Destry Damayanti – Dewan Gubernur Senior BI : Pendalaman Pasar Keuangan dan Peningkatan Investor Lokal (Part 2/5)

0
12872

(Vibizmedia – Wawancara Khusus) Kelesuan ekonomi global telah membawa tekanan bagi negara-negara maju (developed countries) dan juga negara-negara berkembang (emerging countries). Bagi Indonesia tekanan ini membawa dampak pada melebarnya defisit transaksi neraca berjalan atau dikenal current account defisit (CAD).

Bank Indonesia mencatat CAD mengalami kenaikan menjadi USD 8,4 miliar atau 3% dari produk domestik bruto (PDB) pada kuartal kedua 2019, meningkat dibanding USD 7 miliar atau 2,6% dari PDB pada kuartal pertama. Melebarnya CAD ini disebabkan oleh kinerja ekspor non migas yang melemah akibat lesunya ekonomi global dan turunnya harga-harga komoditas ekspor, sehingga ekspor non migas pada kuartal kedua tercatat USD 37,2 miliar lebih rendah dari kuartal sebelumnya sebesar USD 38,2 miliar.

Meningkatnya defisit pada neraca pembayaran Indonesia (NPI) sebesar USD 2 miliar pada kuartal kedua, juga menyumbang peningkatan CAD, sekalipun semester pertama 2019 NPI tercatat masih surplus sebesar USD 400 juta. Sedang di sisi transaksi modal dan finansial (TMF) pada kuartal kedua juga masih surplus USD 7,1 miliar, hal ini ditopang oleh aliran masuk investasi langsung dan investasi portfolio, dimana investasi langsung berhasil masuk hingga USD 7 miliar, meningkat dibanding USD 6,1 miliar pada kuartal sebelumnya. Aliran investasi portfolio tercatat masih tinggi yaitu USD 4,5 miliar, sedang investasi lainnya defisit karena faktor pembayaran pinjaman luar negeri pemerintah dan swasta yang jatuh tempo.

Sumber : Bank Indonesia

Lihat juga : Destry Damayanti – Dewan Gubernur Senior BI: Era Fintech, Waspadai Shadow Banking (Part 3/5)

Kompleksitas Sektor Riel dan Moneter

Menurut Destry Damayanti, memang masalah current account deficit (CAD) adalah masalah sektor riel dan moneter tapi intinya lebih di sektor riel-nya karena itu menggambarkan suatu fakta bahwa permintaan dollar melebihi supply dollar yang ada. Permintaan berasal dari import, sedang penawaran dollar berasal dari eksport, hal ini terjadi di sektor riel.

Sementara kalau dari sisi moneter tentunya dengan adanya excess demand pada dollar ini menyebabkan adanya tekanan pada rupiah, dalam hal ini yang dilakukan BI adalah mengamati kapan tekanan atau pressure itu terjadi, ketika tekanan tinggi maka rupiah akan semakin tertekan, lalu BI akan melihat bahwa ini bersifat temporary atau structural karena ada masa dimana permintaan dollar yang tinggi bukan hanya untuk kebutuhan import tetapi juga untuk pembayaran hutang. Dari siklus ini maka BI selalu ada di market dan berusaha untuk menstabilkan nilai tukarnya, karena kalau tidak ada pengawasan maka rupiah akan bergerak sangat volatile, akibatnya tidak ada yang bisa melakukan bisnis. Baik eksportir maupun importir akan mengalami kesulitan dengan rupiah yang sangat volatile.

Sumber ; Bank Indonesia

Peran Bank Indonesia bersama dengan Pemerintah dan sektor riel bersama-sama berusaha memperbaiki ketidak-seimbangan yang terjadi di sektor riel. Dalam hal ini yang menjadi challenge apabila rupiah terlalu menguat, itu juga tidak terlalu bagus karena akan mendorong import, bahkan import yang sifatnya konsumtif juga bisa naik, di satu rupiah yang terlalu menguat juga tidak bagus bagi eksportir karena barang ekspor kita menjadi mahal.

Lihat juga : Ngobrol Bareng Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti: Peranan BI Di Tengah Situasi Global (Part 1/5)

Tapi di sisi lain kalau rupiah terlalu melemah itu juga tidak begitu bagus karena import-nya akan menjadi mahal, sementara kita tahu bahwa import kita banyak kaitannya dengan bahan baku dan barang modal. Sekalipun bagi eksportir rupiah yang menguat menguntungkan tetapi karena eksportir kita juga importir, dan masalah ini merupakan masalah struktural di sektor riel.

Struktur sektor riel di Indonesia sebagai penghasil bahan baku maka processing-nya masih kurang di dalam negeri. Yang terjadi bahan baku diekspor ke luar negeri, lalu di luar diproses menjadi bahan setengah jadi, kemudian diimport lagi baru dirakit menjadi barang jadi. Contohnya seperti kopi, diekspor sebagai bahan baku tanpa ada processing-nya, lalu diimport lagi sebagai kopi yang sudah menjadi serbuk.

Dengan kondisi struktur sektor riel yang demikian, maka masalah CAD bukan serta merta masalah currency dalam hal ini nilai tukar, tetapi sudah menjadi masalah yang kompleks pada sektor riel dan moneter. Oleh sebab itu dinamika supply dan demand serta fundamental strukturalnya perlu diketahui oleh BI, kemudian peran Bank Indonesia adalah men-smoothing volatilitas yang terjadi pada nilai tukar paling tidak agar tidak jauh dari nilai fundamentalnya, demikian tutur Destry Damayanti.

Sependapat dengan hal ini, Bernhard Sumbayak – Founder and Advisor Vibiz Consulting, berpendapat bahwa direct investment  yang diarahkan masuk dalam produk ekspor dengan proses hingga barang setengah jadi atau bahkan barang jadi akan lebih menstabilkan volatilitas ekonomi Indonesia dari goncangan global.

Lihat juga : Destry Damayanti – Dewan Gubernur Senior BI: Era Fintech, Waspadai Shadow Banking (Part 3/5)

Sensitifitas Ekonomi Indonesia Terhadap Perubahan Global

Di dunia global, yang namanya uang tidak ada loyalitas, baik yang dimiliki oleh investor Amerika atau Inggris, tidak berarti uang itu ada di Eropa terus. Uang akan terus mencari tempat dimana yang menghasilkan return terbesar dengan risk yang bisa dipertimbangkan. Situasi setelah global crisis dimana negara-negara developed countries pertumbuhan ekonominya relative stagnan, sementara yang pertumbuhannya punya peluang besar adalah emerging countries, termasuk Indonesia. Hanya kita juga harus belajar dari pengalaman beberapa negara emerging countries dimana pertumbuhannya sangat cepat tetapi melupakan unsur prudential-nya. Misal budget defisitnya melonjak tinggi, tetapi di Indonesia dibatasi tidak boleh lebih dari 3%, lalu hutang luar negerinya luar biasa tinggi sedangkan rambu-rambu kita dibatasi 60% dan sekarangpun kita masih 39% terhadap PDB.

Dari peluang pertumbuhan di emerging countries, dengan return yang secara relative di atas developed countries maka masuklah dana-dana ini ke emerging countries. Permasalahan yang terjadi dengan masuknya dana ini apabila tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan resiko yang sistematis terhadap ekonomi negara tersebut.

Sehingga kita lihat karakter dari emerging countries adalah banyaknya dana seperti ini masuk, khususnya di portfolio inflow. Dana masuk atau capital inflow bisa berupa portfolio inflow (modal masuk untuk investasi pembelian surat-surat berharga) atau dalam bentuk direct investment (modal masuk investasi langsung seperti pembelian mesin, pendirian pabrik). Kalau bentuknya FDI (foreign direct investment) maka ada bentuk berupa barang atau phisik berupa pabrik atau mesin, juga menyerap tenaga kerja. Sehingga kalau ada terjadi goncangan global maka tidak serta merta menjual mesin atau pabriknya. Akan menjadi tantangan kalau capital inflow ini besarnya masuk dalam bentuk portfolio inflow karena portfolio ini easy come easy go. Ini menjadi tantangan untuk melakukan stabilisasi kalau situasi global tidak bagus persepsinya seperti ketika terjadi taper tantrum 2013-2014, dimana timbul persepsi bahwa secara global likuiditas akan terjadi kontraksi akibat pemberhentian quantitative easing, dimana dengan untuk kontraksi likuiditas ini maka bunga akan naik sehingga imbal hasil akan naik maka terjadilah capital outflow di negara berkembang. Hal ini sangat berbahaya bagi situasi moneter, bagaimana menjaga stabilitas ini.

Menurut Alfred Pakasi, MFP, CFP, CWM – Managing Partner of Vibiz Consulting, memang merupakan suatu tantangan bagi BI untuk menjaga kondisi moneter yang kondusif sehingga dana masuk yang berbentuk portfolio (portfolio inflow) akan stabil dan menetap secara jangka lebih panjang. Di tengah ketidakpastian perekonomian global dewasa ini, hal itu tidak mudah. Dana-dana akan bergerak dan berputar begitu cepat. Adakalanya mencari tempat aman atau aset safe haven. Adakalanya beralih ke aset berisiko untuk meraih gain yang lebih tinggi.

Kemampuan BI untuk menjaga stabilitas inflasi dan dinamika mata uang, arah kebijakan moneter yang cukup jelas, serta –di pasar uang- tingkat suku bunga dalam negeri yang masih signifikan selisihnya dengan pasar internasional, seharusnya bisa menjadi daya tarik bagi banyak dana global untuk menetap lebih lama di sini. Ditambah dengan prospek sektor real yang masih menjanjikan, itu juga dapat mengundang dana PMA yang lebih besar alokasinya ke Indonesia. Kita juga berharap terjadi suatu realokasi investasi yang signifikan ke Indonesia sebagai dampak perang dagang AS – China, demikian tutur Alfred Pakasi.

Lihat juga : Destry Damayanti – Deputi Gubernur Senior BI: Mengembangkan UMKM di Era Ekonomi Digital (Part 4/5)

Kondisi Moneter Indonesia

Kondisi sekarang di Indonesia sedang bagus-bagusnya, dimana ekspektasi bahwa suku bunga global trend-nya akan menurun akibat perlambatan ekonomi global, sementara imbal hasil di Indonesia menarik dan juga ada story growth pertumbuhan ekonomi yang diekpektasi masih berlanjut, maka Indonesia menjadi tempat yang menarik bagi para portfolio investor. Perlu diperhatikan bahwa portfolio inflow yang banyak ini jangan menjadikan completion atau terlena, oleh sebab itu kebijakan sektor riel dan moneter harus terus dikembangkan. Yang dilakukan oleh BI adalah mendorong pendalam pasar keuangan itu sendiri, dengan mendorong penciptaan instrument-instrumen baru sehingga market-nya akan menjadi semakin likuid.

Sumber : Bank Indonesia

Sementara ini portfolio di Indonesia, komposisi asing sekitar 39% masuk di Bonds Market, sekalipun kompoisi asing tidak terlalu dominan, dimana masih ada 61% lokal, namun masalahnya asing ini aktif yang sifatnya traders, sementara komposisi lokal sifatnya institusi untuk investasi hold to maturity (HTM). Akibatnya ketika terjadi perubahan risk perception maka setelah masuk bisa tiba-tiba keluar, tidak ada yang dapat menahannya. Hal seperti ini yang menyebabkan volatilitas sangat tinggi. Komposisi portfolio asing Indonesia ini tertinggi di kawasan Asia Tenggara, sedang Philipina memilihi pasar keuangan yang lebih dalam dan investor lokalnya lebih kuat, sehingga inilah yang menjadi tantangan bagi Indonesia untuk memperkuat investor lokal agar mampu mengimbangi ketika porsi asing terjadi capital outflow atau berubah persepsi.

Lihat juga : Destry Damayanti – Deputi Gubernur Senior BI : Ekonomi Domestik Kita Masih Kuat (Part 5/5)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here