
(Vibizmedia-Kolom) Laporan Statistik Kesejahteraan Rakyat 2025 yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menyajikan potret luas tentang bagaimana masyarakat Indonesia hidup, berkembang, dan beradaptasi dengan perubahan ekonomi serta sosial di tengah era digital dan pemulihan pascapandemi. Namun, di balik angka-angka yang tampak positif, tersimpan kisah tentang dinamika pembangunan yang tidak selalu merata. Kesejahteraan bukan hanya persoalan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menyangkut akses, pemerataan, dan kualitas hidup yang sesungguhnya.
Tahun 2025 menjadi tonggak menarik karena memperlihatkan pergeseran struktural dalam pola hidup masyarakat Indonesia. Dengan 99,55 persen rumah tangga telah menikmati penerangan listrik, negeri ini tampak telah menaklukkan salah satu tantangan mendasar dalam pembangunan infrastruktur dasar. Pencapaian itu menjadi bukti keberhasilan program elektrifikasi nasional yang telah berjalan selama dua dekade. Namun, capaian kuantitatif itu masih diikuti oleh tantangan kualitatif, terutama di daerah terpencil di mana pasokan listrik belum stabil dan pemanfaatan energi bersih belum optimal.
Salah satu indikator penting dari laporan tersebut adalah keberhasilan Indonesia memperluas akses identitas hukum anak. Sebanyak 93,95 persen anak usia 0–17 tahun kini memiliki akta kelahiran. Angka ini mencerminkan kemajuan administratif yang signifikan. Dalam konteks pembangunan manusia, pencatatan sipil bukan sekadar dokumen administratif, tetapi merupakan kunci untuk mengakses pendidikan, kesehatan, dan bantuan sosial. Dengan meningkatnya kesadaran masyarakat dan digitalisasi layanan pemerintah daerah, pencapaian ini menunjukkan transformasi sosial yang patut diapresiasi.
Namun, kemajuan administratif belum sepenuhnya diikuti dengan kesetaraan digital. Hanya 19,94 persen rumah tangga yang memiliki komputer atau laptop pada 2025. Angka ini masih menunjukkan kesenjangan besar antara kota dan desa, serta antara kelompok berpendapatan tinggi dan rendah. Meskipun penetrasi internet meningkat pesat melalui gawai, kesenjangan digital tetap nyata dalam konteks pendidikan dan produktivitas ekonomi. Pandemi Covid-19 sempat mempercepat transformasi digital, tetapi efek jangka panjangnya belum sepenuhnya merata.
Dalam dimensi ekonomi, perubahan perilaku masyarakat terhadap keuangan digital menjadi salah satu tonggak yang paling menonjol. BPS mencatat 33,04 persen rumah tangga telah memiliki uang elektronik, naik tajam dibanding beberapa tahun sebelumnya. Perkembangan ini tidak hanya mencerminkan kemajuan teknologi, tetapi juga menggambarkan pergeseran cara masyarakat berinteraksi dengan sistem ekonomi formal. E-wallet kini bukan hanya alat transaksi, melainkan juga simbol integrasi masyarakat dalam ekosistem digital nasional.
Namun, meski kemudahan finansial semakin meluas, ketimpangan ekonomi masih terasa. BPS menunjukkan bahwa sekitar 23,90 persen rumah tangga menerima kredit, baik untuk konsumsi maupun usaha. Di satu sisi, ini menandakan keberanian masyarakat memanfaatkan fasilitas keuangan formal. Di sisi lain, tingginya ketergantungan terhadap kredit juga menunjukkan rapuhnya daya beli dan tabungan masyarakat kelas menengah ke bawah. Fenomena ini menggambarkan keseimbangan rapuh antara aspirasi konsumtif dan kebutuhan produktif.
Dari sisi kesehatan, data menunjukkan tren positif. Sebanyak 78,04 persen penduduk telah memiliki jaminan kesehatan. Cakupan yang semakin luas ini menjadi salah satu hasil paling signifikan dari sistem BPJS yang dikembangkan dalam satu dekade terakhir. Walau demikian, angka itu masih menyisakan lebih dari 20 persen penduduk tanpa perlindungan kesehatan formal. Tantangan bukan hanya pada kepesertaan, tetapi juga pada efektivitas layanan di lapangan yang masih terkendala kapasitas tenaga medis dan pemerataan fasilitas.
Salah satu aspek yang paling menarik dari laporan tahun ini adalah peningkatan kualitas perumahan rakyat. Sebanyak 82,46 persen rumah tangga telah memiliki dinding tembok dan 54,24 persen beratap genteng, menunjukkan peningkatan kualitas fisik hunian. Di sisi sanitasi, 90,36 persen rumah tangga telah memiliki fasilitas buang air besar sendiri, dan 97,33 persen menggunakan kloset leher angsa. Ini berarti Indonesia telah mendekati target universal access sanitasi layak. Kondisi ini tidak hanya mencerminkan kemajuan infrastruktur perumahan, tetapi juga peningkatan kesadaran masyarakat terhadap kesehatan lingkungan.
Namun, angka-angka tersebut belum mampu menutupi kesenjangan antarwilayah. Di banyak daerah pedesaan di Indonesia Timur, bahan bangunan rumah masih sederhana, fasilitas air bersih masih terbatas, dan perilaku hidup bersih masih menjadi tantangan. Artinya, pembangunan fisik yang tampak di statistik nasional belum sepenuhnya merefleksikan pemerataan kesejahteraan di tingkat akar rumput.
Sektor pendidikan juga menampilkan wajah kemajuan yang kuat. Hanya 5,17 persen penduduk yang belum pernah sekolah, angka terendah dalam sejarah modern Indonesia. Hal ini menunjukkan keberhasilan pemerintah dalam memperluas akses pendidikan dasar. Namun, kualitas pendidikan dan ketimpangan fasilitas antarwilayah masih menjadi catatan penting. Di kota besar, pendidikan semakin didorong oleh teknologi dan literasi digital, sedangkan di pelosok, tenaga pengajar dan sarana belajar masih terbatas. Ketimpangan ini bukan hanya soal infrastruktur, tetapi juga menyangkut kesiapan sumber daya manusia dalam menghadapi ekonomi masa depan.
Menariknya, BPS juga mengungkap dimensi sosial yang kerap luput dari perhatian publik. Hanya 0,73 persen penduduk yang menjadi korban kejahatan pada 2025, menunjukkan peningkatan rasa aman di masyarakat. Namun, rasa aman ini tidak hanya berasal dari menurunnya angka kriminalitas, tetapi juga dari meningkatnya pengawasan sosial dan teknologi. Kamera pemantau, pelacakan digital, serta kesadaran masyarakat untuk melapor turut berkontribusi terhadap peningkatan indikator keamanan.
Dalam konteks sosial budaya, data juga menunjukkan dinamika keluarga modern. Jumlah pasangan menikah meningkat seiring membaiknya pencatatan sipil, namun angka cerai juga tidak menurun signifikan. Pola hidup urban, tekanan ekonomi, dan perubahan nilai sosial turut mempengaruhi kestabilan rumah tangga. Meningkatnya mobilitas dan individualisme di kota besar sering kali berbanding terbalik dengan kedekatan emosional yang dulu menjadi kekuatan utama masyarakat Indonesia.
Dari dimensi ekonomi mikro, pergeseran cara masyarakat memenuhi kebutuhan dasar juga menarik dicermati. Kenaikan kepemilikan uang elektronik dan meningkatnya transaksi digital menggambarkan perubahan ekosistem konsumsi. Namun, di sisi lain, meningkatnya pinjaman rumah tangga menunjukkan bahwa kesejahteraan belum diiringi kestabilan finansial. Fenomena ini memperlihatkan paradoks antara kemajuan teknologi dan ketahanan ekonomi rumah tangga.
Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, capaian-capaian tersebut dapat dibaca sebagai hasil dari program jangka panjang pemerintah dalam menurunkan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan sosial. Namun, tantangan ke depan terletak pada aspek kualitas. Meskipun indikator kuantitatif membaik, kualitas hidup masyarakat masih perlu ditingkatkan melalui pendidikan yang relevan, pekerjaan layak, dan pelayanan publik yang efisien.
Jika dibandingkan dengan kondisi 2015–2020, kemajuan 2025 tampak signifikan. Listrik hampir merata, sanitasi meningkat, dan partisipasi pendidikan membaik. Namun, aspek kesenjangan masih menjadi benang merah. Urbanisasi dan ketimpangan antarwilayah menciptakan dua wajah kesejahteraan yang berbeda. Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan mengalami modernisasi cepat, sementara sebagian wilayah pedesaan masih tertinggal.
Salah satu dimensi penting dari kesejahteraan rakyat adalah daya adaptasi terhadap perubahan ekonomi global. Ketika dunia menghadapi disrupsi digital, otomatisasi, dan krisis energi, masyarakat Indonesia menunjukkan daya lentur yang kuat. Penggunaan energi alternatif, pemanfaatan aplikasi keuangan, dan munculnya ekonomi kreatif menjadi bukti bahwa kesejahteraan kini bukan hanya soal pendapatan, tetapi juga kemampuan beradaptasi.
Dalam kerangka kebijakan publik, data BPS ini dapat menjadi dasar bagi pemerintah untuk memperkuat arah pembangunan inklusif. Misalnya, perluasan akses digital ke pedesaan dapat menjadi katalis untuk mengurangi kesenjangan pendidikan dan ekonomi. Begitu pula dengan program kredit mikro yang perlu disertai pelatihan manajemen keuangan agar tidak menjerumuskan masyarakat dalam utang konsumtif.
Indikator sosial juga menegaskan pentingnya pembangunan berbasis komunitas. Meningkatnya jaminan kesehatan dan akses air bersih menunjukkan efektivitas pendekatan lintas sektor antara pemerintah pusat dan daerah. Namun, untuk memastikan keberlanjutan, dibutuhkan kebijakan yang menekankan pemberdayaan masyarakat, bukan hanya distribusi bantuan.
Penting pula dicatat bahwa kesejahteraan tidak hanya terukur dari pendapatan per kapita, tetapi juga dari tingkat kepuasan hidup dan kebahagiaan sosial. Meski belum tercantum eksplisit dalam laporan BPS, berbagai survei menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia cenderung memiliki tingkat kebahagiaan yang tinggi meskipun pendapatan belum besar. Ini memperlihatkan bahwa modal sosial, gotong royong, dan optimisme masih menjadi kekuatan budaya yang menopang stabilitas sosial.
Melihat data keseluruhan, kesejahteraan rakyat Indonesia pada 2025 dapat digambarkan sebagai perjalanan menuju kematangan sosial. Masyarakat semakin terhubung dengan sistem formal, tetapi masih bergulat dengan tantangan pemerataan. Urbanisasi mempercepat pertumbuhan ekonomi, namun sekaligus menciptakan ketimpangan baru. Digitalisasi membuka peluang besar, tetapi juga menuntut peningkatan literasi dan perlindungan terhadap kelompok rentan.
Kesejahteraan yang berkelanjutan hanya dapat dicapai bila pembangunan material sejalan dengan pembangunan sosial dan moral. Pemerintah dapat membangun rumah layak, menyediakan listrik, dan membuka akses pendidikan, tetapi makna kesejahteraan sejati baru terasa ketika masyarakat memiliki kemandirian ekonomi, rasa aman sosial, dan hubungan keluarga yang sehat.
Statistik Kesejahteraan Rakyat 2025 adalah cermin. Di dalamnya, angka-angka bukan sekadar data, melainkan wajah manusia. Di balik persentase dan grafik, ada kisah Siti yang memasak dengan kayu bakar, Pak Jefri yang berjuang mengajar di sekolah beratap seng, Andi yang bekerja keras di apartemen sempit, dan Rahman yang bangga pada atap genteng barunya.
Mereka adalah makna sejati dari kesejahteraan Indonesia hari ini. Negara telah melangkah jauh, tetapi perjalanan masih panjang. Tantangan masa depan terletak pada bagaimana mempertahankan kemajuan ini tanpa meninggalkan siapa pun di belakang. Karena kesejahteraan, sebagaimana digambarkan BPS, bukanlah tujuan akhir, melainkan proses panjang menuju kehidupan yang lebih adil, sehat, dan bermartabat bagi seluruh rakyat Indonesia.