(Vibizmedia-Kolom) Mobil tanpa sopir yang melaju sendiri di jalanan kota, drone yang mampu memilih dan menyerang target secara otonom, serta robot humanoid yang mulai direkrut untuk logistik dan keamanan—semua ini dulu hanya bisa dibayangkan lewat film fiksi ilmiah. Namun kini, berkat kemajuan kecerdasan buatan (AI) dan dukungan dana dari miliarder teknologi, mimpi-mimpi itu tidak hanya mendekati kenyataan, tapi mulai hadir dalam wujud nyata, menjanjikan era baru integrasi antara pikiran mesin dan dunia fisik.
Seperti yang dilaporkan oleh The Wall Street Journal, tren baru ini ditandai dengan kembalinya perhatian besar terhadap hardware—komponen fisik yang selama satu dekade terakhir seolah tertinggal di tengah ledakan aplikasi digital dan media sosial. Kini, para pemimpin industri teknologi menyadari bahwa untuk membuat AI benar-benar mengubah hidup manusia, teknologi itu harus bisa bergerak, melihat, dan berinteraksi di dunia nyata. Dari robotaxis di San Francisco hingga robot pengantar barang di Jepang, dunia sedang memasuki fase implementasi nyata dari kemampuan AI di luar layar komputer.
Pendorong utama dari gelombang baru ini adalah kombinasi kekuatan dana, ambisi, dan adopsi teknologi AI yang semakin matang. Di Silicon Valley, para miliarder seperti Elon Musk, Jeff Bezos, dan Sam Altman kini secara terbuka menyatakan ketertarikan mereka terhadap teknologi fisik yang dikendalikan AI. Sam Altman, CEO dari OpenAI, bahkan mengucurkan dana miliaran dolar ke perusahaan hardware seperti Figure AI, yang mengembangkan robot humanoid untuk aplikasi industri. Dalam wawancara yang dikutip oleh Bloomberg, Altman menyatakan, “AI dalam bentuk perangkat lunak telah menunjukkan kekuatan besar. Kini saatnya membawanya ke dunia nyata.”
Musk, yang sejak awal memimpikan mobil otonom dan koloni Mars, melalui Tesla dan perusahaan AI-nya xAI, tengah mempersiapkan peluncuran robot humanoid “Optimus” untuk tugas-tugas rumah tangga dan pabrik. Tesla telah mengintegrasikan teknologi komputer vision dan model pembelajaran mendalam ke dalam prototipe awal Optimus yang mampu berjalan, membawa barang, dan bahkan melambaikan tangan. Dalam laporan keuangan Tesla kuartal pertama 2025, Musk menyatakan bahwa robot ini “akan memiliki potensi komersial yang jauh melebihi mobil listrik dalam dekade berikutnya.”
Tren ini juga didorong oleh keberhasilan model-model AI multimodal seperti GPT-4 dan Gemini milik Google yang dapat memahami gambar, suara, dan teks sekaligus. Dengan model seperti itu, robot atau kendaraan tidak hanya menjadi mesin bergerak, tetapi sistem kognitif yang mampu merespons lingkungan secara kompleks. Sebuah mobil otonom misalnya, kini bisa membaca rambu, mengenali ekspresi pejalan kaki, serta menyesuaikan kecepatan berdasarkan kondisi lalu lintas—bukan lagi melalui pemrograman statis, tetapi pembelajaran adaptif.
Namun, kemajuan ini juga menghidupkan kembali kekhawatiran lama yang dulunya hanya berada di ranah film fiksi ilmiah. Drone pembunuh, atau killer drones, kini bukan lagi konsep semata. Dalam konflik militer seperti di Ukraina dan Timur Tengah, drone otonom yang mampu menargetkan kendaraan atau manusia berdasarkan pengenalan citra telah digunakan. Menurut laporan dari The Economist, perusahaan-perusahaan pertahanan di Turki dan Israel telah mengembangkan drone AI yang mampu terbang sendiri dan memilih target berdasarkan data real-time. Meski saat ini sebagian masih semi-otomatis, tren ke arah otonomi penuh semakin tak terhindarkan.
Pertanyaan etika pun muncul. Bagaimana kita mengendalikan mesin yang bisa mengambil keputusan hidup dan mati tanpa campur tangan manusia? Di PBB, sejumlah negara menyerukan moratorium terhadap penggunaan senjata otonom. Namun tanpa konsensus global dan dengan banyaknya pihak swasta yang terlibat, batas antara alat pertahanan dan mesin pembunuh menjadi semakin kabur. Bahkan Elon Musk, dalam pernyataan publik beberapa tahun lalu, memperingatkan bahwa AI militer bisa menjadi ancaman eksistensial bagi umat manusia jika tidak diatur dengan ketat.
Di sisi lain spektrum, teknologi ini menawarkan harapan besar. Startup robot seperti Agility Robotics di Oregon telah merancang robot berkaki dua bernama Digit yang kini digunakan untuk mengangkut paket di gudang Amazon. Perusahaan Jepang seperti SoftBank dan Toyota mengembangkan robot asisten rumah tangga yang dapat membantu lansia atau orang dengan keterbatasan fisik. Dalam sektor kesehatan, AI kini digunakan dalam perangkat robotik untuk membantu operasi, diagnosa dini, hingga rehabilitasi.
Perpaduan antara AI dan hardware juga membuka jalan bagi revolusi transportasi. Mobil tanpa sopir, atau robotaxis, kini mulai dioperasikan secara terbatas di kota-kota seperti Phoenix dan San Francisco oleh perusahaan seperti Waymo (anak perusahaan Google) dan Cruise (anak perusahaan GM). Meski masih menghadapi kendala regulasi dan kecelakaan sporadis, kemajuan dalam pemetaan 3D, sensor LIDAR, dan sistem kendali adaptif memungkinkan kendaraan ini beroperasi dengan tingkat keselamatan yang mendekati manusia. Beberapa analis memperkirakan bahwa dalam lima tahun ke depan, layanan robotaxi akan menjadi bagian umum dari transportasi perkotaan di negara-negara maju.
Namun, sama seperti pada awal internet atau ponsel pintar, adopsi luas membutuhkan waktu dan kepercayaan publik. Kejadian-kejadian kecil seperti mobil otonom yang nyasar atau robot toko yang tersandung bisa menjadi meme, tetapi juga memperlambat adopsi teknologi. Dalam survei yang dilakukan oleh Pew Research pada awal 2025, lebih dari 60% warga Amerika Serikat menyatakan mereka belum percaya sepenuhnya pada kendaraan tanpa pengemudi atau robot yang beroperasi mandiri di lingkungan publik. Rasa tidak nyaman ini sebagian besar berasal dari ketidaktahuan akan cara kerja AI serta kekhawatiran terhadap privasi dan keselamatan.
Karena itulah, perusahaan teknologi kini berlomba untuk membuat desain hardware yang lebih ramah, lucu, dan transparan. Figure AI, misalnya, merancang robotnya dengan wajah digital yang bisa tersenyum dan memberi isyarat emosi. Amazon mengembangkan asisten rumah bernama Astro yang memiliki “mata” besar dan bisa mengikuti perintah suara, mirip karakter kartun. Pendekatan ini mencerminkan kesadaran bahwa penerimaan publik sangat bergantung pada persepsi emosional dan bukan hanya kinerja teknis.
Yang tak kalah penting adalah infrastruktur dan biaya produksi. Membuat robot atau kendaraan otonom berskala besar jauh lebih kompleks daripada membuat perangkat lunak. Diperlukan rantai pasok komponen sensorik, motorik, chip AI, dan sistem pendingin yang presisi. Beberapa startup bahkan membangun pabrik sendiri untuk menciptakan desain perangkat keras yang sesuai dengan model AI yang mereka kembangkan. Dalam laporan Financial Times, disebutkan bahwa Figure AI dan Sanctuary AI di Kanada kini merancang AI factory, yaitu fasilitas produksi yang menggabungkan kecerdasan buatan dan otomasi untuk mempercepat pengembangan dan deployment robot.
Pendanaan juga melonjak drastis. Sejak pertengahan 2023, investasi ke perusahaan hardware AI naik lebih dari dua kali lipat, mencapai lebih dari $50 miliar pada akhir 2024 menurut data CB Insights. Hal ini sebagian besar dipicu oleh optimisme bahwa AI generatif telah membuka pintu ke fase baru di mana nilai tambah terletak bukan hanya pada informasi, tapi juga tindakan fisik. Investor besar seperti Andreessen Horowitz, Sequoia Capital, hingga Sovereign Wealth Fund dari Timur Tengah mulai membidik sektor robotik dan otomasi industri sebagai ladang pertumbuhan jangka panjang.
Kita juga menyaksikan meningkatnya kolaborasi antara perusahaan AI dan produsen perangkat keras tradisional. Nvidia, misalnya, tidak hanya memproduksi GPU untuk AI tetapi kini juga mengembangkan platform robotik end-to-end yang dapat digunakan oleh perusahaan manufaktur atau transportasi. Microsoft bekerja sama dengan Boston Dynamics untuk menciptakan sistem kendali cloud bagi robot industri. Amazon memanfaatkan teknologi AI-nya untuk mengoptimalkan robot gudang yang bisa beradaptasi dengan dinamika permintaan.
Dengan semua dinamika ini, dunia sedang bergerak menuju realitas baru di mana AI tidak hanya memahami bahasa dan gambar, tapi juga dapat berjalan, berbicara, memilih, bahkan—dalam beberapa kasus ekstrem—menyerang. Kita memasuki fase pasca-digital, di mana teknologi tidak hanya berinteraksi secara virtual, tapi juga membentuk kembali ruang fisik, tenaga kerja, dan bahkan keseimbangan geopolitik.
Seperti halnya listrik atau internet, teknologi ini akan membentuk ulang hampir semua sektor—dari militer, logistik, pertanian, hingga rumah tangga. Pertanyaannya bukan lagi apakah hal ini akan terjadi, tetapi seberapa cepat dan siapa yang akan memimpin. Dan di tengah semua ini, tantangan moral, politik, dan sosial akan menjadi medan uji yang tak kalah penting dari tantangan teknologinya sendiri.