(Vibizmedia – Jakarta) Kementerian Kesehatan RI secara resmi membuka Pertemuan Nasional Program Pengendalian Dengue (P2DG) 2025 dengan membawa target ambisius: Indonesia bebas kematian akibat dengue pada tahun 2030. Fokus utama pertemuan ini adalah pentingnya memperkuat kesiapsiagaan sistem kesehatan nasional dalam menghadapi ancaman penyakit menular seperti demam berdarah dengue (DBD) dan arbovirosis lainnya.
Direktur Penyakit Menular Kemenkes RI, Ina Agustina Isturini, menegaskan bahwa upaya pengendalian harus dilakukan sebelum krisis terjadi. “Kita sering baru bertindak saat darurat, padahal ancaman dengue sudah nyata dan harus direspons sejak sekarang,” ujarnya.
Data ASEAN Dengue Summit 2024 mengungkap bahwa Indonesia menyumbang 66 persen dari total kematian akibat dengue di Asia, dengan lebih dari 257.000 kasus dan 1.400 kematian tercatat sepanjang 2024. WHO juga menyoroti Indonesia sebagai negara dengan kontribusi kematian tertinggi akibat dengue di kawasan Asia, dengan tren kasus yang terus meningkat seiring perubahan iklim.
Pola wabah dengue kini terjadi lebih cepat, dari sebelumnya tiap 10 tahun menjadi tiap 3 tahun, dipicu oleh perubahan suhu dan curah hujan yang mempercepat siklus nyamuk Aedes aegypti. BMKG mencatat lonjakan kasus biasanya terjadi pada fase transisi suhu, saat kondisi cuaca mendukung perkembangan nyamuk.
Hingga pertengahan 2025, tercatat 67.000 kasus dan 297 kematian akibat DBD, dengan Case Fatality Rate (CFR) sebesar 0,4 per 100.000 penduduk—masih di bawah target nasional, namun tetap mengkhawatirkan.
Anggota Tim Kerja Arbovirosis Kemenkes, Fadjar S.M. Silalahi, menekankan bahwa persoalan dengue bukan hanya medis, melainkan sistemik. Kurangnya pemahaman masyarakat, lemahnya layanan primer, dan keterlambatan rujukan menjadi penyebab tingginya angka kematian.
Sebagai solusi, Kemenkes meluncurkan dua inovasi penting:
- SMILE (Sistem Monitoring Inventory Logistik Elektronik): sistem digital untuk pemantauan distribusi vaksin dan logistik kesehatan secara real-time.
- GRID (Gerakan Respons Integratif Dengue): sistem deteksi dini, surveilans, dan respons cepat berbasis data, seperti yang telah diterapkan di Kabupaten Tangerang.
“Dengan SMILE, distribusi bisa dipantau tepat waktu. Dengan GRID, daerah bisa bergerak cepat karena datanya terintegrasi dan kolaboratif,” jelas Fadjar.
Ia juga mengingatkan bahwa risiko penyebaran dengue kini meningkat akibat urbanisasi, mobilitas tinggi, dan pola penyebaran yang tidak lagi musiman. Bahkan remaja usia 19 tahun kini bisa menjadi korban fatal dalam hitungan hari. “Ini menjadi sinyal bahaya yang harus kita hadapi bersama,” tegasnya.
Sebagai bagian dari reformasi sistem, Indonesia kini resmi bergabung dengan wilayah kerja WHO Western Pacific Regional Office (WPRO) untuk memperkuat pelaporan data secara global. Fadjar menegaskan, “Selama ini data kita underreported. Kini kita pastikan tantangan Indonesia benar-benar terlihat di mata dunia.”
 
             
		



 
                             
                            




