Asap Kebakaran Hutan dan Risiko Demensia

Penelitian ini menggarisbawahi urgensi untuk mengatasi masalah polusi udara karena kebakaran hutan dan perubahan iklim, yang tidak hanya merusak lingkungan tetapi juga kesehatan otak manusia dalam jangka panjang.

0
1642
Kebakaran Hutan dan Lahan
Kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Sragen, Provinsi Jawa Tengah. FOTO: BNPB

(Vibizmedia-Kolom) Asap dari kebakaran hutan yang baru-baru ini terjadi di Los Angeles membawa berbagai risiko kesehatan yang sudah dikenal, terutama bagi sistem peredaran darah dan pernapasan. Seiring dengan perubahan iklim yang menyebabkan musim kebakaran lebih panjang, kekhawatiran mengenai paparan asap dan ancaman kesehatan dari kebakaran semakin meningkat. Namun, dampak polusi udara terhadap otak baru mulai diakui secara luas. Dalam sebuah penelitian terbaru, para peneliti menemukan bahwa paparan jangka panjang terhadap partikel halus yang dikenal sebagai PM2.5 dapat meningkatkan risiko demensia. Namun, tidak semua polusi udara membawa risiko yang sama. Asap kebakaran hutan tampaknya jauh lebih berbahaya, menurut Joan Casey, penulis utama studi tersebut. Ia menambahkan bahwa temuan ini menunjukkan hubungan antara perubahan iklim dan dampak neurologis negatif.

“Kita memiliki populasi yang menua dan perubahan iklim yang semakin memperburuk keadaan, dan keduanya bisa bertemu untuk menghasilkan dampak kesehatan neurologis yang sangat buruk,” kata Casey, seorang profesor di bidang ilmu kesehatan lingkungan dan pekerjaan di Universitas Washington.

Penelitian ini menganalisis catatan kesehatan lebih dari 1,2 juta penduduk California Selatan yang berusia minimal 60 tahun dan tinggal di area yang sering terpapar asap kebakaran hutan. Setiap orang dalam penelitian ini tidak mengalami demensia saat studi dimulai. Para peneliti kemudian memperkirakan tingkat paparan setiap orang terhadap PM2.5 berdasarkan rata-rata tiga tahun data kualitas udara dan cuaca. Pada akhir penelitian, lebih dari 80.000 penduduk didiagnosis menderita demensia. Lansia yang terpapar PM2.5 dari kebakaran hutan dengan tingkat yang lebih tinggi memiliki risiko lebih besar untuk mengembangkan demensia. Paparan PM2.5 dari sumber selain kebakaran hutan hanya sedikit meningkatkan kemungkinan diagnosis demensia.

Penelitian Casey ini adalah yang terbaru dalam deretan penelitian yang menunjukkan hubungan antara polusi udara dan dampak kognitif yang berbahaya. Studi sebelumnya telah menemukan bahwa orang yang menghirup konsentrasi tinggi PM2.5 dari emisi diesel atau polutan udara terkait lalu lintas lainnya lebih mungkin menunjukkan tanda-tanda penyakit Alzheimer pada jaringan otak mereka.

Undang-Undang Udara Bersih yang diterapkan pada tahun 1970 menyebabkan penurunan signifikan konsentrasi partikel di udara di seluruh negara. Namun, baru-baru ini, studi menunjukkan adanya lonjakan konsentrasi partikel pada tahun 2016 akibat kebakaran hutan yang semakin meningkat, dipicu oleh perubahan iklim. Penelitian yang diterbitkan di Lancet Planetary Health menyatakan bahwa polusi udara terus menjadi ancaman kesehatan lingkungan terbesar di dunia. Secara keseluruhan, polusi udara baik di luar ruangan maupun di dalam ruangan berkontribusi pada hampir 7 juta kematian prematur setiap tahunnya, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Polusi udara luar ruangan sendiri diperkirakan menyebabkan sekitar 4,2 juta kematian prematur pada 2019.

“Kita mendapatkan banyak bukti epidemiologis bahwa polusi udara, terutama paparan tinggi dan paparan kronis, mungkin buruk bagi otak dan saraf Anda,” kata Daniel Pastula, seorang ahli saraf di Universitas Colorado School of Medicine. “Apa pun yang bisa kita lakukan untuk mengurangi risiko polutan udara, baik dari kebakaran hutan atau sumber lainnya, tampaknya semakin penting untuk kesehatan otak,” tambahnya. Namun, ia mengatakan bahwa penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui hubungan pasti antara dampak kognitif negatif dan polusi udara.

Menurut Jacques Reis, seorang ahli saraf dan profesor kedokteran lingkungan di Universitas Strasbourg, polutan udara—termasuk partikel halus, gas, dan senyawa organik—dapat menyebabkan peradangan di otak serta kerusakan neuron dan DNA. Reis mengatakan bahwa efek partikel terhadap otak membutuhkan waktu untuk muncul, tetapi dapat mengubah perilaku seseorang. “Partikel-partikel ini akan memicu banyak perubahan di tingkat seluler, dan inilah mengapa ini menjadi faktor risiko bagi penyakit neurodegeneratif,” ujarnya.

Meskipun waktu yang dibutuhkan agar partikel memengaruhi kesehatan otak masih belum jelas, kita tahu bahwa durasi dan dosis paparan, serta kerentanannya, dapat memengaruhi dampaknya, kata Pastula. Ketika partikel halus masuk ke dalam jantung dan paru-paru, mereka merusak sistem kardiovaskular dan pernapasan. Dalam kasus yang lebih parah, paparan dapat dikaitkan dengan serangan jantung dan stroke, serta kanker paru-paru. Para ahli mengatakan bahwa tanpa undang-undang dan regulasi untuk memperlambat perubahan iklim serta mengurangi paparan asap dari kebakaran hutan dan sumber PM2.5 lainnya, dampak kesehatan yang buruk akan terus meningkat.

“Jika tidak ada yang berubah, maka kondisi otak kita akan semakin buruk karena meningkatnya konsentrasi polutan yang disebabkan oleh peristiwa kebakaran hutan besar ini,” kata Marianthi-Anna Kioumourtzoglou, seorang profesor ilmu kesehatan lingkungan di Mailman School of Public Health, Universitas Columbia. Penelitian Kioumourtzoglou telah menemukan bahwa polusi udara, khususnya PM2.5, mempercepat perkembangan penyakit neurologis seperti ALS, Parkinson, dan Alzheimer. Baginya, hubungan tersebut “tidak dapat disangkal” meskipun masih ada “detail yang perlu ditemukan.”

Penelitian ini menggarisbawahi urgensi untuk mengatasi masalah polusi udara dan perubahan iklim, yang tidak hanya merusak lingkungan tetapi juga kesehatan otak manusia dalam jangka panjang.

Di Indonesia, polusi udara menjadi masalah kesehatan yang semakin meningkat, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan. Selain emisi kendaraan bermotor, yang menjadi penyumbang utama polusi, kebakaran hutan di daerah seperti Sumatra dan Kalimantan juga menambah parah kualitas udara, terutama selama musim kemarau. Asap kebakaran hutan yang merambah hingga ke negara tetangga sering menyebabkan kabut asap yang berbahaya bagi sistem pernapasan.

Polusi udara di Indonesia, terutama partikel halus PM2.5, dapat memengaruhi berbagai aspek kesehatan, mulai dari gangguan pernapasan, penyakit jantung, hingga dampak jangka panjang seperti gangguan kognitif dan demensia. Meskipun di Indonesia belum ada penelitian secara spesifik tentang dampak polusi udara terhadap otak seperti di negara-negara lain, bukti-bukti global menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara paparan polusi udara dengan gangguan kesehatan otak.

Pemerintah Indonesia sebenarnya telah menerapkan beberapa kebijakan untuk mengatasi masalah ini, seperti pembatasan kendaraan bermotor berpolusi tinggi, promosi kendaraan listrik, dan kampanye untuk mengurangi kebakaran hutan. Namun, di lapangan, penerapan kebijakan ini sering terkendala oleh faktor sosial dan ekonomi, serta kurangnya kesadaran masyarakat akan bahaya polusi.

Perubahan iklim yang memperpanjang musim kebakaran hutan juga menjadi tantangan besar. Dalam jangka panjang, dampak perubahan iklim yang tidak terkendali akan semakin memperburuk kualitas udara di Indonesia, dengan meningkatkan risiko berbagai penyakit, termasuk yang memengaruhi otak.

Penanganan polusi udara membutuhkan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta. Penguatan regulasi, serta edukasi dan kesadaran publik yang lebih tinggi, sangat penting untuk mengurangi dampak negatif polusi terhadap kesehatan. Selain itu, peningkatan infrastruktur hijau dan solusi berbasis alam dapat membantu mengurangi polusi udara serta menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan lestari bagi generasi mendatang.