
Di pinggiran sebuah kota besar di Afrika Timur, ribuan keluarga tinggal di kamp pengungsian setelah melarikan diri dari kekeringan panjang dan konflik berkepanjangan. Salah satunya adalah Khadra Hussein Ibrahim, seorang ibu berusia 40 tahun.
Bertahun-tahun lalu, ia menerima bantuan pangan dan layanan gizi dari organisasi kemanusiaan yang beroperasi di kamp. Bantuan itu memastikan anak-anaknya mendapatkan makanan bernutrisi dan pemeriksaan kesehatan rutin. Namun beberapa bulan terakhir, program tersebut terpaksa dikurangi karena pendanaan menipis.
Tanpa dukungan itu, Ibrahim harus menempuh perjalanan jauh setiap hari untuk mencari pekerjaan sambilan—sering kali tanpa hasil. Kurangnya makanan membuat tubuhnya semakin lemah. Putranya yang berusia dua tahun, yang masih disusui, mulai sakit akibat diare dan dehidrasi.
Tidak ada fasilitas kesehatan di kamp. Dalam kondisi letih, ia membawa anaknya berjalan berkilometer menuju rumah sakit pemerintah terdekat. Sesampainya di sana, dokter mengatakan mereka datang terlambat. Putranya tidak bertahan.
Kisah Ibrahim bukan pengecualian. Tenaga medis melaporkan semakin banyak anak yang tiba dalam kondisi kritis, dan banyak yang harus dirawat di bangsal darurat dengan fasilitas seadanya.
Vaksinasi Menurun, Wabah Meningkat
Di banyak wilayah, program vaksinasi anak terganggu oleh kendala logistik, perpindahan penduduk, serta minimnya tenaga kesehatan. Akibatnya, penyakit yang sebelumnya terkendali kembali muncul. Wabah campak dan difteri meningkat di beberapa negara. Diare parah—yang seharusnya dapat dicegah dengan air bersih, sanitasi, dan oralit—kini menjadi penyebab utama kematian balita di beberapa daerah.
Pejabat kesehatan setempat mengatakan bahwa lebih dari 200 fasilitas kesehatan di satu negara saja telah tutup atau berhenti beroperasi, menciptakan kekosongan layanan yang besar. Di tempat lain, klinik harus memilih: apakah mereka menggunakan persediaan terbatas untuk mengobati anak malnutrisi atau untuk ibu hamil yang mengalami komplikasi.
Krisis yang Butuh Respons Jangka Panjang
Meskipun sebagian besar wilayah dunia masih menunjukkan penurunan angka kematian anak—seperti India dan banyak negara Asia lainnya—kenaikan yang terjadi di Afrika cukup besar untuk membalikkan tren global.
Para ahli kesehatan menekankan bahwa penurunan kematian anak sejak 1990 adalah salah satu keberhasilan terbesar yang pernah dicapai dunia. Pada 1990, sekitar 11,6 juta anak meninggal sebelum usia lima tahun. Tahun depan, angka global seharusnya mendekati 4,8 juta, kurang dari setengah angka tiga dekade lalu. Namun krisis saat ini mengancam pencapaian tersebut.
Kembalinya tren peningkatan ini menunjukkan bahwa kemajuan kesehatan anak sangat rentan terhadap guncangan ekonomi, konflik, cuaca ekstrem, dan melemahnya sistem layanan kesehatan. Untuk memulihkan momentum, dunia membutuhkan pendekatan jangka panjang: penguatan sistem kesehatan primer, pendanaan yang berkelanjutan, perluasan vaksinasi, serta dukungan langsung untuk keluarga rentan.
Indonesia tidak mengalami kenaikan angka kematian anak setajam beberapa negara di Afrika, namun para ahli kesehatan menilai bahwa tantangan tetap ada. Ketimpangan layanan kesehatan antara wilayah perkotaan dan daerah terpencil masih menjadi faktor utama yang menentukan peluang anak-anak untuk mendapatkan perawatan tepat waktu. Di beberapa kabupaten terpencil di Indonesia Timur, akses ke fasilitas kesehatan dasar masih terbatas sehingga kasus diare, pneumonia, dan kekurangan gizi lebih berisiko menjadi fatal.
Upaya imunisasi nasional sebenarnya telah meningkatkan cakupan vaksin dasar dalam satu dekade terakhir, tetapi gangguan pada layanan kesehatan selama masa pandemi masih menyisakan kesenjangan imunisasi di sejumlah daerah. Petugas puskesmas di wilayah pedalaman melaporkan bahwa masih ada kelompok anak yang belum mendapatkan vaksin lengkap karena hambatan geografis, kurangnya tenaga kesehatan, atau minimnya transportasi.
Masalah gizi juga tetap menjadi pekerjaan besar. Meski stunting nasional menurun, daerah seperti NTT, Papua, dan beberapa bagian Sulawesi masih mencatat angka yang relatif tinggi. Anak-anak yang mengalami kekurangan gizi kronis lebih rentan terhadap penyakit infeksi, sehingga intervensi tidak bisa berhenti pada pemberian makanan tambahan saja—tetapi juga perbaikan sanitasi, air bersih, dan edukasi gizi keluarga.
Di sisi lain, Indonesia memiliki struktur sistem kesehatan yang lebih kuat dibanding banyak negara berkembang lain, sehingga peluang mempercepat perbaikan tetap besar. Program penguatan layanan primer melalui puskesmas, perluasan jangkauan tenaga kesehatan, dan digitalisasi data kesehatan menjadi modal penting untuk menurunkan angka kematian anak lebih jauh. Tantangannya adalah menjaga kontinuitas pembiayaan dan memastikan bahwa layanan tersebut benar-benar menjangkau daerah yang paling membutuhkan.
Di kamp-kamp pengungsian Afrika, desa-desa terpencil di Asia, dan wilayah rentan lainnya, para tenaga medis kini berada di garis depan menghadapi situasi yang kompleks. Setiap anak yang mendapatkan akses pangan dan pengobatan adalah satu nyawa yang bisa diselamatkan. Namun tanpa dukungan global yang konsisten dan sistem kesehatan yang siap menghadapi perubahan, jumlah anak yang tidak sempat mendapatkan bantuan dapat terus bertambah. Dunia pernah berhasil menurunkan angka kematian anak secara dramatis. Tantangannya sekarang adalah memastikan pencapaian tersebut tidak hilang dalam hitungan beberapa tahun saja.








